Bupati Tak Dilibatkan, Pemekaran Dinilai Cacat Hukum
Berita

Bupati Tak Dilibatkan, Pemekaran Dinilai Cacat Hukum

Seharusnya dukungan pemekaran diberikan oleh bupati definitif, bukan Pjs bupati.

Ali
Bacaan 2 Menit
Bupati Tak Dilibatkan, Pemekaran Dinilai Cacat Hukum
Hukumonline

 

Serta merta klaim dari gubernur ini ditolak oleh Herman. Bupati yang dilantik pada Oktober 2003 ini menjelaskan persetujuan harus diberikan oleh bupati definitif. Tugas dari caretaker adalah mempersiapkan pekerjaan bupati selanjutnya, katanya. Dia tak boleh mengambil kebijakan strategis, tambahnya. Lagi pula, lanjut Herman, Pjs merupakan orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov).

 

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie tak menampik perdebatan antara gubernur dan bupati ini. MK selain menguji materi UU, juga menguji proses pembentukan UU itu, tuturnya.

 

Legal standing Bermasalah

Meski terkesan seperti sengketa kewenangan, sejatinya kasus ini hanyalah sebuah uji materi Undang-Undang. Pemohonnya adalah sekelompok masyarakat yang mengaku sebagai kelompok masyarakat hukum adat. Nah, eksistensi mereka ini yang dipertanyakan oleh Hakim Konstitusi. Apakah mereka benar-benar ada, kata Hakim Konstitusi Natabaya.  

 

Natabaya mempertanyakan apakah ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat hukum adat. Berdasarkan ketentuan UU Pemda dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, eksistensi sebuah masyarakat hukum adat ditetapkan oleh Perda. Sehingga dapat dibedakan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat.

 

Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan menyebutkan, Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Penjelasannya berbunyi Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.  

 

Herman mengakui memang belum ada masyarakat hukum adat yang ditetapkan oleh Perda di daerahnya. Namun, ia berpendapat masyarakat hukum adat di daerahnya telah diakui sejak zaman dahulu kala. Ia mengungkapkan bukti soal pembagian 19 wilayah hukum adat oleh Van Valenhoven. Salah satunya adalah Kepulauan Key yang berada di wilayah Maluku Tenggara.

 

Polemik mengenai legal standing memang sudah terjadi saat sidang pemeriksaan pendahuluan. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sempat juga mempertanyakan legal standing pemohon. Para pemohon harus membedakan antara masyarakat adat dengan masyarakat hukum adat karena tidak semua masyarakat adat adalah juga masyarakat hukum adat, ujar Hakim Konstitusi asal Bali ini, beberapa waktu lalu.

 

Sedangkan Natabaya merinci beberapa ciri masyarakat hukum adat. Ciri-ciri masyarakat hukum adat adalah menetap di suatu daerah atau wilayah tertentu, mempunyai pemerintahan sendiri, terdapat benda-benda antik bersejarah, dan mempunyai masyarakat atau penduduk asli, jelasnya panjang lebar. 

 

Kuasa hukum Pemohon, Safriyanto Refa menggunakan perspektif sejarah untuk menjelaskan posisi kliennya. Ia mengutip teori Ter Haar untuk memperjelas posisi kliennya. Ada dua faktor yang dipakai, yakni genealogis dan teritorial. Kedua faktor tersebut terpenuhi. Dari faktor genealogis, kliennya memiliki hubungan darah atau turun temurun dalam masyarakat hukum adat di daerah Maluku Tenggara. Sedangkan faktor teritorial, kliennya telah menempati wilayah yang telah ditempati oleh masyarakat hukum adat itu dalam kurun waktu tertentu.

 

Karena itu, lanjut Safriyanto dengan adanya pembentukan Kota Tual, jelas sangat merugikan hak konstitusional kliennya. Terpecahnya wilayah Maluku Tenggara, menjadi Maluku Tenggara dan Kota Tual, dikhawatirkan membuat masyarakat terbelah, ujarnya. Dampaknya, eksistensi masyarakat hukum adat Maluku Tenggara bisa tergerus, jika masyarakat di Kota Tual membuat masyarakat hukum adat sendiri.

 

Namun, Ketua DPRD Maluku Tenggara Mahmud Muhammad Tamher, yang juga pro pemekaran, mengingatkan pembentukan Kota Tual tak merugikan pemohon. Pembentukan Kota Tual itu kan hanya administrasi pemerintahan. Tak ada hubungannya dengan pemohon, pungkasnya. 

Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah telah mengatur mekanisme pemekaran secara rigid. Pasal 16 ayat (1) huruf a mengharuskan adanya kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan sebagai salah satu prosedur pembentukan daerah.

 

Penjelasannya mengartikan, Yang dimaksud dengan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat adalah adanya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui LSM-LSM, Organisasi-organisasi politik dan lain-lain, pernyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan tertulis baik melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan.

 

Lalu, bagaimana jika seorang bupati tidak dilibatkan dalam proses pemekaraan?

 

Kasus inilah yang menimpa Bupati Maluku Tenggara Herman Adrian Kadubun. Ia mengatakan, proses pembentukan Kota Tual, di Provinsi Maluku, tanpa melibatkan dirinya. Padahal, secara teritorial, sebelumnya, Kota Tual merupakan bagian dari Maluku Tenggara. Pembentukannya tak sesuai dengan prosedur yang ada dalam peraturan perundang-undangan, ujarnya dalam sidang uji materi UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual, Provinsi Maluku, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (30/1). 

 

Gubernur Maluku Karel Albert Relahalu membantahnya. Ia mengatakan, pembentukan Kota Tual sudah sesuai prosedur. Tidak hanya berdasarkan PP No. 129/2000, tetapi juga menggunakan UU 22/1999 jo. UU 32/2004 tentang Pemda maupun UUD'45, jelasnya dalam kesempatan yang sama.

 

Khusus mengenai persetujuan bupati, Karel memiliki jawaban sendiri. Ia mengungkapkan, persetujuan itu telah dikantonginya, tapi bukan dari Herman, sang bupati. Izin tersebut diberikan oleh pejabat sementara (Pjs) Bupati Maluku Tenggara, sebelum Herman dilantik, jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: