Kelangkaan Gas Picu Persaingan Curang
Berita

Kelangkaan Gas Picu Persaingan Curang

KPPU menduga kelangkaan gas akhir-akhir ini dipicu adanya monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Dugaan itu berupa entry barrier, monopoli impor gas, dan kartel vertikal antara Pertamina dan agen.

Mon/Sut
Bacaan 2 Menit
Kelangkaan Gas Picu Persaingan Curang
Hukumonline

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tak mau ketinggalan. Komisi anti monopoli ini menduga kelangkaan gas ini ‘menyerempet' UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketua KPPU Benny Pasaribu menegaskan pihaknya menduga ada pelanggaran UU No. 5/1999 di balik penyaluran gas.

 

Ada tiga dugaan, kata dia. Yakni regulasi yang menjadi penghalang (entry barrier) sektor gas nasional, monopoli impor gas, dan kartel vertikal antara Pertamina dengan agen, kata Benny saat memberikan keterangan di forum diskusi wartawan KPPU di gedung KPPU, Jakarta, Kamis (22/01).

 

Benny menerangkan, penyebab entry barrier ini dipicu oleh regulasi tentang persyaratan pelaku usaha untuk masuk ke industri gas. Meskipun industri gas non subsidi terbuka untuk pelaku usaha swasta, namun persyaratannya tidak memungkinkan.

 

Dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 21 Tahun 2007 mensyaratkan pelaku usaha harus memiliki aset kilang pengolahan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) di dalam negeri, termasuk pengembangannya dalam jangka panjang. Selain itu, pelaku usaha harus memiliki kemampuan menyediakan infratruktur dan jaringan untuk penyediaan dan pendistribusian LPG non subsidi di Indonesia.

 

Sementara, persyaratan itu hanya bisa dipenuhi oleh Pertamina. Persyaratan kepemilikan kilang sulit dipenuhi pelaku usaha sebab membutuhkan biaya yang besar. Kepemilikan kilang itu belum tentu relevan dalam industri gas seperti halnya industri bahan bakar minyak.  Kami minta peraturan itu ditinjau ulang karena tidak mendorong persaingan yang sehat, Benny.

 

Apalagi hingga kini, harga gas non subsidi masih ‘dikontrol' pemerintah. Saat Pertamina berniat menaikan harga, pemerintah malah meminta Pertamina menunda kenaikan. Hal ini menunjukan gas non subsidi menjadi komoditas yang diatur dan tidak dapat diserahkan ke pasar. Akibatnya, kata Benny, entry barier tetap ada dan Pertamina tetap eksis sebagai pelaku usaha tunggal.

 

Rekomendasi

Untuk mengatasi kelangkaan ini, KPPU mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada Pertamina maupun departemen yang terkait. Pertama, diperlukan grand strategy perencanaan yang tepat dari pemerintah terkait dengan program konversi energi dan konsekuensinya. Dalam hal ini, seolah-olah LPG bukan lagi komoditas yang dibebaskan ke pasar baik untuk LPG subsidi dan non subsidi. Sehingga dengan menahan laju harga untuk LPG non subsidi, konsekuensinya pemerintah siap mensubsidi Pertamina selaku pelaku usaha murni. Apabila pemerintah telah mengambil alih peran penetapan harga, maka pemerintah perlu memikirkan bahwa tidak akan terjadi pesaing baru dalam industri LPG.

 

Kedua, perlunya pengawasan yang ketat dalam pendistribusian LPG sampai ke tingkat konsumen. Dengan demikian, pemerintah harus menjamin distribusi berjalan lancar sehingga dapat menjamin ketersediaan pasokan LPG bagi konsumen akhir, serta jaminan harga jual LPG di titik konsumen yang wajar.

 

Ketiga, perlunya penetapan formula harga jual LPG seperti halnya untuk komoditi LPG subsidi. Berdasarkan penetapan formula itu, maka proses penetapan harga akan menjadi transparan. Penetapan formula ini juga akan melindungi konsumen jika terjadi eksploitasi produsen dalam menetapkan harga yang berlebihan (excessive pricing).

 

Lalu keempat, pemerintah perlu memikirkan bentuk konversi energi yang dapat dipenuhi. Kelima, adanya harmonisasi dengan Menteri ESDM terkait dengan beberapa kebijakan yang dapat menimbulkan entry barrier bagi pelaku usaha di industri LPG. Keenam, perlu adanya monitoring terhadap potensi perilaku anti persaingan dari Pertamina selaku pelaku utama dalam industri LPG.

 

Hal ini dilakukan untuk meminimasi kelangkaan di tingkat distribusi, kata Benny.

Setelah minyak langka, kini giliran gas yang langka. Beberapa hari belakangan memang terjadi kelangkaan gas di sejumlah daerah. Penyebabnya? Belum jelas. PT Pertamina (Persero) sendiri sedianya ingin menjelaskan ke DPR prihal kelangkaan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat hari Rabu (21/01).

 

Namun,  ketika rapat masih berlangsung, tiba-tiba Direktur Utama Pertamina Ari H. Soemarno, minta izin untuk pamit. Alasannya ia dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla. Akhirnya penjelasan seputar kelangkaan gas pun urung didapat. Hingga sekarang rapat antara Pertamina dengan DPR belum digelar ulang.

 

Isu macam-macam pun beredar di publik. Ada yang mengatakan kelangkaan ini disebabkan buruknya manajemen distribusi gas oleh bandar minyak dan gas nasional ini. Lalu ada juga yang mengatakan Pertamina kongkalikong dengan agen gas.

Tags: