Prospek Implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban Diragukan
Berita

Prospek Implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban Diragukan

Meski telah disahkan 18 Juli 2006 lalu, UU Perlindungan saksi ternyata masih meninggalkan berbagai pekerjaan tambahan.

M-5
Bacaan 2 Menit
Prospek Implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban Diragukan
Hukumonline

 

Lain lagi dalam kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, status korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat memiliki perbedaan yakni korban pasti berstatus saksi. Lagi-lagi, hal ini tidak diatur oleh UU PSK, keluhnya.

 

Dalam pasal 7 UU PSK disebutkan bahwa untuk mendapatkan hak mereka atas kompensasi maupun restitusi dalam kasus pelanggaran HAM berat, korban harus mengajukan permohonan melalui LPSK, baru kemudian LPSK yang mengajukan ke pengadilan. Prosedur yang demikian, dikatakan Ifdhal, bertentangan dengan pasal 35 ayat (2) UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatakan bahwa masalah restitusi dan kompensasi dicantumkan oleh Hakim dalam amar putusannya. Dengan adanya UU PSK maka korban tidak bisa mengajukan langsung melainkan harus ke LPSK. Berarti makan waktu lagi. Korban tidak bisa menuntut secara inheren dalam putusan, tambah Ifdhal.

 

Plea Bargain dan Plea Agreement

Teten Masduki menambahkan bahwa seharusnya, prinsip perlindungan saksi adalah mencakup reward bagi siapapun yang melaporkan/membantu membongkar tindak pidana. Kelemahan yang lain daripada UU ini adalah tidak mencantumkan mengenai plea agreement. Menurut saya ini paling fatal karena UU perlindungan saksi dimanapun prinsipnya adalah untuk mendorong peran aktif si saksi. Memang ada masalah kekebalan dari gugatan pidana dan perdata. tapi itu kan gugatan balik.  Pelaku kecil sama sekali tidak diberi kesempatan mendapat keringanan hukuman dalam bentuk plea agreement. Juga tidak dikenal prinsip plea bargain di muka pengadilan. Perihal keringanan adalah merupakan diskresi hakim, jelasnya.

 

Dengan tidak adanya kesempatan untuk menegosiasikan keringanan hukuman, pelaku minor tentu tidak akan mau melaporkan/membantu membongkar tindak pidana. Siapa pelaku utama atau Big Fishnya tidak akan pernah bisa diungkap. Menurut Teten, hal ini mungkin bisa disiasati KPK dengan cara membuat kontrak rahasia/diam-diam dengan saksi pelapor dengan tidak mengekspos identitas saksi pelapor. Yang paling penting tentunya adalah perlunya menyamakan pandangan antara KPK, jaksa dan hakim.

 

Pembatasan terhadap saksi yang dilindungi juga merupakan suatu kemunduran. Di dalam UU PSK, perjanjian perlindungan saksi dan korban oleh LPSK hanya diberikan terhadap saksi/korban dalam tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan perdagangan manusia. PANJA Komisi III DPR berargumen bahwa munculnya pasal ini dikarenakan ingin mengurangi beban pembiayaan pemerintah dan juga meminimalisir beban LPSK.

 

Dari perspektif kejahatan berbasis gender, UU ini tidak mengatur perihal pemulihan di masyarakat atas stigmatisasi yang seringkali timbul terhadap korban. Memang ada perlindungan, tapi pemulihan dari stigmatisasi masyarakat yang sebenarnya sangat penting bagi korban kejahatan berbasis gender justru tidak ada. Jelas Nova dari Komnas Perempuan.

 

Pendirian LPSK yang tenggat waktu maksimalnya adalah 1 tahun setelah UU disahkan, diragukan pula oleh Ifdhal Kasim. Kita sudah lihat berapa banyak lembaga yang pendiriannya mandeg dan tidak jelas pertanggungjawabannya, Ifdhal berpendapat.

 

Pembahasan Tertutup

Hasil akhir UU yang mengundang begitu banyak protes, memancing pertanyaan masyarakat. Apabila memang banyak yang kurang, mengapa tidak diprotes semenjak masih dalam tahap pembahasan?

 

Tertutupnya pembahasan mengenai UU ini adalah salah satu penyebab baik KPK maupun koalisi perlindungan saksi tidak bisa banyak memantau secara detail masalah pembahasan. Pembahasan di DPR langsung ke PANJA Komisi III DPR tanpa melalui rapat kerja dengan pemerintah. Rapat Dengar Pendapat Umum pun hanya dilaksanakan di awal dan akhir dengan materi hanya tentang sanksi.

 

Teten Masduki menambahkan bahwa seharusnya, UU yang bertentangan dengan UNCAC sesuai ketentuan United Nations, harus direvisi. Karena menurut ketentuan UN, Negara yang sudah meratifikasi UNCAC tidak boleh membuat UU yang bertentangan dengan konvensi tersebut. Ini memperlihatkan bahwa DPR tidak mempelajari UNCAC dan peraturan-peratutan lain yang terkait saat membahas UU PSK, tegasnya.

Dalam diskusi publik yang digelar oleh ELSAM dan Koalisi Perlindungan Saksi, Kamis (03/8), Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch menyatakan bahwa UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak efektif membujuk pelaku kecil dan juga saksi pelapor untuk berperan aktif dalam membongkar suatu kejahatan. UU ini dinilaii memiliki sejumlah kekurangan, yakni sempitnya definisi saksi, efektifitas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan juga ketidak harmonisannya dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait.

 

Definisi saksi dalam UU PSK masih dibebani oleh konsep KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower (pelapor). Pasal 10 ayat (1) UU PSK memang menyebutkan adanya perlindungan bagi saksi, korban maupun pelapor dalam bentuk tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata, Namun perlindungan bagi pelapor hanya sebatas itu saja. Tidak sebanyak dan selengkap perlindungan yang diberikan bagi seorang saksi seperti yang dicantumkan dalam pasal 5 ayat (1) UU PSK.

 

Bila dibandingkan dengan pasal 15 huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka akan terlihat perbedaan. Dalam pasall tersebut KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan yang setara kepada saksi maupun pelapor. Pengaturan dalam UU No.30 tahun 2002 ini sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh pasal 33 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 tahun 2006. Pengaturan yang demikian tentunya tidak akan mendorong orang untuk melaporkan tindak pidana yang diketahuinya. Padahal, belajar dari pengalaman, peran Whistleblower sangat besar dalam membantu pemerintah membongkar banyak kasus. Kasus BNI salah satunya, ucap Teten.

 

Problem dalam masalah implementasi hak-hak saksi dan korban juga muncul ketika salah satu hak daripada saksi dan korban adalah untuk mendapatkan identitas baru. Konsekuensinya berarti pemberian KTP dan Kartu Keluarga baru bagi saksi, termasuk juga bagi keluarganya. Selain peran Departemen Dalam Negeri, Ketua RW dan pejabat kelurahan juga dilibatkan dalam pembuatan identitas baru ini. Semakin banyak institusi terlibat tentu semakin besar resiko terbongkarnya identitas saksi/korban yang dilindungi, apalagi bila koordinasi antar institusi tersebut lemah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: