Konsep Perlindungan Saksi LPSK Terbentur KUHAP
Berita

Konsep Perlindungan Saksi LPSK Terbentur KUHAP

Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, pemeriksaan saksi dapat dilakukan di luar persidangan. Namun, dalam KUHAP keterangan saksi yang dianggap sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan di persidangan.

Nov
Bacaan 2 Menit
Konsep Perlindungan Saksi LPSK Terbentur KUHAP
Hukumonline

 

Namun, bukan berarti tidak melakukan apa-apa. SOP sedang dirumuskan. Metode atau konsep perlindungan pun telah disiapkan. Dawai membeberkan konsep tersebut. Bisa dengan teleconference, bisa dengan meminta keterangan saksi atau korban di suatu ruangan tertutup dari publik dan terdakwa,  bisa juga dengan membuat bilik di ruang sidang, tetapi yang bisa melihat hanya hakim dan prosecutor (penuntut umum), jelasnya.

 

Untuk metode kedua, pemeriksaan di ruang khusus hanya dihadiri oleh majelis hakim dan penuntut umum. Pengacara juga bisa berada di sana asal sebelumnya diambil sumpah terlebih dahulu supaya tidak membocorkan identitas saksi kepada publik atau terdakwa, terang Dawai. Kemudian, untuk teleconference ataupun bilik saksi, akan dipersiapkan perangkat yang dapat menyamarkan identitas saksi, seperti alat pendistorsi suara, dan sebagainya.

 

Atas konsep-konsep ini, Djoko sama sekali tidak keberatan. Malah, konsep tersebut, apabila sudah matang dan dikoordinasikan secara resmi, MA akan memfasilitasi agar di setiap pengadilan nanti dibuat suatu ruangan khusus untuk saksi. Selama ini kan ruangan jaksa sudah ada, ruangan pengacara juga sudah ada, nanti kan tinggal disiapkan satu ruangan lagi untuk saksi-saksi. Jadi, lanjut Djoko, saksi-saksi tersebut cukup berada di ruangan khusus dengan microphone yang tersambung ke ruang persidangan.

 

Memang tidak ada masalah untuk pihak pengadilan, tapi yang harus diperhatikan adalah payung hukum beracara, KUHAP. Denny Kailimang, Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengingatkan bahwa Pasal 185 KUHAP mengatur, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

 

Dengan teleconference, atau pemeriksaan yang bukan di ruang sidang, menurut Denny akan melanggar KUHAP. Harusnya, lanjut Denny, disesuaikan dulu dengan hukum beracaranya. Baru setelah itu, tidak apa-apa jika mau diterapkan. Kemudian, untuk sumpah yang harus diambil terhadap pengacara yang berada di ruangan khusus, Denny menganggap tidak perlu, karena kode etik seorang pengacara sudah mengatur itu.

 

Pengecualian

Ada pandangan lain mengenai keterangan saksi yang diambil di luar ruang sidang. Komisioner LPSK Bidang Hukum, Diseminasi, dan Humas Lies Sulistiani mengatakan konsep tersebut tidak bertentangan dengan KUHAP. Karena di dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 itu ada pengecualian dari apa yang ditentukan oleh KUHAP.  Bagaimana alat bukti itu tetap menjadi sah, sekalipun saksi saksi tidak ditampilkan, ujarnya.

 

Tidak asal bicara, dalam Pasal 9 UU No.13/2006 dikemukakan bahwa saksi dan/atau korban yang berada di bawah ancaman besar, atas persetujuan hakim, dapat memberikan kesaksian di luar persidangan, tapi dengan catatan disaksikan oleh pejabat yang berwenang.

 

Pasal 9, UU No.13/2006

 

(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.

(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

 

Jadi, menurut Lies, metode-metode tadi bisa diterapkan karena ada undang-undang lain yang mengatur pengecualian terhadap apa yang diatur di KUHAP. Dawai menambahkan, dari pada hanya membacakan Berita Acara Pemeriksaan saksi, lebih baik digunakan metode seperti ini. Karena terdakwa tidak bisa cross examination. Hak terdakwa untuk bertanya kepada saksi tidak akan hilang.

Setelah sibuk menyambangi institusi-institusi penegak hukum, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sibuk merumuskan Standard Operating Procedure (SOP). Di dalamnya, LPSK mengonsepkan teknis atau metode yang akan digunakan untuk melindungi saksi dan korban. Sebagaimana Pasal 5 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan bisa bermacam-macam, baik secara fisik maupun psikologis.

 

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mencontohkan, misalnya, saksi difasilitasi pengawalan ketika akan memberikan keterangan di persidangan. Itu salah satu bentuk perlindungan fisik. Namun, untuk perlindungan psikologis, LPSK bisa memfasilitasi saksi atau korban agar identitasnya tersamarkan. Mulai dari tingkat penyelidikan hinggga pemeriksaan di pengadilan.

 

Di penghujung tahun 2008, LPSK menyambangi Mahkamah Agung (MA). Walau belum terbentuk Memorandum of Understanding (MoU), pertemuan Dawai -begitu Ketua LPSK ini akrab disapa- dengan empat hakim agung itu, membuahkan hasil. Djoko Sarwoko, juru bicara MA, sempat melontarkan wacana pembuatan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Selain itu, Djoko juga berjanji akan segera mensosialisasikan LPSK ke jajaran pengadilan.

 

Sayang, sampai saat ini, janji-janji itu belum terealisir. Pasalnya, kata Djoko, harus menunggu kesiapan LPSK terlebih dahulu. Apa bisa melayani permintaan pengadilan di seluruh penjuru Indonesia? tanyanya. Dawai mengakui, LPSK memang baru seumur jagung, sehingga belum bisa beroperasi secara optimal. Kita baru bisa full beraksi seperti yang diharapkan setelah semua perangkat yang kita butuhkan itu betul-betul lengkap.

Halaman Selanjutnya:
Tags: