Putusan Mahkamah Agung Membuat Karyawan Pertamina Bingung
Berita

Putusan Mahkamah Agung Membuat Karyawan Pertamina Bingung

Madu dan racun itu datang dari Mahkamah Agung. Suka sekaligus sial, para karyawan Pertamina mesti menerimanya.

Her
Bacaan 2 Menit
Putusan Mahkamah Agung Membuat Karyawan Pertamina Bingung
Hukumonline

 

Dalam surat yang ditujukan kepada FSPPB, 29 Februari lalu, Kepala Hukum Korporat Pertamina, Aji Prayudi, menyatakan bahwa belum ada kepastian hukum dalam masalah ini. Karena itu ia menawarkan beberapa alternatif. Alternatif pertama, masing-masing pihak dapat mengajukan permohonan fatwa ke MA.

 

Alternatif kedua, masing-masing pihak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan Kasasi No. 483 K/TUN/2006. Lalu, terhadap putusan No. 13 PK/PHI/2007, Aji menyarankan agar Alex dkk mengajukan permohonan eksekusi atas putusan tersebut ke pengadilan.

 

Anggota Komisi III Prof. Wila Chandrawila menyatakan bahwa dua putusan MA tersebut mengakibatkan masalah ini tidak bisa tuntas dalam waktu singkat. Para pekerja dapat mengajukan PK atas putusan kasasi TUN. Nanti yang dijadikan novum adalah putusan PK yang berkaitan dengan PHI itu, ungkap politikus dari F-PDIP ini. Meski akan memakan banyak waktu, upaya ini dinilainya paling realistis.

 

Jalan lain yang bisa ditempuh, imbuh Prof Wila, adalah mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Namun ia tidak menjamin upaya ini akan membuahkan hasil. Sebab, pihak Pertamina nanti akan menggunakan putusan No. 483 K/TUN/2006 untuk menangkalnya.

 

Bagi Ugan Gandar, saran Prof Wila itu ternyata kurang konkret. Ia berharap Komisi III membantu menyelesaikan masalah ini dengan langkah-langkah yang nyata. Menjawab permintaan itu, Gayus Lumbuun menyatakan bahwa DPR tidak bisa membantu menyelesaikan persoalan yang kasuistik. Politikus F-DPIP menyarankan agar para karyawan menempuh upaya pidana bila telah menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Direksi Pertamina.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III Soeripto menegaskan bahwa Komisi III akan membentuk tim kecil untuk mempelajari masalah ini lebih jauh. Selaku pemimpin rapat, wakil rakyat dari F-PKS ini mengaku bisa memahami aspirasi para karyawan Pertamina.

 

Tiga tahun

Sudah tiga tahun ini, kata Ugan Gandar, nasib karyawan yang dipecat Pertamina itu terlunta-lunta. Ada yang sampai meninggal dunia karena stres. Ada juga yang sakit parah dan tidak sanggup berobat, ceritanya.

 

Awalnya, melalui SK No. 038 dan 041 tadi, manajemen Pertamina melakukan PHK massal terhadap 162 karyawan yang berstatus Pekerja Waktu Tertentu (PWT). Sebagian besar mereka adalah satpam yang telah bekerja lebih dari tiga tahun. Namun Ke-162 karyawan itu tak mau tunduk terhadap SK tersebut. Mereka menilai pihak manajemen telah melanggar mekanisme penyelesaian PHK. Karena itu, mereka membawa persoalan ini ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

 

Setahun berikutnya, P4P memutuskan memberi izin kepada Pertamina untuk melakukan PHK terhadap Alex dkk, terhitung 31 Oktober 2005. Adapun kewajiban Pertamina adalah membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengganti perumahan dan pengobatan, upah bulan Oktober 2005, serta THR.

 

Rupanya perselisihan tidak berhenti di situ. Pihak karyawan dan manajemen Pertamina lantas membawanya ke MA. Terakhir, melalui putusan PK No. 13 PK/PHI/2007, MA menyatakan bahwa para karyawan itu harus dipekerjakan kembali dan statusnya berubah menjadi Pekerja Waktu Tidak Tertentu.

 

Sementara itu, di PTUN, mulanya para karyawan juga menang. Pihak Pertamina diharuskan mencabut SK No. 038 dan 041 tersebut. Alasan majelis hakim PTUN, tindakan Pertamina melanggar Pasal 16 SK Menakertrans No. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

 

Tidak puas terhadap putusan itu, pihak Pertamina mengajukan banding dan dikabulkan. PTTUN Jakarta berpendapat, SK Direksi Pertamina No. 038 dan 041 tersebut tidak tergolong Keputusan TUN, melainkan keputusan di internal perusahaan yang bersifat umum (regelling). Karena itu, PTTUN tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya.

 

Setelah itu giliran para karyawan yang berang. Mereka mengajukan kasasi atas putusan PTTUN itu. Namun setali tiga uang dengan PTTUN, MA berpendapat bahwa SK Direksi Pertamina No. 038 dan 041 tersebut tidak bisa dijadikan objek gugatan di PTUN.

 

Bagaimana setelah ini? FSPPB masih memilah-pilah langkah hukum yang pas.

 

Tanggal 6 November 2007 menjadi saat bersejarah buat Alex dan kawan-kawan (dkk). Pada tanggal itu MA membuat putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 13 PK/PHI/2007 yang memenangkan para karyawan Pertamina tersebut. Pihak Pertamina diharuskan mengangkat mereka menjadi karyawan tetap. Hubungan Kerja Waktu Tertentu harus berubah menjadi Hubungan Kerja Waktu Tidak Tertentu.

 

Sebelum itu, pada 22 Agustus 2007, MA membuat putusan yang membelalakkan Alex dkk. Putusan Kasasi No. 483 K/TUN/2006 itu menyatakan bahwa SK Direksi Pertamina  No. Kpts-038/C00000/2006-SO dan  Kpts-041/C00000/2006-SO bukan termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Karena itu, SK itu tidak bisa dijadikan obyek gugatan di PTUN. Dengan begitu, kedua SK itu tidak bisa dibatalkan melalui gugatan PTUN.

 

SK No. 038 dan 041 tersebut mengatur tentang Penyelesaian Masalah Status Pekerja Waktu Tertentu (PWT). Intinya, dengan SK yang terbit pada 26 Juli 2005 dan 16 September 2005 itu Pertamina melakukan PHK terhadap 162 karyawannya.

 

Menurut Alex dkk, Pertamina semestinya mematuhi putusan MA No. 13 PK/PHI/2007. Sebab, putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap. Kami sudah melapor ke Pertamina, tapi tanggapannya sungguh sangat mengecewakan, kata Ugan Gandar, di depan Komisi III DPR, Selasa (4/3). Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ini menilai Pertamina tidak menghargai putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Halaman Selanjutnya:
Tags: