Larangan Merokok Belum Komprehensif, Kiprah Phillip Morris Makin Mulus
Utama

Larangan Merokok Belum Komprehensif, Kiprah Phillip Morris Makin Mulus

YLKI akan menyiapkan gugatan class action seandainya dalam satu bulan pemerintah belum menandatangani dan meratifikasi Konvensi FCTC

Gie
Bacaan 2 Menit
Larangan Merokok Belum Komprehensif, Kiprah Phillip Morris Makin Mulus
Hukumonline
Akuisisi 40 persen saham PT HM Sampoerna Tbk oleh PT Phillip Morris Indonesia (Phillip Morris) memang mengundang reaksi pro dan kontra. Dari segi ekonomi, akuisisi tersebut memang mengisyaratkan nilai jual perusahaanIndonesia masih tinggi di mata perusahaan asing. Buktinya, Phillip Morris yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Phillip Morris International Inc, sebuah perusahaan rokok asal AS, berani menghargai 40 persen saham Sampoerna dengan banderol Rp18,58 triliun.

Indonesia sendiri sebenarnya merupakan negara yang terlibat aktif dalam menyusun FCTC. Tapi ironisnya, Indonesia justru tidak bersedia menandatanganinya. Bahkan menurut informasi yang diperoleh YLKI, lima departemen, yaitu Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian menolak untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi FCTC. Sayang, tidak dipaparkan alasan penolakan dari lima departemen tersebut.

Ajukan gugatan

YLKI juga mengisyaratkan, apabila dalam satu bulan mendatang pemerintah tidak meratifikasi konvensi FCTC maka akan diajukan gugatan class action. Gugatan itu akan ditujukan  kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan lima departemen yang menolak ratifikasi FCTC tersebut.

Belum diratifikasinya FCTC dinilai YLKI mencerminkan sikap pemerintah yang tidak memperdulikan hak masyarakat untuk hidup sehat sebagaimana tertuang dalam pasal 28 amandemen UUD 1945

Kekhawatiran lain yang disampaikan oleh YLKI berkaitan dengan akuisisi HM Sampoerna oleh Phillip Morris adalah dari segi investasi jangka panjang justru berpotensi merugikan Indonesia. Pasalnya, selain mematikan industri kecil rokok lokal, perusahaan ini tentunya akan menjual produknya bagi masyarakat Indonesia sendiri. Sementara hasil penjualannya kemungkinan besar akan terbang ke negara asalnya.

Naikkan cukai

Sementara itu, anggota Komisi I DPR Ade Nasution berpandangan bahwa sudah saatnya cukai rokok dinaikkan. Kata dia, cukai rokok di Indonesia masih rendah ketimbang negara lain.

Dengan menaikkan cukai rokok seperti di Thailand yang mencapai hingga 70 persen bukan berarti industri rokok akan mati. Industri itu tetap hidup hanya jumlah pemakainya yang berkurang, ujar Ade.

Setidaknya, dengan harga rokok yang sangat tinggi maka minat membeli rokok tidak akan sama dengan harga seperti yang diterapkan saat ini. Hanya saja, dalam studi WHO ada kekhawatiran tingginya harga rokok yang tidak dibarengi dengan penegakan hukum malah menyebabkan maraknya penyelundupan.

Selain meningkatkan cukai, Ade akan mengusulkan untuk membuat RUU larangan merokok bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun. Usulan-usulan ini menurutnya akan dibawa ke DPR setelah reses berakhir.

 

Tapi di sisi lain, reaksi yang kontra juga bermunculan. Salah satunya datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini mensinyalir, keberanian Phillip Morris untuk berkiprah langsung di Indonesia, salah satunya dilatarbelakangi ketiadaan aturan hukum yang komprehensif mengenai larangan dan dampak merokok.

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2003 tentang Kawasan Tanpa Rokok dianggap tidak cukup kuat untuk mengatur larangan dan dampak merokok. Tidak ada hukum yang komprehensif dalam penanggulangan bahaya rokok, jelas Tulus Abadi, Koordinator Advokasi Penanggulangan Masalah Merokok YLKI dalam acara diskusi di Puslitbang Kesehatan, Jakarta (4/4).

Hal ini diperparah dengan urungnya Indonesia menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Di mata Tulus, belum ditandatanganinya konvensi tersebut makin memuluskan langkah Phillip Morris untuk memasarkan produknya disini.

FCTC sendiri dianggap sebagai perangkat hukum untuk melindungi bahaya yang diakibatkan oleh tembakau.  Konvensi ini sudah ditandatangani oleh 168 anggota WHO dan diratifikasi oleh 68 negara.

Tags: