Definisi Pornografi Kembali Dimohonkan Judicial Review
Berita

Definisi Pornografi Kembali Dimohonkan Judicial Review

Mahkamah Konstitusi menyiratkan akan menggabungkan pemeriksaan permohonan. Pengujian terhadap definisi bisa berdampak pada seluruh isi UU Pornografi.

Ali
Bacaan 2 Menit
Definisi Pornografi Kembali Dimohonkan <i>Judicial Review</i>
Hukumonline

 

Pengamat Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin pernah mengatakan pasal ini merupakan inti dari UU Pornografi. Dengan lata lain, pasal tentang definisi tadi merupakan ‘jantung' UU Pornografi. Menurutnya pengujian pasal yang mengatur definisi sama saja menguji seluruh isi UU Pornografi. Bila definisinya dibatalkan, ya Undang-Undangnya rontok semua, tegasnya beberapa waktu lalu.

 

Selain pasal yang mengatur definisi, pemohon juga menguji Pasal 20 dan Pasal 21 yang mengatur peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan produksi pornografi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya atau setidaknya terkuranginya jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut Zainal dalam permohonan.

 

Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi

 

Pasal 21

(1)  Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:

a.      Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.      Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.      Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan

d.      Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Terakhir, pemohon menguji Pasal 43 yang berbunyi ‘Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memunashkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan'.

 

Para pemohon menilai pasal ini tidak dapat diimplementasikan karena tak ada sanksi yang jelas untuk orang yang tidak melakukannya. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut pemohon dalam permohonannya. Pasal 28D ayat (1) merupakan jaminan bagi ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum'.

 

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar kedudukan hukum pemohon diperjelas. Dalam permohonan, terdapat 28 pemohon yang ikut serta dalam pengujian ini. Di antaranya adalah seniman Butet Kartaredjasa dan Ayu Utami. Maria Farida meminta agar dalam permohonan diperinci kerugian konstitusional masing-masing pemohon. Dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda tentu kerugian konstitusionalnya juga tak bisa disamakan. 

Aksi kelompok masyarakat dari Minahasa, Sulawesi Utara, dalam menguji UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tak lagi sendirian. Sejumlah orang baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perorangan, maupun seniman ikut mengajukan permohonan uji materi UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski permohonan yang diajukan secara terpisah, tapi kedua permohonan tersebut memiliki beberapa kemiripan.  

 

Kuasa Hukum pemohon terakhir, Zainal Abidin mengatakan ada lima pasal yang diuji, yaitu, Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 43 UU Pornografi. Pasal 1 angka 1 memuat definisi pornografi dan Pasal 4 ayat (1) berupa larangan atau batasan produksi yang materinya berbau pornografi. Kedua pasal ini juga diuji oleh kelompok masyarakat dari Minahasa.

 

Zainal mengatakan definisi pornografi dalam Pasal 1 angka 1 itu berpotensi besar merusak kebhinnekaan Indonesia. Definisi pornografi itu multitafsir dan sangat meluas, ujar anggota Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika ini di ruang sidang MK, Senin (23/3).

 

Isi Pasal 1 angka 1 secara lengkap, ‘Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai nilai kesusilaan dalam masyarakat'.

Halaman Selanjutnya:
Tags: