Mengenai larangan rangkap jabatan, FPAN dan kedua partai yang juga berkeberatan, FPKS dan FKB, berargumentasi bahwa pasangan terpilih bukan hanya milik partai semata, tapi milik masyarakat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Menurut mereka, tanpa adanya larangan rangkap jabatan, pasangan terpilih bisa berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Penyalahgunaan yang dimaksud adalah pasangan terpilih tersebut akan menggunakan fasilitas negara yang dibiayai oleh masyarakat. Ketika terpilih, maka si calon tidak lagi memikirkan dan bekerja untuk golongan atau partai tertentu. Maka dari itu, sudah sepantasnya pasangan terpilih tidak lagi menduduki ketua umum di partainya.
Mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dipandang penting, karena dalam sistem presidensil, kewenangan pasangan terpilih tidak dapat dengan mudah diturunkan di tengah jalan dengan alasan-alasan politik. Jika ketua umum partai terpilih menjadi presiden atau wapres, seharusnya berakhir pula loyalitas partai dan digantikan dengan loyalitas terhadap bangsa dan negara.
Hal senada juga diamini oleh anggota DPR dari FPKS, Agus Purnomo. Dalam penyampaian pendapat akhirnya, Agus mengatakan larangan rangkap jabatan bisa mengeliminir bagi presiden terpilih untuk melakukan abuse of power, seperti penggunaan semena-mena fasilitas negara untuk kepentingan politik partainya.
Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) telah disahkan secara resmi pada Rapat Paripurna DPR, Rabu (29/10). RUU ini disetujui oleh tujuh fraksi, dari total sepuluh fraksi di DPR. Sisanya, mengajukan mijnderheidsnota atau nota keberatan terhadap pasal-pasal yang dianggap krusial. Tiga fraksi yang mengajukan nota keberatan terdiri dari FPAN, FKB, dan FPKS.
Ada dua ketentuan yang dianggap krusial, yakni Pasal 9 mengenai persentase persyaratan pasangan calon, serta Pasal 5 huruf r dan Pasal 14 ayat (1) huruf n, tentang larangan rangkap jabatan bagi pasangan terpilih. Dalam rapat konsultasi pimpinan pansus, pimpinan fraksi dan pemerintah yang dilakukan semalam di Hotel Santika Jakarta (28/10), terumuskan dua hal.
Kedua rumusan ini antara lain, pasangan calon dapat diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Kedua, mengenai larangan rangkap jabatan, terkait rumusan ini disepakati untuk tidak dirumuskan dalam norma, melainkan ditempatkan dalam penjelasan umum.
Tiga Mijnderheidsnota
Fraksi | Keberatan terhadap jumlah persentase 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah nasional | Keberatan terhadap larangan rangkap jabatan yang ditempatkan dalam penjelasan umum |
FPAN | Menginginkan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2003 yakni 15% kursi atau 20% suara sah nasional | Menginginkan tetap dicantumkan pasal dalam RUU ini |
FKB | --setuju-- | Menginginkan tetap dicantumkan pasal dalam RUU ini |
FPKS | --Setuju-- | Menginginkan tetap dicantumkan pasal dalam RUU ini |
Dari ketiga fraksi yang mengajukan keberatan ini, hanya FPAN yang menolak secara keseluruhan dari hasil rumusan yang disepakati oleh forum di hotel sebelumnya. FPAN tetap pada usulannya 15% kursi atau 20% suara. Hal ini disampaikan oleh anggota pansus RUU Pilpres Andi Yuliani Paris. Artinya, FPAN tetap merujuk pada ketentuan sebelumnya dalam UU No. 23 tahun 2003. Menurutnya, pertimbangan awal karena syarat dukungan UU ini belum pernah dilaksanakan.
Kemungkinan besar jika 20% kursi atau 25% suara tetap disetujui, hanya akan menghasilkan tiga calon untuk pilpres nanti. Ketiga capres ini akan didominasi dari partai yang memiliki suara terbanyak. Sehingga, masyarakat memiliki pilihan yang sedikit, dan calon alternatif dari partai koalisi akan semakin dibatasi. Intinya semakin dibatasi, calon alternatif semakin sedikit, tidak usah mimpi jadi presiden, katanya seusai paripurna.