Anggota KPI Harus Bertekad Amandemen UU Penyiaran
Utama

Anggota KPI Harus Bertekad Amandemen UU Penyiaran

UU Penyiaran dinilai tidak memuaskan kalangan Pemerintah, KPI, maupun industri. Saatnya direvisi?

CRY
Bacaan 2 Menit
Anggota KPI Harus Bertekad Amandemen UU Penyiaran
Hukumonline

 

Pasal 33

(1)          Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.

(2)          Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

(3)          Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.

(4)          Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:

a.             masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;

b.             rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;

c.              hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan

d.             izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.

(5)          Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.

(6)          Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.

(7)          Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara.

(8)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

 

 

Djoko menjelaskan, sebenarnya lubang UU Penyiaran tak hanya berkaitan dengan masalah perizinan. UU ini memang kontroversial. Dalam penggodokannya semasa masih RUU pun berjalan lama berlarut-larut. Akhirnya terjadilah kompromi. Namun akhirnya menjadi bom waktu karena multitafsir. Apa yang dipahami KPI beda dengan pemahaman Depkominfo, tutur pria berkucir kuda ini.

 

Depkominfo dinilai oleh KPI telah mengejawantahkan UU Penyiaran tersebut dengan melahirkan sejumlah PP yang justru bertentangan dengan UU tersebut. KPI pun telah mengajukan judicial review beberapa PP penyiaran itu. Depkominfo ngotot agar KPI menjalankan PP tersebut. Kita tak perlu tunduk kepada PP yang sedang diuji materinya. Masak mau menjalankan PP yang dinilai bertentangan dengan UU-nya? ujar Amelia Hezkasari Day, anggota KPI 2003-2006 yang mencalonkan diri kembali. 

 

Selain itu, menurut Djoko, UU ini juga berpotensi bertabrakan dengan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Penerapan UU Penyiaran ini rupanya meninggalkan lubang yang belum terpikirkan antisipasinya semasa penggodokan RUU.

 

Djoko mencontohkan koordinasi KPI dan KPI Daerah (KPID). Jika KPI didanai dari APBN, maka KPID didanai oleh APBD. Akibatnya, KPID merasa tidak di bawah komando KPI. Nah, padahal, ada masalah frekuensi yang tak bisa diatur dalam batas administratif wilayah provinsi. Perdebatan KPI cukup di pusat atau harus ada di daerah juga sudah berlarut-larut, tutur Djoko.

 

Jawaban berbeda pun terlontar dari para kandidat. Jilal Mardhani, Alex Sobur, Suzen Tobing, Eddy Nugroho, maupun Mabroer senada bertekad mengamandemen UU Penyiaran. Menariknya, Bimo Nugroho yang notabene anggota KPI 2003-2006 justru menilai materi UU Penyiaran sudah bagus.  Hanya saja, untuk jangka panjang, kita perlu menyusun UU Komunikasi (Communication Act) yang sudah berlaku di negara maju, tutur Bimo. Senada dengan Amelia, Bimo juga mempermasalahkan substansi PP bidang penyiaran.

 

Sementara itu, salah satu panelis debat tersebut, anggota Komisi I DPR Hajriyanto Y. Thohari menjelaskan proses amandemen UU Penyiaran nampaknya masih jauh dari prioritas. Yang paling menonjol menjadi sengketa KPI dan Depkominfo memang pasal yang mengatur perizinan. Antara DPR, KPI, dan Depkominfo sendiri pernah melakukan pertemuan. Namun bukan mengagendakan amandemen. Baru menjajaki kemungkinan amandemen, tuturnya. Amandemen nampaknya baru relevan kita bicarakan setelah keputusan MA keluar, pungkasnya.

 

Uang denda

Pertanyaan para panelis berhasil memancing perbedaan argumentasi para kandidat. Menyoal uang denda, FX Rudy Gunawan menilai uang denda administratif seharusnya langsung diserahkan ke kas KPI. Selama ini, uang denda itu disetor ke kas negara yang dikelola Departemen Keuangan (Pasal 55 UU Penyiaran).

 

Rudy berpendapat dengan setoran uang denda langsung ke kas KPI bisa mencegah korupsi. Masalah transparansi tak perlu dikhawatirkan. KPI bisa lebih mudah melokalisirnya. Uang denda yang masuk ke kas KPI tetap harus diketahui oleh Depkeu.

 

Sementara itu, Moh. Ridlo Eisy, kandidat lainnya, berpendapat, anggota KPI harus transparan. Jangan main-main dengan uang karena uang sangat licin, paparnya. Sedangkan kandidat lainnya, Sri Mulyati, tetap bersikukuh uang denda disetor ke kas negara.

 

Tindak sinetron jiplakan

Pada umumnya para pengunjung mengeluhkan mutu tayangan televisi yang membodohi masyarakat. Masyarakat mencemaskan tayangan yang berbau pornografi, klenik, maupun kekerasan. Menjawab pertanyaan tersebut, Rudy menekankan peran regulasi. Bisa saja diatur distribusinya, siapa saja yang berhak menikmati tayangan dewasa. Bukankah itu merupakan salah satu ekspresi budaya?

 

Masyarakat pun mencermati beberapa program sinetron yang ternyata diduga jiplakan dari sinetron asing. KPI sendiri bakal merespon permintaan itu. Kita bisa menghentikan tayangan Smackdown. Kenapa yang lainnya tidak? ujar Bimo optimis.

 

Bimo menjelaskan KPI berencana segera memanggil jajaran RCTI terkait dengan masalah tersebut. KPI akan memanggil RCTI karena menayangkan sebuah sinetron berjudul Buku Harian Nayla, ujar Bimo. Bimo mengakui alur cerita sinetron tersebut bagus, namun diduga menjiplak sebuah sinetron mandarin.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran rupanya terus menuai kekecewaan berbagai kalangan. Baik Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pemerintah via Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), maupun pelaku industri tak puas dengan UU ini, ujar anggota Masyarakat Komunikasi Indonesia Djoko Wahjono Tjahjo.

 

Sebagai salah satu panelis pada hari pertama acara Debat Terbuka Kandidat Anggota KPI 2006-2009 (16/1), Djoko memancing semua kandidat Jika kalian menjadi anggota KPI nanti, bertekadkah mengamandemen UU Penyiaran? celetuknya. Acara debat yang diselenggarakan Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) ini berlangsung dua hari dengan menghadirkan 26 calon anggota KPI.

 

Leo Batubara, anggota Dewan Pers, senada melontarkan pertanyaan. KPI sudah dirampas kedaulatannya oleh Depkominfo. Depkominfo membuat beberapa PP yang melangkahi UU Penyiaran. Maukah Saudara merebut kedaulatan itu kembali? serunya.

 

Intinya, lontaran kedua tokoh tersebut berkaitan dengan silang sengkarut wewenang Depkominfo dan KPI. Terutama, wewenang pemberian perizinan (Pasal 33 UU Penyiaran). Meski secara administratif KPI berwenang memberikan izin, proses pemberiannya harus digodok bersama Pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: