Menurut Iqbal, penilaian terhadap kebijakan tarif dalam RUU Haji adalah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang cenderung menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Padahal, jika ditentukan dalam mekanisme terbuka, maka BPIH tersebut tidak akan setinggi dari biaya yang seharusnya. Penetapan BPIH untuk segmen haji reguler sebaiknya terbentuk melalui mekanisme persaingan yang tidak diskriminatif disertai dengan kriteria–kriteria teknis yang jelas dan transparan, saran Iqbal di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (8/10).
Seperti diketahui, BPIH ditetapkan oleh presiden setahun sebelumnya, berdasarkan usulan dari Menteri Agama (Menag) dengan persetujuan DPR. Akibatnya, kata Iqbal, informasi besaran biaya praktis tidak mempertimbangkan dorongan potensi efisiensi yang bisa saja dilakukan oleh penyelenggara haji swasta. Sebab, pasar diatur secara kaku (rigid), bahkan dipersepsikan given oleh swasta, sehingga mengakibatkan monopolisasi pasar penyelenggaraan ibadah haji menjadi terjustifikasi oleh sistem. Akibatnya tarif yang terbentuk cenderung untuk terus naik bahkan eksploitatif, ujarnya.
Ia melanjutkan, eksploitasi pasar yang terjadi juga dapat ditunjukan pada segmentasi pasar haji khsusus atau haji plus. Penetapkan tarif ONH plus oleh pemerintah ternyata tidak mendorong swasta untuk melakukan efisiensi. Karakter permintaan pasar di segmen yang bersifat inelastik ini, dimanfaatkan swasta untuk menetapkan besaran tarif di atas ketentuan tarif yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sementara, ketentuan regulasi penyelenggaraan ibadah haji tidak mengatur mengenai sanksi atas perilaku semacam itu.
Namun demikan, Menag Muhammad Maftuh Basyuni beragumen, meski menggunakan dasar perhitungan tahun sebelumnya, namun penentuan BPIH tetap dilakukan melalui pembahasan dan tawar menawar untuk memperoleh tarif yang wajar dan proporsional.
Menag juga mengatakan, berkenaan dengan tarif transportasi udara, penawaran dari Maskapai Garuda Indonesia adalah yang paling rendah, dibandingkan dengan maskapai lain yang melakukan penawaran pada saat itu (tahun 2006), yakni Air Asia.
Tender harus Terbuka
Iqbal meminta agar penyelenggaraan angkutan untuk jamaah haji perlu mengikutsertakan perusahaan-perusahaan transportasi nasional secara lebih luas, baik untuk angkutan darat maupun angkutan udara. Sedangkan untuk penyediaan akomodasi dan katering perlu didorong kerjasama ekonomi (swasta nasional–swasta Arab Saudi) sehingga dapat memperluas peran pengusaha nasional dalam penyediaan jasa katering baik di embarkasi maupun di Arab Saudi.
Sebagai informasi, sejak 2003 silam, Departemen Agama (Depag) menetapkan penyelenggaraan pelayanan haji di tanah air berdasarkan tender sesuai dengan Keputusan Presiden No. 80/2003. Sedangkan untuk katering dan pemondokan di Arab Saudi, tidak dapat dilakukan mekanisme yang sama karena harus mengikuti regulasi yang mengikat (Ta'limatul Hajj) dari Pemerintah Arab Saudi, dimana pelaksanaannya harus dengan perusahaan atau pemilik warga negara Arab Saudi.
KPPU juga sempat mempermasalahkan perangkapan fungsi regulasi dan pelaksanaan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji. KPPU berpendapat perangkapan itu telah menjadi salah satu penyebab utama dari inefisiensi penyelenggaraan haji. Iqbal mengatakan hubungan regulator–operator seharusnya bersifat vertikal.
Perangkapan tersebut pada prakteknya akan menyulitkan mekanisme reward and punishment. Apalagi berdasarkan pengalaman, Depag tidak pernah mendapatkan hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas terus terulangnya berbagai permasalahan di dalam penyelenggaraan ibadah haji, tutur Iqbal.
Rekomendasi KPPU:
|
Sayangnya usulan tersebut, ditolak Menag. Padahal, saat Rapat Dengar Pendapat Pansus DPR dengan KPPU dikemukakan, jika dilakukan pemisahan, maka akan lebih besar mudharatnya. Sebagian besar anggota Pansus waktu itu meminta agar pemerintah lebih mengutamakan perlindungan dan pelayanan ibadah ketimbang pendekatan bisnis, kata Iqbal.
RUU Haji
Dalam rekomendasinya, KPPU juga memasukan usulan perbaikan beberapa pasal dalam RUU Haji yang sedang digodok di DPR. Intinya, KPPU menyatakan ketentuan dalam RUU Haji masih mempertahankan paradigma bahwa bentuk jaminan perlindungan negara harus termasnifestasikan dalam bentuk perangkapan fungsi regulasi dan fungsi pelaksanaan oleh pemerintah. Padahal, manajemen monopolistik yang selama ini dijalankan setidaknya cukup memberikan informasi bahwa pola yang demikian telah mengakibatkan penyelenggaraan haji tidak optimal.
Usulan Perbaikan RUU Perubahan Perubahan UU No.17/1999
RUU Inisiatif DPR | Usulan Perbaikan (KPPU) |
Pasal 3 | |
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, kemanana dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang menunaikan ibdah haji
| Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan dan perlindungan dengan menentukan standar minimum fasilitas dan kenyamanan yang diperlukan oleh setiap warga negara yang menunaikan ibadah haji
|
Pasal 7 | |
Ayat (2) Kebijakan penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggungjawab Pemerintah Ayat (3) Pelaksana ibadah haji adalah Pemerintah dan/atau masyarakat Ayat (5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi dan/atau bekerjasama dengan masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi | Ayat (2) Kebijakan Penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggungjawab Pemerintah Ayat (3) Pelaksana ibadah haji adalah badan pelaksana ibadah haji yang dibentuk oleh Pemerintah untuk maksud tersebut bekerjasama dengan badan hukum indonesia yang memiliki kompetensi khusus di bidang yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji setelah melalui mekanisme penunjukan yang transparan dan memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat Ayat (5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah menunjuk Menteri untuk melakukan koordinasi dengan departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi |
Pasal 22 | |
Besarnya BPIH di tetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia | Besarnya BPIH di tetapkan oleh Presiden atas usul Badan Pelaksana Ibada Haji setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia |
Pasal 45 | |
Penunjukan pelaksana transportasi jamaah haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi | Penentuan pelaksana transportasi jamaah haji dilakukan oleh badan pelaksana ibadah haji dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi melalui mekanisme persaingan usaha yang sehat |
Pasal 46 | |
Pelaksanaan transportasi jamaah haji dari daerah asal ke embarkasi dikoordinasikan dan menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bersama DPRD | Penentuan pelaksana transportasi jamaah haji dari daerah asal ke embarkasi dilakukan oleh badan pelaksana ibadah haji daerah dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi melalui mekanisme persaingan usaha yang sehat |
Pasal 48 | |
1. Menteri berkewajiban menyediakan akomodasi bagi jemaah haji tanpa biaya tambahan di luar BPIH 2. Pengadaan akomodasi bagi jamaah haji dilakukan dengan memperhatikan standar pelayanan minimum yang mencakup kesehatan, kenyamanan, kemudahan dan keamanan jamaah haji beserta barang bawaannya 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan akomodasi bagi jamaah haji diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri | Penentuan Pelaksana akomodasi jamaah haji dilakukan oleh badan pelaksana ibadah haji dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah yang meliputi aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi melalui mekanisme persaingan usaha yang sehat
|
Sumber: KPPU
Disamping itu, KPPU juga menyarankan agar dibentuk pasal yang mengatur mekanisme pengenaan dan penerapan sanksi yang seberat-beratnya atas berbagai penyimpangan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji. Sanksi ini, kata Iqbal, tidak hanya terbatas yang dilakukan oleh swasta, namun juga potensi penyimpangan yang dilakukan oleh BPIH.
Upaya pembenahan terhadap penyelenggaran ibadah haji selalu dilakukan setiap tahun. Namun, upaya tersebut tetap saja tidak memberikan hasil yang maksimal bagi penyelenggaran ibadah haji.
Buktinya, lihat saja tahun lalu. Pasokan makanan untuk jamaah haji asal Indonesia terlantar, karena penyelenggaraan katering yang tidak becus. Belum lagi masalah pemondokan haji, Ongkos Naik Haji (ONH) yang setiap tahunnya melambung, jamaah yang gagal berangkat dan masih banyak masalah lainnya.
Maka tak heran banyak pihak yang menyangsikan penyelenggaraan haji oleh pemerintah. Kran swasta pun dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. Namun, tetap saja hasinya nihil. Padahal pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang cukup mumpuni. Hanya saja, berbagai kalangan menilai Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dinilai belum mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Untuk itu, DPR berinisiatif mengubah UU Haji tersebut.
Menyikapi substansi pengaturan dalam RUU Haji itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengajukan saran dan pertimbangan sebagai masukan kepada pemerintah melalui surat No. 215/K/VII/2007 pada 10 Juli lalu. Surat itu langsung ditanggapi oleh pemerintah melalui Surat Menteri Agama No.: MA/164/2007 tertanggal 24 Agustus 2007.
KPPU menilai pada prinsipnya pembenahan yang diusulkan dalam RUU Haji belum mendorong pembenahan menyeluruh. Ketua KPPU Mohammad Iqbal mengatakan, pada RUU itu terdapat tiga masalah yang perlu disempurnakan, yakni kebijakan tarif, kebijakan pemberdayaan pelaku usaha nasional dan organisasi penyelenggaraan ibadah haji.