Ketua DPR: Ada Indikasi KPK Dikebiri
Utama

Ketua DPR: Ada Indikasi KPK Dikebiri

MK menyarankan agar segala aspirasi dan pemikiran dalam rangka menyempurnakan materi UU KPK disalurkan langsung ke pembentuk undang-undang. MK lepas tangan?

Rzk/Mys/Lut
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR: Ada Indikasi KPK Dikebiri
Hukumonline

 

Politisi senior dari Partai GOLKAR ini bahkan melihat ada indikasi fungsi dan kewenangan KPK dikebiri. Buat Agung, ini bukan pertama kalinya MK memangkas kewenangan sebuah lembaga negara karena sebelumnya Komisi Yudisial (KY) dan KKR juga mengalami hal yang sama.

 

Sementara itu, dari kalangan LSM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui siaran persnya menyatakan MK bertindak cukup arif dengan memberikan tenggat waktu 3 tahun bagi pembuat undang-undang agar memperbaiki UU KPK. YLBHI memandang langkah MK tersebut sudah tepat mengingat saat ini Pengadilan Tipikor sedang memeriksa perkara yang tidak dapat dibatalkan begitu saja. Oleh karenanya, YLBHI menegaskan Pengadilan Tipikor harus tetap berjalan sembari dibuat landasan hukum yang lebih baik dan sejalan dengan UUD 1945.

 

Sehubungan dengan itu, YLBHI memandang bagian terpenting dari putusan MK adalah pemberian kewajiban kepada DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk segera merumuskan landasan hukum yang konstitusional bagi Pengadilan Tipikor.

 

Akademisi Rudy Satrio Mukantardjo juga sependapat bahwa waktu yang diberikan MK selama tiga tahun sudah cukup ideal. Asumsinya, DPR dan Pemerintah perlu waktu merancang, membahas dan mensosialisasikan draft hasil revisi UU KPK. Mengenai kemungkinan pelimpahan semua perkara korupsi ke Tipikor, kata Rudy, justeru sejalan dengan amandemen UU KPK yang selama ini sudah dilakukan.

 

Di sebuah acara di Depok, Rabu kemarin, anggota Komisi III DPR Lukman Hakim Saefuddin mengatakan revisi UU KPK tetap dimungkinkan dibahas meskipun tidak termasuk dalam daftar prioritas Prolegnas. Sebab, Prolegnas bukanlah harga mati. Revisi itu harus dilakukan dalam rangka mengisi kekosongan hukum, ujarnya.

 

Pembelaan MK

Menariknya, MK untuk kali ini dengan ‘cerdik' telah menyiapkan pernyataan pembelaan diri terlebih dulu sebelum berbagai kritik menyerang mereka. Pembelaan diri yang juga tercantum dalam putusan MK tentang pengujian terhadap UU KPK, MK menyatakan adanya permohonan pengujian terhadap UU KPK haruslah diterima dan dipandang sebagai upaya hukum yang wajar dan harus dihormati.

 

MK berpendapat pengujian UU KPK tidak serta-merta dan secara a priori dicurigai sebagai bentuk perlawanan balik (fight back) yang bersifat inkonstitusional. Menafikan hak warga negara untuk melakukan upaya hukum dalam rangka mencari keadilan (access to justice) justru dapat dinilai sebagai pengingkaran terhadap HAM dan sekaligus tidak menghormati prinsip negara hukum.

 

Namun begitu, MK menyadari bahwa UU KPK adalah produk legislasi yang perlu diperbaiki segera, hal mana dapat diindikasikan dari seringnya undang-undang ini diajukan ke MK. Untuk itu, MK menyarankan agar segala aspirasi dan pemikiran   dalam rangka menyempurnakan materi UU KPK disalurkan langsung ke pembentuk undang-undang. Dengan demikian, kepastian dasar hukum bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak terganggu oleh seringnya diajukan permohonan pengujian terhadap undang-undang a quo kepada Mahkamah, demikian pertimbangan MK.

 

Bukan Mahkamah Konstitusi (MK) namanya kalau tidak membuat putusan yang mengundang banyak komentar. Demikian pula yang terjadi ketika MK dengan ‘kontroversial' menyatakan dasar pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yakni Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) bertentangan dengan UUD 1945 (19/12). Sejumlah kalangan mulai dari DPR, LSM, hingga akademisi langsung bereaksi menyikapi putusan yang diwarnai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah seorang hakim konstitusi tersebut.

 

Ketua DPR Agung Laksono mengatakan putusan MK belakangan ini tidak dapat dipungkiri banyak menarik perhatian masyarakat. Dengan dasar itu, Agung mengatakan DPR akan segera menyikapinya dengan mengagendakan pertemuan dengan MK. Saya telah meminta kepada pimpinan Komisi III untuk segera mengagendakan pertemuan khusus dengan Mahkamah Konstitusi. Agendanya, membahas keputusan MK yang telah diputuskan selama ini, ujarnya ketika ditemui seusai pertemuan Pimpinan DPR dengan DPD di Gedung Nusantara III DPR, Selasa (19/12).

 

Agung mengharapkan MK menjalankan fungsi dan wewenangnya secara lebih cermat sehingga tidak memunculkan kesan putusan MK menghambat gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Lebih dari itu, Agung khawatir kalau MK melalui putusan-putusan yang mereka hasilkan dipandang telah melampui kewenangan. Sebagai contoh, putusan MK tentang UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dimana MK membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut meskipun yang diajukan hanya tiga pasal. Makanya, jangan sampai MK ini melampaui apa yang sudah menjadi kewenangannya sehingga merugikan masyarakat, tambahnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: