Lunturnya Asmara Klien kepada Advokatnya
Utama

Lunturnya Asmara Klien kepada Advokatnya

Perseteruan antara Jakarta Monorail dengan advokatnya berujung ke meja hijau. Dari gugatan berlanjut ke permohonan pailit. Apa sebab runyamnya hubungan klien-advokat ini?

Sut/Kml
Bacaan 2 Menit
Lunturnya Asmara Klien kepada Advokatnya
Hukumonline

 

Saat mediasi di PN Jakarta Timur, aku Adi, ia masih mengupayakan damai kepada JM. Antara lain dengan meminta JM membayar sebagian tagihannya. Solusi lainnya, ia meminta JM untuk memberikan surat pengakuan utang. Di surat pengakuan utang itu bisa saja disebutkan, uang baru diberikan ke saya setelah dana turun dari investor. Simple kan, ujarnya.

 

Sayangnya, lanjut Adi, pihak JM dalam mediasi terkahir menyatakan tidak akan membayar sepeserpun. Sehingga, mediasi akhirnya menemui jalan buntu.  

 

Sementara itu, Direktur JM Sukmawaty Syukur dalam wawancara khusus dengan hukumonline mengemukakan, pangkal permasalahan mencuat saat perubahan Joint Venture & Shareholders' Agreement in relation to PT Jakarta Monorail atau JVA (perjanjian patungan dan perjanjian antar pemegang saham JM) tertanggal 29 Maret 2006. JVA pertama sendiri ditandatangani PT Indonesia Transit Central (ITC) dan Green Leaf Resources SDN, BHD (GLR) pada 14 Januari 2006.

 

Ceritanya, sebelum adanya JVA, ITC merupakan pemilik 98,672% atau 197.344 saham JM. Selain ITC, saham JM juga dimiliki Omnico Singapore Pte, Ltd (Omnico) sebesar 1,125% atau 2.250 saham, dan PT Citrayasa Niagatama (CYN) sebesasar 0,203% atau 406  saham. Sedangkan GRL merupakan broker asal Malaysia yang diajak kerja sama oleh ITC untuk menggaet investor Dubai Islamic Centre (DIC), Uni Emirat Arab untuk membiayai proyek JM.

 

Namun setelah adanya JVA pertama, disepakati adanya perubahan susunan kepemilikan saham JM. Perubahan itu turut memasukan GLR sebagai pemilik saham baru di JM. Syaratnya, proyek itu harus berjalan sesuai rencana. Dalam JVA itu, GLR dinobatkan sebagai pemilik saham mayoritas. Sehingga  rinciannya menjadi ITC 644.174 saham atau 39,6415% dan GLR 969.174 saham atau 59,6415%. Sementara Omnico dan CYN masih tetap jumlah sahamnya.

 

Sedangkan di JVA amandemen, kepemilikan saham ITC menjadi mayoritas yakni 102.000 lembar saham atau 51%, sedangkan GLR menjadi 95.344 lembar saham atau 47,672%. Sementara Omnico dan CYN jumlah sahamnya tetap sama, hanya saja prosentasenya kepemilikannya menjadi naik, masing-masing sebesar 1,125% dan 0,203%.

 

Amandemen itu, kata Sukmawaty, melibatkan Adi dan Gusnelia. Bahkan, menurutnya, keduanyalah yang menyiapkan draf JVA pertama maupun JVA amandemen. Kita memang terlalu percaya kepada keduanya, apalagi dengan Nelia-panggilan akrab Gusnelia. Dari awal saya sudah kenal dia, ungkapnya.

 

Sukmawaty menambahkan, ada yang janggal dalam draf JVA amandemen. Tidak seperti JVA pertama yang ditandatangani oleh semua direksi dan komisaris JM, dalam JVA amandemen yang bertandatangan hanya direktur utama plus saksi. Saksinya sendiri tak lain adalah Gusnelia. Dia menambahkan, alasan Gusnelia waktu itu adalah waktu yang terlalu mepet. Sebab, katanya, pihak DIC sudah menunggu draf tersebut. Jika tidak ditandatangani sekarang, kata Nelia, maka perjanjian akan batal, sambung Sukmawaty.

 

Lalu kenapa dia tidak mencegahnya? Sukmawaty mengaku dirinya serta direksi dan jajaran komisaris lainnya tidak mengetahui isi JVA amandemen ini. Waktu itu, dia langsung ke Pak Ruslan (Ruslan Diwirjo, Dirut JM). Kepada Pak Ruslan dia mengatakan kalau jajaran direksi dan komisaris sudah setuju adanya amandemen ini, terangnya.

 

Itu semuanya dibalik dan difitnah, bantah Adi. Menurut versi Adi, saat itu, tidak ada direksi lain di kantor kecuali Ruslan. Sementara, hari berikutnya, JM sudah harus menyerahkan laporan ke Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengenai kelanjutan dari pembiayaan monorel oleh JM. Kalau nggak ada tanggapan dari kita, maka kontrak konsesi JM untuk proyek monorel akan diputuskan, ucapnya.

 

Karena terdesak, lanjut Adi, Ruslan sendiri yang memaksakan untuk menandatangani JVA amandemen tersebut. Sudahlah tandatangani, besok kita ditanya Sutiyoso, daripada nggak ada apa-apa, kata Adi menirukan ucapan Ruslan waktu itu.  

 

Bukannya tanpa alasan Ruslan mau menandatangani JVA amandemen tersebut. Sebab, kata Adi, di tahun 2005 advokat dari Pemda DKI Jakarta pernah berujar bahwa jika sampai tanggal itu JM tidak menunjukan bukti adanya finacial agrement, maka Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk konsensi JM bakal dicabut.

 

Posisi JM menjadi lemah

Mengenai isi dari JVA pertama maupun JVA amandemen sendiri, Otto Hasibuan menegaskan kalau isi dari kedua perjanjian itu sangat melemahkan posisi JM sebagai pemilik proyek. Buktinya, JVA amandemen tidak mengatur kewajiban GLR sebagai pihak arranger dan menghilangkan escape clause maupun termination clause (klausul pengakhiran perjanjian) yang sebelumnya ada di JVA pertama. Intinya, perubahan hak GLR tak lagi bergantung pada financial closing (kucuran dana) dari investor. Akibatnya, kata dia, GLR akan terus menuntut haknya tanpa ada kewajiban dari GLR yang harus dipenuhi kepada JM.

 

Perubahan susunan saham ini juga dipersoalkan oleh pemegang saham ITC dan JM. Pasalnya, penjualan saham secara bersyarat dari ITC di JM kepada GLR dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) ITC maupun JM. Ini sudah cacat hukum, tegas Otto.

 

Menurutnya, hal ini tidak akan terjadi apabila kedua advokat tersebut mengingatkan direksi ICT maupun JM untuk mengadakan rapat terlebih dahulu dengan para pemegang saham untuk memperoleh persetujuan.   

 

Mengenai pengalihan saham ini, Adi justru sempat mengakui kalau hal itu memang upaya untuk merampok saham orang lain. Hanya saja, caranya sesuai dengan hukum yang diatur dalam Anggaran Dasar (AD) JM.

 

Itu skenario dilusi. Kita menemukan dalam UU PT dan AD JM bahwa mereka (Omnico, red) bisa didelusi dengan beberapa skenario. Akhirnya, kita susunlah skenario itu. Dulu kita mengangap itu skenario cerdik, tetapi ternyata skenario jahat juga. Buktinya, mereka mengusir Omnico, paparnya panjang lebar.

 

Adi sudah memperkirakan skenario tersebut bisa berujung pada dituntutnya direksi JM oleh pemegang saham Omnico. Hanya saja, kata Adi, posisi JM waktu itu aman dan tidak bakal kalah. Betul saja, di pengadilan akhirnya tercapai kata damai antara direksi JM yang diwakili oleh dirutnya dengan pemegang saham Omnico.

 

Adi juga menegaskan bahwa RUPSLB sebenarnya diadakan. Hanya saja tidak dihadiri semua pihak. Soalnya, lanjut Adi, walaupun dalam RUPSLB korum mereka kecil, namun sesuai AD JM pemegangsaham tetap dapat memanggil dan memutuskan pengalihan saham tersebut di JM.

 

Selesai? Belum. Otto mengatakan kerugian juga sempat diderita JM saat Gusnelia memberi saran kepada direksi JM untuk menandatangani perjanjian investasi dengan Eurofund Multy Indo Inc dan perjanjian pembiayaan antar pemegang saham dengan PT Eurofunds Multy Indo (EMI). Keduanya ditandatangani pada 20 Januari 2006.

 

Dalam perjalanannya, EMI tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam mencarikan sumber dana. Padahal, JM telah menggelontorkan dana 50 ribu euro atau lebih dari Rp 581 juta kepada EMI. Dana itu sebagai pembayaran registration fee yang meliputi pembayaran processing fee dalam rangka penerbitan instrumen berupa Standby Letter of Credit (Stanby LC) atau instrumen lainnya.

 

Akibat kelalaiannya, EMI telah mengembalikan dana sebanyak US$ 2.000 atau setara dengan Rp.17,860 juta pada 12 April 2006. sementara sisanya, ungkap Otto, belum dikembalikan ke JM hingga sekarang. 

 

Adanya saran-saran sesat yang diberikan oleh Adi dan Gusnelia, maka kata Otto, JM mengalami kerugian. Untuk itu, dia meminta majelis hakim untuk membatalkan Surat Penunjukan (SP) 1 April 2005, SP 1 September 2006 dan legal services agreement 1 Maret 2006 yang diberikan JM kepada Adi dan Gusnelia. Selain itu, dia juga meminta keduanya untuk mengembalikan imbalan jasa (legal fee) yang telah dibayar JM sebesar Rp 40 juta saat SP 1 April 2005.

 

Gusnelia bukan advokat

Ada yang menarik dari kasus ini. Sukmawaty mengungkapkan, Gusnelia yang selama ini mengaku sebagai advokat ternyata bukan seorang advokat. Hal ini diketahui direksi JM saat menanyakan status Gusnelia kepada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Selain itu, dalam situs resmi APP disebutkan Gusnelia merupakan partner di kantor milik suaminya itu. Jika kita tahu dari awal, maka kita tidak akan menggunakan jasa mereka, imbuh Sukmawaty.

 

Menurut Otto, yang juga menjabat Ketua Umum PERADI, kasus ini bisa menjadi masalah serius. Pasalnya, Adi sebagai pemilik dari APP, membiarkan Gusnelia untuk memberikan jasa hukum kepada JM. Padahal upaya Adi ini jelas-jelas bertentangan dengan kewajiban hukumnya yang tidak boleh memperkenalkan sebagai advokat sesorang yang bukan advokat. Otto menambahkan tindakan Adi sudah bertentangan dengan UU No. 18/2003 tentang Advokat, Kode Etik Advokat dan KUHP. Selain itu dia juga melanggar Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata.

 

Tidak mau dipersalahkan, Adi balik menyerang Sukmawaty dan Otto. Dia mengatakan direksi JM sudah tahu dari awal kalau Gusnelia hanya seorang konsultan dan bukan advokat. Dan selama ini, katanya, perjanjian kontrak selalu dilakukannya sendiri, termasuk tandatangan kontrak. Jadi, dia (JM, red) bohong kalau tidak tahu Gusnelia bukan advokat. Sekali lagi, itu hanya alasan mereka untuk mengemplang utangnya, tegasnya.

 

Yang jelas, kasus ini akan semakin ruyam. Dan tentunya proyek monorel bisa jadi tertunda lagi. Pasalnya, kata Adi, dengan adanya permohonan pailit yang dia ajukan, dipastikan tidak JM tidak akan dapat dana dari siapa pun. Karena dengan saya pailitkan, tidak ada investor, bank atau apapun yang mau invest ke JM, tandasnya.

Gugat-menggugat sesama rekan bisnis, itu biasa. Tapi, gugat-menggugat antara advokat dengan kliennya, itu baru ruaarrr biasa. Belum lagi proyek monorail berjalan, PT Jakarta Monorail (JM) selaku pemilik dari mega proyek itu, dimohonkan pailit oleh Firma Hukum Adi Prasetyo & Partners (APP), advokatnya sendiri.

 

Bukan tanpa alasan APP memohon pailit. Pasalnya, JM baru membayar jasa hukum sejumlah Rp 40 juta, dari total tagihan yang jumlahnya lebih dari Rp 2,2 miliar, plus US$ 872 ribu. Permohonan pailit ini merupakan buntut dari gugatan JM kepada Adi Prasetyo dan Gusnelia Tartiningsih, konsultan hukum sekaligus pemilik APP.

 

Sebelumnya, JM melayangkan gugatan kepada 2 orang mantan advokatnya itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jakarta Timur) pada 27 Juni 2007. Gugatan itu didasarkan atas perbuatan melawan hukum (PMH). Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi alasan dari gugatan itu.

 

Dalam surat gugatan JM yang diwakili Otto Hasibuan dan Haryo Wibowo, dijelaskan bahwa pendapat hukum yang diberikan Adi dan Gusnelia kepada JM ternyata tidak tepat, sehingga menimbulkan kerugian bagi JM.   

 

Namun, hal ini buru-buru dibantah oleh Adi. Menurutnya, inti dari gugatan JM di PN Jakarta Timur hanya untuk mengemplang utang-utangnya kepada APP. Supaya tidak disalahkan, makanya mereka menggugat duluan untuk membatalkan kontrak, tangkisnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: