Dengan hormat, saya baru saja membuat izin sebuah CV dan NPWP atas nama CV. saya masih belum tahu untuk setoran dan pembayaran pajaknya. Sekarang ini CV saya belum ada kegiatan sama sekali, lalu pajak pasal apa saja yang harus saya lapor setiap bulannya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (“CV”) termasuk sebagai salah satu subjek pajak. Oleh karena itu, dengan sendirinya subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut wajib pajak.
Namun, bagaimana jika CV tersebut belum beroperasi? Kemudian, CV harus memenuhi aturan perpajakan apa saja?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Sebelumnya Anda perlu memahami kedudukan Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (“CV”) dalam kacamata peraturan perundang-undangan tentang perpajakan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
orang pribadi;
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantukan yang berhak;
badan;
bentuk usaha tetap.
Adapun yang dimaksud dengan badan diartikan sebagai sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.[1]
Dengan demikian dari penjelasan bunyi pasal di atas, CV merupakan badan yang menjadi subjek pajak, meskipun secara hukum CV bukan merupakan badan usaha berbadan hukum.
Dikarenakan CV merupakan salah satu subjek pajak, oleh karena itu subjek pajak dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, kemudian dalam UU PPh ini disebut sebagai wajib pajak.[2]
Menyambung pertanyaan Anda, berikut jenis-jenis pajak secara umum yang harus dipenuhi oleh CV di antaranya:
CV wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika melakukan pembayaran atas penghasilan kepada karyawannya.
CV yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus menerbitkan faktur pajak dan melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) sebesar 10% dari harga jual atau nilai penggantian, jika CV melakukan penyerahan terutang PPN.
CV akan dipungut PPN dan PPh Pasal 22 atau 23, jika CV bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah.
CV harus memotong/menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final apabila CV melakukan transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, termasuk persewaan.
CV harus membayar angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh CV boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama berdasarkan Pasal 24 UU 36/2008.
Namun apabila CV belum beroperasi sebagaimana Anda sebutkan dalam pertanyaan, maka aspek pajaknya hanya pelaporan Surat Pemberitahuan (“SPT”) Tahunan saja. Dalam hal CV Anda sudah beroperasi tentunya akan berakibat lain sebagaimana kami terangkan di atas, karena CV memiliki kewajiban pajak yang dimulai sejak didirikan hingga terjadi pembubaran.
Berbeda dengan badan usaha lainnya, CV memiliki ketentuan-ketentuan khusus di bidang perpajakan seperti bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota CV yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham dikecualikan dari objek pajak.[3] Hal ini yang membuat pendirian CV di Indonesia sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan badan usaha lain seperti misalnya Perseroan Terbatas (“PT”).
Sebab pajak CV hanya dikenakan satu kali saja, yaitu pada saat CV memperoleh laba. Sedangkan saat laba tersebut dibagikan kepada sekutu sebagai prive, pembagian ini dikecualikan dari objek pajak.
Selain itu, untuk kepentingan pengenaan pajak, CV merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.[4]
Berbeda dengan PT, saat laba dibagikan dalam bentuk deviden, maka akan dikenai lagi PPh, baik PPh Pasal 23 apabila penerimanya badan, maupun PPh Pasal 4 ayat (2) apabila penerimanya adalah orang pribadi, atau PPh Pasal 26 apabila penerimanya berada di luar negeri.