Kuasa Hukum Amrozi cs Akan Ajukan PK dan Judicial Review
Berita

Kuasa Hukum Amrozi cs Akan Ajukan PK dan Judicial Review

Perdebatannnya pada mekanisme hukuman mati dengan cara dipancung.

M-1/M-3
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Amrozi cs Akan Ajukan PK dan Judicial Review
Hukumonline

 

Selain mempersoalkan teknis hukuman, kuasa hukum juga berencana akan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA dan judicial review terhadap Penetapan Presiden (Penpres)/Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Menurut Michdan, PK dan judicial review tersebut rencananya akan diajukan pertengahan bulan Ramadhan.

 

Berdasarkan Penpres tersebut, hukuman mati dilakukan dengan ditembak. Penpres itersebut mengatur secara detail prosedur pelaksanaan hukuman mati mulai dari tempat eksekusi, posisi terpidana saat dieksekusi, eksekusi terhadap wanita hamil, jenis peluru yang digunakan regu tembak, dan lain-lain.

 

Menurut Michdan, seyogyanya hukuman mati sudah tidak berlaku lagi untuk tu pihaknya menginginkan adanya pembaruan hukum. Kita ajukan uji materill mengenai pidana mati ini, terutama mengenai tata cara dan pemberlakuaan pidana mati. Itu sudah tidak sesuai lagi. Itu yang kita ajukan ke MK, kata Michdan.

 

Michdan juga mengungkapkan bahwa ada beberapa korban bom Bali I warga negara Inggris yang non Islam justru berkeberatan terpidana Bom Bali I dihukum mati, karena menurut mereka ketika ada orang yang melakukan pembunuhan atas jihad tidak tepat dipidana mati. Tidak membuat kapok, justru membuat semakin tinggi tingkat mujahidinnya. Kalau yang menjadi target efektifitasnya, maka tidak layak pidana mati diterapkan, jelas Michdan.

Michdan menyatakan bahwa hukuman mati di negara Indonesia merupakan warisan Belanda. Tetapi di Belanda sendiri sudah dicabut, tidak diberlakukan lagi. Hukum yang diterapkan di Indonesia sebetulnya untuk kelas III, ujarnya.

 

Namun demikian, pengajuan judicial review tersebut menurut Michdan bukan berarti pihaknya menolak hukuman mati. Bukan menolak hukuman mati tetapi tata caranya harus diperbaharui berdasarakan sistem hukum. Kalau saya sendiri sebagai seorang Muslim memandang hukuman mati itu layak ada dan itu mutlak ada karena sesuai ketentuan agama Islam, tapi itu harus betul-betul sedemikian rupa bukan berdasarkan perlawanan politik tapi lebih kepada pembuktian yang akurat berdasarkan proses penegakan hukum, tandas Michdan.

 

Mengenai alasan pengajuan PK, Michdan menyatakan Majelis pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung telah salah menerapkan hukum. Selain itu, mereka juga menolak pemberlakuan asas retroaktif yang digunakan oleh hakim.

 

Sementara itu, dihubungi secara terppisah, T. Nasrullah, ahli hukum acara pidana dari Universitas Indonesia, menyatakan sebaiknya pemerintah, dalam hal ini kejaksaan sebagai eksekutor, mengabulkan pelaksanaan hukuman pancung. Pemerintah harus mempertimbangkan nilai-nilai agama yang dianut seseorang sesuai dengan sila pertama Pancasila, tegasnya.

 

Dalam pandangan dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, permintaan Amrozi bukanlah permasalahan hukum acara, melainkan mengenai hak asasi manusia dari terpidana mati bom bali tersebut. Kenapa kita tidak hormati keinginan terakhirnya? Tidak ada yang merugikan pemerintah, justru mempermudah, tutur advokat kelahiran Aceh ini.

 

Mengingat cara eksekusi pancung sama sekali tidak disebut Penetapan Presiden (Penpres) No. 2 Tahun 1964, Nasrullah menghimbau pemerintah untuk segera membuat pengaturan yang jelas tentang pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang di dalamnya memperbolehkan cara pancung.

 

Doesn yang juga advokat kelahiran Aceh tersebut menolak permintaan pancung dikaitkan dengan permasalahan pemberlakuan syariat Islam. Pancung sebaiknya dibicarakan dalam konteks hak asasi manusia saja, tandas Narullah.

 

Terkait permintaan ibu Imam Samudra yang memohon untuk dieksekusi bersama putranya, Nasrullah menjelaskan bahwa hal itu tidak dibenarkan. Ibunya salahnya apa? Eksekusi hanya dijatuhkan kepada orang yang terbukti bersalah, cetus Nasrullah.

 

Pancung Bukan Syariat ISlam?

Berbeda dengan Michdan dan Nasrullah, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid justru tidak sepakat dengan permintaan Amrozi. Menurut Hidayat, proses hukum seperti yang diinginkan Amrozi tidak berlaku di Indonesia yang memang tidak menerapkan syariat Islam.

 

Kalau di Saudi Arabia cara eksekusi adalah dengan dihukum pancung, tapi jelas Indonesia bukanlah seperti di Saudi Arabia. Amrozi mengikuti pola di Indonesia, Indonesia tidak menggunakan hukuman pancung bahkan hukuman gantung pun tidak, tetapi Indonesia punya mekanisme tersendiri, jelas mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

 

Menurut Hidayat, hukuman pancung sulit dilakukan di Indonesia karena sistem hukumam mati Indonesia tidak mengenal hukuman pancung. Selama ini Amrozi sudah mengikuti proses hukum di Indonesia dan bukan seperti di Saudi Arabia. Saya kira hukum d Indonesia tidak punya alternatif untuk melakukan hukuman pancung. Ini dilakukan dengan tidak dikaitkan dengan agama apapun, suku apapun, tapi terkait tindak pidananya apa. Ini murni masalah hukum, tandas Hidayat.

 

Amrozi dan para terpidana bom Bali ternyata agak berbeda dengan terpidana yang lain. Mereka tidak takut mati seperti terpidana yang lain. Begitu pula seandainya mereka di hukum mati, mereka ingin diperlakukan dengan cara yang beda dengan terpidana lain, yaitu dengan sesuai syariat Islam.

 

Achmad Michdan, kuasa Hukum Amrozi cs tidak menyatakan bahwa Amrozi cs meminta dihukum pancung, tetapi hukuman pancung itu hanyalah wacana yang berkembang. Tidak benar bahwa mereka maunya hukum pancung. Tidak ada. Hukum pancung adalah hukuman pidana mati yang berlaku di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, ujarnya saat dihubungi hukumonline Kamis, (28/9).

 

Michdan mengatakan bahwa andaikata harus diterapkan pidana mati pada kliennya, maka kleinnya tidak takut sama sekali asalkan hukuman tersebut telah melalui proses hukum yang benar serta dilakukan sesuai syariat Islam. Mereka sebagai penganut agama Islam berdasarkan pasal 29 UUD dan 28 I, meminta untuk diadili berdasarkan satu sistem hukum dan keyakinannya, ungkap Michdan.

 

Mengingat Indonesia bukan negara Islam, untuk teknis pelaksanaan hukuman nantinya, Michdan akan minta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai bagaimana teknis hukuman mati apakah dengan ditembak, suntikan,  dengan kursi listrik, pisau gulloutine, atau hukuman pancung. Di banyak negara Islam, pidana mati itu dilakukan dengan hukuman pancung. Kalau masalah teknis kita serahkan kepada MUI, kebetulan negara ini bukan berdasarkan syariah, cetus Michdan.

 

Michdan berpendapat bahwa meskipun kita tidak menerapkan syariat Islam, tata cara umat Islam harus dihormati sesuai pasal 29 maupun pasal 28 I UUD 1945.

Tags: