Judicial Review Tembak Mati Tak Akan Menunda Eksekusi
Eksekusi Amrozi Cs:

Judicial Review Tembak Mati Tak Akan Menunda Eksekusi

Polisi dan jaksa berdalih, hukum positif Indonesia tidak mengenal hukum pancung. Mau judicial review atau tidak, eksekusi Amrozi Cs jalan terus. Rencananya, ekseksi berlangsung sebelum Ramadhan.

Ali/Nov/CRF/CRE
Bacaan 2 Menit
<i>Judicial Review</i> Tembak Mati Tak Akan Menunda Eksekusi
Hukumonline

 

Sebelumnya, Ketua TPM Mahendradatta mengkritik metode eksekusi hukuman mati dalam UU No. 2/PNPS/1964 itu. Ia mengatakan dalam UU itu disebutkan terpidana mati di tembak satu kali, apabila terpidana belum mati, kemudian akan ditembak lagi oleh komandan regu satu kali tepat di kepala terpidana. Artinya, UU tersebut mengakui adanya kemungkinan penembakan yang tidak mati, tuturnya. 

 

Mahendradatta menilai metode tersebut bisa membuat terpidana seperti merasakan rasa sakit yang berkepanjangan atau penyiksaan. Ia menilai metode semacam ini telah melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 terkait hak untuk tidak disiksa. Pasal 28I menyatakan hak untuk tidak disiksa itu tak bisa dikurangi dalam bentuk apapun, dalam hal ini Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi hukuman mati bukan dijatuhi hukuman siksa, jelasnya. Karenanya, Mahendradatta menjanjikan permohonan judicial review itu akan didaftarkan minggu depan. 

 

Berdasarkan catatan hukumonline, rencana judicial review UU No. 2/PNPS 1964 ini bukan pertama kali. Sekitar akhir tahun 2006, TPM sudah pernah melontarkan wacana serupa. Kala itu, terjadi perdebatan metode eksekusi terpidana mati Amrozi Cs yang sesuai dengan syariat Islam. Amrozi Cs meyakini eksekusi hukuman mati yang sesuai dengan hukum Islam adalah pancung. Namun, TPM menyadari Indonesia bukanlah negara Islam. Akhirnya, TPM meminta fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait cara eksekusi yang sesuai dengan syariat Islam.

 

Upaya yang dilakukan TPM kurang membuahkan hasil. Tim eksekutor tetap berpendapat lain. Indonesia tidak mengenal eksekusi mati dengan metode pancung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menegaskan, boleh-boleh saja TPM berpegang pada Fatwa MUI dan permintaan Amrozi Cs, tapi undang-undang tidak mengatakan demikian. Mau melaksanakan undang-undang atau permintaan? tukasnya.

 

Untuk judicial review yang ternyata telah pernah diniatkan TPM, menurut Ritonga, tidak akan berpengaruh terhadap eksekusi Amrozi cs karena memang tidak ada kaitannya dengan penyelesaian perkara. Jaksa selaku eksekutor tidak akan terpengaruh pengajuan judicial review ke MK.

 

Cuma, sampai awal Agustus ini belum jelas kapan dan dimana eksekusi mati itu akan dilangsungkan. Mungkin di Bali atau Jawa Tengah (Cilacap). Tersiar kabar, pemindahan lokasi eksekusi ke Jawa Tengah. Namun, setelah dikonfirmasi, pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan waktu dan tempat belum ditentukan.

 

BD Nainggolan, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejagung mengatakan mereka masih menunggu kabar dari Kejaksaan Tinggi Bali. Apabila eksekusi nantinya dipindahkan ke Cilacap, tentu akan dikoordinasikan dengan Kejati Jawa Tengah. Tapi, tetap saja penentuan eksekusi harus melalui Kejagung.

 

Andi Matalatta, Menteri Hukum dan HAM membenarkan memang ada permintaan untuk eksekusi di tempat lain (bukan Bali). Tapi, sebelum pemindahan harus ada izin Menteri Kehakiman terlebih dahulu (31/7).   

 

Polisi Sebagai Pelaksana

Walau waktu dan tempat eksekusi belum jelas. Jaksa Agung, Hendarman Supandji sendiri mengatakan kasus ini (Amrozi cs) sebaiknya selesai sebelum bulan Ramadhan. Jaksa agung hanya bilang sebelum bulan puasa saja, dia nggak bilang tanggalnya, kata Abdul Hakim Ritonga.

 

Di lain pihak, Polri juga sudah mempersiapkan diri. Abubakar Nataprawira, Kadiv Humas Mabes Polri mengatakan polisi hanya sebagai pelaksana eksekusi mati Amrozi cs. Eksekusitornya tetap Jaksa. Untuk waktu dan tempatnya, polisi manut saja menunggu pihak kejaksaan. Entah itu di Bali atau di Jawa Tengah.

 

Polisi akan mempersiapkan tiga regu penembak. Satu regunya terdiri dari empat belas orang yang terdiri dari dua belas penembak, satu perwira, dan Komandan Regu. Dua belas penembak dipersenjatai laras panjang. Perwira dan Komandan Regu, siap-siap dengan revolvernya.

 

Dari dua belas penembak, tidak diketahui siapa yang senjatanya diisikan peluru tajam. Abubakar menjelaskan, etika seperti ini dilakukan untuk menghindarkan tanggung jawab moral dan rasa bersalah si penembak. Namun, kalau ternyata tembakan itu meleset atau malah tidak mematikan. Mau tidak mau perwira atau Komandan Regu turun tangan melakukan penembakan jarak dekat dengan revolvernya. Otomatis, tidak ada pengelabuan identitas si penembak. Itu sudah resiko, kata Abubakar.

 

Untuk itu, pihak Polri sendiri sudah memilih para penembak jitu. Bambang Widodo Umar, Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian memaparkan, secara kedinasan para penembak mahir itu memang sudah khusus ditunjuk. Biasanya dari Brimob. Tapi tidak sebarangan, hanya penembak-penembak yang mendapat Brevet (sertifikat). Jadi, sudah pasti sekali tembak langsung mati. Lagipula, jarak tembaknya juga dekat.

 

Upaya seperti ini menurut Bambang dilakukan untuk mengurangi rasa sakit si terpidana mati. Memang, jika ternyata tembakan itu meleset dan tidak mematikan, jatuhnya adalah penyiksaan. Makanya, jika ada kejadian seperti itu, harus ditembak lagi sampai mati.

 

Rencana Kuasa Hukum Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera --Tim Pengacara Muslim (TPM) -- untuk memohon pengujian UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ke Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat tanggapan dingin dari pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta menilai upaya itu hanya 'permainan' TPM untuk memperpanjang umur kliennya. Jangan mempermainkan umur dengan cara seperti itu, ujarnya di Jakarta, Kamis (31/7).   

 

Andi mengatakan rencana eksekusi akan tetap jalan terus meski UU No.2/PNPS/1964 ini benar-benar jadi didaftarkan oleh TPM. Putusan Mahkamah Konstitusi kelak tetap tak akan menunda eksekusi. Eksekusi tak boleh menunggu, ujarnya.

 

Andi menambahkan para terpidana mati sudah diberi hak untuk menempuh upaya hukum seperti kasasi dan peninjauan kembali. Kedua proses ini sudah dilewati oleh para terpidana mati kasus Bomb Bali ini. Judicial review itu bukan upaya hukum, katanya. Pernyataan Andi ini tampaknya sengaja ditujukan untuk menanggapi rencana judicial review yang sudah digembar-gemborkan oleh TPM.

Tags: