Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tempus Delicti dan Locus Delicti
Pertama akan kami jelaskan dulu tentang
tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) dan
locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana). Pada dasarnya penuntut umum dalam melimpahkan perkara ke pengadilan negeri harus disertai dengan surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
[1]nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Lebih lanjut, Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia (hal. 101-102) menyebutkan bahwa dalam surat dakwaan harus dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik (tempus et locus delicti). Dalam rangka pembelaan diri, terdakwa perlu mengetahui kapan dan di mana perbuatan yang didakwakan itu terjadi. Adapun 5 hal yang menentukan terjadinya delik, yaitu:
menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat (1) KUHP);
berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik ataukah belum;
menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concursus) delik;
menyangkut lewat waktu (verjaring);
rumusan delik sendiri menentukan (pencurian pada waktu malam dan seterusnya; pencurian pada waktu banjir, gempa, dan seterusnya).
Masih menurut Andi Hamzah, tempat terjadinya delik (locus delicti) didasarkan pada asas teritorialitas. Mengingat peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia tidah menyebut secara Tempat terjadinya delik penting untuk ditentukan karena:
menyangkut kompetensi relatif hakim;
berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2–Pasal 8 KUHP);
ada delik yang menentukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum;
tempat-tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana, misalnya peraturan daerah yang hanya berlaku di wilayah sendiri;
tempat menjadi bagian rumusan delik (misalnya seperti tersebut di muka, pencurian di sebuah rumah pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya atau kejahatan yang dilakukan di atas kapal laut, udara, dan lain-lain).
Dalam artikel
Locus dan Tempus Delicti Tidak Perlu Disebutkan Akurat dalam Dakwaan, memang sempat terjadi perdebatan akan penerapan dari
locus dan
tempus delicti. Dalam kasus yang disinggung artikel tersebut, Jaksa Penuntut Umum (“JPU”) bersikukuh bahwa waktu dan tempat terjadinya tindak pidana tidak mungkin disebutkan secara akurat. Sementara menurut Chairul Huda, penyebutan
tempus dan
locus delicti adalah penting untuk menakar kadar daluarsa suatu perkara. Unsur
tempus menentukan kewenangan negara untuk melakukan penuntutan. Sedang unsur
locus menentukan kompetensi pengadilan untuk mengadili.
Perumusan
tempus dan
locus delicti secara limitatif dalam surat dakwaan dapat dilakukan sepanjang JPU meyakini bahwa baik
tempus maupun
locus delicti yang dimuat dalam surat dakwaan adalah merupakan satu-satunya yang benar dan tidak diragukan lagi, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya risiko dalam penuntutan.
[2]
Asas Ne bis in idem
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 76 KUHP mengatur bahwa:
Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Ketentuan tersebut memuat asas hukum pidana yang dikenal dengan sebutan ne bis in idem. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (hal. 160), ne bis in idem artinya tidak dua kali dalam hal yang sama. Dalam hal ini, perbuatan yang sama tidak boleh diajukan penuntutan lagi. Ne bis in idem tidak hanya berlaku bagi seseorang yang telah dihukum karena melakukan tindak pidana, tetapi juga berlaku jika orang dalam perkara pertama dibebaskan (vrijsprak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging). Jadi misalnya ada putusan pembebasan terdakwa disebabkan kekeliruan dalam penuntutannya, maka tidak boleh diajukan lagi penuntutan dengan maksud memperbaiki kekeliruan itu.
Menyambung pertanyaan Anda, kami kurang memahami “perbuatan yang sama” yang Anda maksud. Oleh karenanya kami memberikan dua alternatif jawaban dengan dua asumsi konteks yang berbeda.
Pertama, dianggap “
ne bis in idem” apabila terjadi pengulangan perkara dengan obyek, subjek, dan kronologis yang
sama, dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain mengacu pada Pasal 76 KUHP di atas, hal ini juga sesuai dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Walaupun ada perbedaan
locus dan
tempus delicti, namun terdapat pengulangan perkara dengan obyek dan subyek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap baik dan
tingkat judex facti sampai dengan tingkat kasasi baik dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka ia dapat dikategorikan sebagai
ne bis in idem.
Sementara alternatif jawaban
kedua, dengan merujuk pada artikel
Ne bis in idem, apabila perbuatan yang dimaksud itu dilakukan dengan
tempus dan
locus delicti, serta kronologis yang sama sekali
berbeda, maka tidak dapat disebut
ne bis in idem. Alih-alih, perbuatan tersebut dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (
residivis) berdasarkan Pasal 486 KUHP. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai residivis dapat Anda baca di dalam artikel
Seluk Beluk Residivis.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, 2017.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama: Bandung, 2003.
[1] Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP
[2] Bagian Empat SE Kejagung 500/1996