Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul
Badan Usaha yang Aman untuk Berbisnis E-Commerce yang dibuat oleh
Easybiz dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 12 April 2017, lalu dimutakhirkan pertama kali pada Jumat, 13 Oktober 2017.
Sebelumnya, kami asumsikan bahwa Anda merupakan pelaku usaha dalam negeri yang hendak membuat usaha situs web e-commerce berbentuk e-marketplace dengan model B2C di Indonesia.
E-Commerce, E-Marketplace, dan B2C
E-Commerce didefinisikan sebagai semua bentuk proses pertukaran informasi antara organisasi dan
stakeholder berbasiskan media elektronik yang terhubung ke jaringan internet,
[1] yang mana salah satu jenisnya adalah
e-marketplace, yaitu tempat untuk berjualan
online dengan pengelolaan oleh satu pihak, produk dan informasi produknya disediakan oleh pihak lain.
[2] Selain itu, Athanasios Drigas dan Panagiotis Leliopoulos dalam artikel Business to Consumer (B2C) E-Commerce Decade Evolution yang dimuat dalam International Journal of Knowledge Society Research edisi Oktober-Desember 2013 menjelaskan bahwa aktivitas e-commerce umumnya diklasifikasikan sebagai Business to Business (“B2B”) dan Business to Consumer (“B2C”). E-commerce dengan model B2C menggunakan internet sebagai saluran pasar ritel dan dalam hal informasi, sebagai saluran pengiriman produk atau layanan (hal. 1).
Bentuk Badan Usaha
Menurut Pasal 1 angka 4 PP 71/2019, penyelenggara sistem elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Sejalan dengan definisi di atas, Pasal 1 angka 6 PP 80/2019 dan Pasal 1 angka 4 Permendagri 50/2020 mengatur bahwa pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (“pelaku usaha”) adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan melalui sistem elektronik.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sah-sah saja apabila Anda memilih bentuk badan usaha selain perseroan terbatas (“PT”), misalnya dengan mendirikan koperasi, Persekutuan Komanditer (“CV”), atau firma. Memilih badan usaha bergantung pada kebutuhan dan rencana Anda dalam menjalankan serta mengembangkan bisnis. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kemampuan permodalan dan risiko usaha. Setiap bisnis pasti memiliki risiko dan dengan mendirikan badan usaha ada beberapa opsi untuk mengelola risiko bisnis Anda.
Meskipun demikian, menurut hemat kami, mendirikan PT untuk usaha penyelenggaraan e-marketplace lebih aman dibandingkan badan usaha lainnya. Sebab, PT berstatus badan hukum sehingga ada pemisahan harta kekayaan dan tanggung jawab antara pemilik perusahaan dengan perusahaannya hanya sebatas nilai sahamnya di perusahaan tersebut.
Tidak Ada Ketentuan Besaran Modal Minimum PT
Berdasarkan pasal tersebut, modal dasar PT kini ditentukan berdasarkan kesepakatan pendiri PT, sehingga dalam hal ini Anda selaku pelaku usaha dapat menentukan sendiri berapa besaran modal PT yang Anda dan rekan Anda sepakati sebagai modal dasar.
Perizinan untuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Anda menyampaikan bahwa Anda berencana membuat
website e-commerce yang berfungsi sebagai e-
marketplace, sehingga menurut hemat kami Anda merupakan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (“PPMSE”), yaitu pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
[3]
Untuk itu, Anda wajib memiliki izin usaha
[4] dan Surat Izin Usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik (“SIUPMSE”).
[5] Namun, izin usaha tersebut tidak berlaku bagi Penyelenggara Sarana Perantara, yaitu pelaku usaha yang menyediakan sarana komunikasi elektronik selain penyelenggara telekomunikasi yang hanya berfungsi sebagai perantara dalam komunikasi elektronik antara pengirim dengan penerima,
[6] jika:
[7]Bukan merupakan pihak yang tidak mendapatkan manfaat (beneficiary) secara langsung dan transaksi; atau
Tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan PMSE.
Dalam hal ini, untuk memperoleh SIUPMSE, Anda selaku pelaku usaha dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Perdagangan melalui Lembaga OSS.
[8] Adapun SIUPMSE ini baru berlaku apabila Anda memenuhi komitmen yang terdiri atas
[9]:
Surat Tanda Terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja setelah SIUPMSE diterbitkan;
Alamat situs web dan/atau nama aplikasi;
Layanan pengaduan konsumen berupa nomor kontak dan/atau alamat surat elektronik (email) yang dapat dihubungi dan direspon
[10] dan ditampilkan dengan jelas pada laman yang mudah dibaca konsumen;
[11] dan
Layanan pengaduan konsumen yang memuat informasi kontak pengaduan konsumen Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga.
Perlu diingat, SIUPMSE ini penting. Apabila PPMSE tidak memiliki SIUPMSE, PPMSE dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang dapat diberikan paling banyak 3 kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 hari kalender.
[12] Apabila dalam jangka waktu tersebut, PPMSE tetap tidak melaksanakan kewajiban memiliki SIUPMSE, maka PPMSE dapat dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang.
[13]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Athanasios Drigas dan Panagiotis Leliopoulos. “Business to Consumer (B2C) E-Commerce Decade Evolution.” International Journal of Knowledge Society Research 4 (4), Oktober-Desember 2013;
Bambang Agus Herlambang, dkk. “E-Marketplace Development With C2C Model And Appreciative Inquiry.” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018.
[1] Bambang Agus Herlambang, dkk., “
E-Marketplace Development With C2C Model and Appreciative Inquiry,” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018 (hal. 96)
[2] Bambang Agus Herlambang, dkk., “
E-Marketplace Development With C2C Model and Appreciative Inquiry,” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018 (hal. 97)
[3] Pasal 1 angka 7 Permendagri 50/2020
[4] Pasal 3 ayat (1) Permendagri 50/2020
[5] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 50/2020
[6] Pasal 1 angka 9 Permendagri 50/2020
[7] Pasal 3 ayat (2) Permendagri 50/2020
[8] Pasal 9 ayat (1) Permendagri 50/2020
[9] Pasal 10 ayat (1)
jo. Pasal 10 ayat (2) Permendagri 50/2020
[10] Pasal 10 ayat (4) Permendagri 50/2020
[11] Pasal 10 ayat (3) Permendagri 50/2020
[12] Pasal 44 ayat (1)
jo. Pasal 44 ayat (2) Permendagri 50/2020
[13] Pasal 44 ayat (3) Permendagri 50/2020