Kontrak Derivatif, Kembali Memakan Korban
Berita

Kontrak Derivatif, Kembali Memakan Korban

Kontrak derivatif Standard Chartered Bank dengan PT Nubika Jaya dinilai tidak seimbang. Bank yang berkantor pusat di Inggris itu akhirnya digugat ke pengadilan.

Mon
Bacaan 2 Menit
Kontrak Derivatif, Kembali Memakan Korban
Hukumonline

 

Lantaran pembatalan transaksi (unwind) itu, Stanchart malah membebankan biaya unwind kepada penggugat sebesar AS$ 13 juta dolar pada Oktober 2008. Tak jelas betul dari mana perhitungannya. Karena itu penggugat menolak membayar. Penggugat menilai kontrak Callabele Forward tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

 

Melalui kuasa hukumnya dari Adams & Co, Nubika Jaya melayangkan gugatan kepada Stanchart ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir Februari 2009. Majelis hakim yang diketuai Panusunan Harahap menggelar persidangan perdana pada Rabu (01/4) kemarin. Namun Stanchart ataupun kuasa hukumnya tidak menghadiri persidangan. Persidangan kembali digelar pada dua pekan mendatang, Rabu (17/4).

 

Causa Tidak Halal

Dalam gugatannya dijelaskan, transaksi dari kontrak Callable Forward mengandung causa yang tidak halal lantaran sifat transaksi yang spekulatif. Padahal Bank Indonesia (BI) melalui Surat Edaran Bank Indonesia No.10/42/DPD tanggal 27 November 2008 melarang transaksi terhadap valuta asing apabila bersifat spekulatif. BI hanya membolehkan transaksi yang bersifat lindung nilai.

 

Faktanya, transaksi Callable Forward didasarkan pada kondisi yang belum pasti lantaran mengacu pada pergerakan kurs rupiah. Jika kurs rupiah di bawah patokan yang ditentukan (strike rate) maka kontrak tersebut menguntungkan penggugat. Jika sebaliknya, Stanchart yang diuntungkan. Lantaran mengandung unsur spekulatif, kuasa hukum penggugat menilai transaksi tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 

 

Ditambah lagi, Stanchart tidak pernah memberikan penjelasan kondisi dana yang ditentukan oleh BI. Peraturan BI No.7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif mengatur bahwa bank harus memberikan penjelasan secara lengkap kepada nasabah. Yakni, terkait resiko kredit, resiko penyelesaian, resiko pasar dan adanya kemungkinan saldo nihil sehingga bank bisa meminta suntikan dana lagi. Pasal 9 ayat (4) Peraturan BI tersebut juga mengharuskan bank memberikan laporan khusus pada nasabah jika akan mengalami kerugian. Hingga kontrak dihentikan, penggugat tidak pernah mendapat penjelasan itu.

 

Kontrak Callable Forward juga dinilai sebagai perjanjian yang tidak seimbang. Pasalnya, pada transaksi kelima, Stanchart berhak membatalkan kontrak secara sepihak sewaktu-waktu. Sementara penggugat tidak memilki hak yang sama. Akibatnya, Stanchart saja yang dapat membatasi kerugian apabila nilai dolar dibawah strike rate. Kalau begitu, bukan penggugat yang mendapat lindung nilai, melainkan Stanchart. Ketentuan itu tidak adil, ujar David ML Tobing, kuasa hukum Nubika Jaya dalam gugatannya.

 

Perjanjian Dibatalkan

Dalam petimtumnya, penggugat meminta majelis hakim agar membatalkan kontrak Callable Forward dan menyatakan perjanjian itu tidak mempunyai kekuatan mengikat dengan segala konsekuensi hukumnya. Begitu pula dengan seluruh transaksi yang pernah dilakukan.

 

Tuntutan itu lahir karena Stanchart dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum yang dirumuskan Pasal 1365 KUHPerdata. Lantaran Stanchart tidak pernah memberikan penjelasan soal transaksi Callable Forward maka kontrak yang dibuat didasarkan atas penipuan.

 

Dengan begitu, berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata dianggap tidak pernah terjadi kesepakatan antara Nubika Jaya dan Stanchart. Selain itu, perjanjian itu bertentangan dengan peraturan BI maka berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata perjanjian Callable Forward merupakan perjanjian yang terlarang.

 

Stanchart juga dituntut membayar ganti rugi sebesar AS$ 51.393 dan Rp 310,5 juta. Kerugian itu timbul karena Stanchart memblokir rekening penggugat sehingga dananya tidak bisa dimanfaatkan. Tingkat kolektibilitas penggugat di BI juga menurun sehingga penggugat kesulitasn untuk memperoleh pinjaman kredit. Sedang, kerugian immateriil diperhitungkan sebesar Rp 100 miliar karena reputasi penggugat rusak di mata BI.

 

Hingga berita ini diturunkan hukumonline belum berhasil mendapat klarifikasi dari pihak Stanchart. Compliance Director Head, Legal & Compliance Stanchart, Chisca Mirawati, ponselnya tidak diaktifkan dan belum membalas SMS yang dilayangkan hukumonline. Begitu juga dengan A. Arno Kermaputra. Senior Manager Corporate Affairs Stanchart ini tidak dapat dihubungi berulangkali melalui telepon.

Kontrak derivatif kembali memakan korban. Kali ini perusahaan kelapa sawit PT Nubika Jaya yang jadi korbannya. Tanpa sepengetahuan direktur utama, sekretaris perusahaan itu menggandeng Standard Chartered Bank (Stanchart) untuk menandatangani kontrak derivatif. Sudah AS$ 5,25 juta uang perusahaan yang digelontorkan di transaksi derivatif. Namun bukannya untung malah buntung. Stanchart malah menagih AS$ 13 juta dolar kepada Nubika Jaya.

 

Ceritanya berawal saat pegawai Stanchart menawari produk Callable Ratio Forward Currency (Callable Forward) kepada si sekretaris. Callable Forward merupakan produk investasi yang bertujuan untuk hedging (lindung nilai). Atas bujuk rayu itu, si sekretaris pun tergiur. Pada 12 September 2008, kontrak Callable Forward ditandatangani para pihak.

 

Sejatinya, sekretaris perusahaan tidak berwenang untuk menggunakan uang perusahaan jutaan dolar. Sesuai dengan Anggaran Dasar yang berhak menggunakan adalah direktur utama. Sementara, saat menandatangani perjanjian, si sekretaris tidak mendapat surat kuasa baik lisan atau tertulis dari direktur. Dengan begitu, si sekretaris telah bertindak di luar kapasitasnya.

 

Dalam kontrak itu, ditentukan penggugat wajib menyerahkan sejumlah dolar Amerika dengan ketentuan saat transaksi di minggu pertama sampai keenam, dolar yang diserahkan akan dibeli Stanchart dengan harga Rp 9.950 per dolar. Sementara transaksi di minggu ketujuh sampai ke lima puluh dua, Stanchart akan membeli dolar penggugat seharga Rp 9.875 per dolar.

 

Setelah tujuh kali transaksi dan menerima uang sebesar Rp 52,181 miliar, manajemen Nubika Jaya baru mengetahui adanya transaksi derivatif. Setelah itu, penggugat sengaja tidak menyerahkan dolar ke Stanchart. Alasannya, fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar sangat besar sehingga hedging tidak terbukti, bahkan cenderung merugikan.

Tags: