Ratifikasi Dua Kovenan Internasional Dinilai Setengah Hati
Berita

Ratifikasi Dua Kovenan Internasional Dinilai Setengah Hati

‘Dengan meratifikasi ICCPR dan ICESCR, maka Indonesia wajib menyesuaikan produk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isi kedua kovenan tersebut.'

CR-3
Bacaan 2 Menit
Ratifikasi Dua Kovenan Internasional Dinilai Setengah Hati
Hukumonline

 

Namun, dirinya memandang kekhawatiran ini tidak perlu. Sebab, hukum internasional yang berkembang saat ini memberikan rambu-rambu yang menutup ruang bagi gerakan separatis untuk memanfaatkan asas self-determination sebagai dalil untuk memerdekakan diri. Salah satu rambu tersebut, lanjutnya, diatur dalam Vienna Declaration 1993 yang menyatakan bahwa asas self-determination tidak dapat digunakan untuk memecah-belah sebuah negara yang telah memperoleh kedaulatannya.  

 

Selain adanya declaration, Ifdhal juga menyebutkan kelemahan lain yakni tidak adanya ketentuan yang menegaskan Indonesia juga terikat pada Optional Protocol dari ICCPR.  Ada dua Optional Protocol dalam ICCPR--Optional Protocol I mengenai mekanisme pengajuan pemulihan hak secara individual bagi korban pelanggaran HAM dan Optional Protocol II mengenai penghapusan hukuman mati.

 

Seharusnya Indonesia juga meratifikasi protokol tersebut, setidaknya Optional Protocol I karena kalau untuk penghapusan hukuman mati perdebatannya masih panjang, kata Ifdhal yang menginformasikan bahwa hanya 90 dari 156 negara yang meratifikasi kovenan, yang juga meratifikasi Optional Protocol.

 

NAD

 

Ketika ditanya hukumonline mengenai keterkaitan antara RUU ratifikasi ICCPR dan ICESCR tersebut dengan proses perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Ifdhal mengatakan Memorandum of Understanding (MoU) perdamaian yang baru saja ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu faktor yang mempercepat proses pembahasan RUU tersebut.

 

Ratifikasi kedua kovenan tersebut, menurutnya, merupakan bagian dari pemenuhan kompensasi pemulihan hak-hak ekonomi, sosial, dan politik sebagaimana yang dituntut oleh pihak GAM.

 

Kovenan ini dijadikan sebagai landasan hukum bagi masyarakat Aceh dalam pengembalian hak-hak individu, sosial, ekonomi, dan politik mereka, tambahnya. Dikatakannya, terpilihnya Indonesia sebagai pimpinan Komisi HAM PBB juga menjadi faktor pendorong dipercepatnya pembahasan RUU yang sebenarnya mulai diperjuangkan sejak 1997 tersebut.

 

Sementara itu, terkait dengan tidak diratifikasinya Optional Protocol I dari ICCPR, Ifdhal yakin hal tersebut tidak akan berpengaruh banyak terhadap proses pengembalian hak-hak masyarakat Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Perdamaian. Ia memandang, protokol tersebut hanyalah berkaitan dengan mekanisme pengajuan pemulihan hak individual korban pelanggaran HAM.

 

Menurut Optional Protocol I, seseorang yang merasa menjadi korban pelanggaran HAM dapat melakukan pengaduan kepada Komite HAM yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Komite yang berbeda dengan Komisi HAM yang dibentuk PBB ini, selain menerima pengaduan, juga bertugas memeriksa laporan tahunan mengenai pelaksanaan isi kovenan dari negara-negara peserta kovenan.  

 

Namun, fakta adanya declaration dan tidak diratifikasinya optional protocol berpotensi memandulkan ketentuan-ketentuan dalam kovenan itu sendiri, tambahnya. Ditekankan Ifdhal, dengan meratifikasi ICCPR dan ICESCR, maka Indonesia wajib menyesuaikan produk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isi kedua kovenan tersebut. 

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim menilai dua RUU yang masing-masing akan meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR) dan International Covenant on Economis, Social and Cultural Rights (ICESR) bersifat setengah hati. Hal itu dapat disimpulkan dari adanya pernyataan (declaration) terhadap klausul mengenai self-determination  yang terkandung dalam Pasal 1 kedua kovenan tersebut.

 

Sebenarnya RUU ini sama dengan RUU ratifikasi yang pada umumnya terdiri dari dua pasal, hanya saja RUU ini memuat declaration, jelas Ifdhal (29/9).

 

Ia mengatakan adanya declaration dalam kedua RUU tersebut yang rencananya akan disetujui dalam rapat paripurna DPR besok (30/9), kemungkinan dilandasi kekhawatiran Pemerintah Indonesia yang berlebihan akan bahaya disintegrasi bangsa. Kata dia, pemerintah sepertinya bermaksud mencegah agar klausul mengenai self-determination dijadikan ‘senjata' bagi gerakan separatis yang ingin lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Kehati-hatian ini secara positif dapat dipandang baik karena menunjukkan komitmen pemerintah menjaga keutuhan NKRI, tandas Ifdhal yang menduga inspirasi penggunaan declaration berasal dari India yang juga menerapkan hal yang sama.

Tags: