Hilangkan Periodisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi
Berita

Hilangkan Periodisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi

Periodisasi masa jabatan berpotensi diintervensi kekuatan yang ingin mempertahankan kepentingan.

Mys/M-4
Bacaan 2 Menit
Hilangkan Periodisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi
Hukumonline

 

KRHN berpendapat masa jabatan hakim konstitusi sebaiknya ditentukan hanya untuk sekali menjabat dengan masa jabatan 9 atau 10 tahun. Dengan begitu, kata Firman, prinsip independensi hakim dapat lebih terjaga dan peluang terjadinya intervensi dapat diminimalisir. Sebagai perbandingan, di beberapa negara, masa jabatan hakim konstitusi juga menggunakan masa yang panjang dan tak dapat dipilih lagi. Di Republik Czech, seorang hakim konstitusi menduduki jabatan sampai 10 tahun. Di Rusia dan Afrika Selatan, malah menjabat selama 12 tahun, dengan catatan tidak dapat dipilih kembali. Di Korea Selatan, masa jabatan hakim konstitusi adalah enam tahun dan dapat dipilih kembali. Masa jabatan 9 tahun antara lain dianut oleh Mahkamah Konstitusi Albania, Bulgaria, Italia, Lithuania, dan Spanyol.

 

Dalam pandangan KRHN, ada lima kelemahan sistem periodisasi masa jabatan hakim konstitusi. Pertama, periodisasi masa jabatan lima tahunan berpotensi mempengaruhi independensi MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Sebab periodisasi berakibat pada terjadinya intervensi dalam pengisian kembali hakim konstitusi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Firmansyah membanding dengan jabatan hakim agung yang tanpa periodisasi. Hakim agung berhenti apabila pensiun, mengundurkan diri, atau meninggal dunia, atau diberhentikan karena sesuatu alasan.

 

Kedua, pengangkatan hakim konstitusi yang dilakukan Presiden dan DPR, dimana keduanya adalah lembaga politik, berakibat pada masuknya MK ke dalam ranah politic institutional environment. Ketiga, pengaturan periodisasi masa jabatan mendorong terjadinya penyimpangan. Para hakim konstitusi akan berusaha untuk terpilih kembali pada masa jabatan berikutnya, sehingga berpotensi melakukan hal-hal yang menyimpang. Keempat, tidak jelas tolok ukur yang digunakan untuk menentukan hakim konstitusi yang dianggap layak untuk dipilih kembali dan diteruskan masa jabatannya. Kelima, periodisasi masa jabatan lima tahunan dapat mengganggu kinerja MK dalam menangani dan memutus perkara. Hal ini, kata Firman, dapat terjadi jika pada saat bersamaan, mayoritas hakim atau bahkan seluruhnya harus menjalani proses seleksi yang diadakan.

 

KRHN menyadari gagasan itu tidak mungkin terlaksana saat ini. Tetapi untuk ke depan, DPR dan Pemerintah perlu memikirkan ide penghapusan periodisasi masa jabatan hakim konstitusi dalam revisi UU No. 24 Tahun 2003. Pasal 22 UU Mahkamah Konstitusi ini menyebutkan: Masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali jabatan berikutnya. DPR sudah menyiapkan draft revisi pada Januari lalu. Berdasarkan salinan dokumen yang diperoleh hukumonline, ada sekitar 27 poin usulan DPR tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi.

 

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari juga menegaskan bahwa usulan KRHN mesti dibawa ke dalam revisi UU Mahkamah Konstitusi.

 

Beragam tafsir muncul atas mundurnya Prof. Jimly Asshiddiqie sebagai hakim konstitusi terhitung mulai akhir November mendatang. Di satu sisi, muncul pertanyaan tentang sikap kenegarawanan Jimly karena pengunduran diri itu berlangsung tidak lama setelah ia ‘kalah' dalam pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi, bersaing dengan Prof. Moh. Mahfud MD.

 

Di sisi lain, pengunduran diri Jimly dinilai menambah beban baru bagi DPR mengingat Guru Besar Hukum Tata Negara itu belum lama dipilih DPR untuk mengisi jabatan hakim konstitusi. Jimly menyingkirkan sederet kandidat lain, termasuk hakim konstitusi Harjono. Baru beberapa bulan setelah terpilih, tiba-tiba Jimly mengundurkan diri.

 

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) A. Patra M. Zen memandang pengunduran diri Jimly sebagai suatu preseden bagi seorang pejabat negara, dengan sukarela mengundurkan diri di tengah banyaknya pejabat yang enggan mundur dari jabatan. Karena itu, YLBHI segera mendesak DPR segera mencari pengganti Jimly.

 

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menilai periodisasi jabatan hakim konstitusi dan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi memungkinkan seseorang mengalami post power syndrom. Pada akhirnya, malah bisa mempengaruhi kinerja seseorang. Bila seorang hakim tidak terpilih lagi menduduki jabatan tertentu, sangat mungkin kinerjanya menurun. Oleh karena itu, KRHN meminta agar periodisasi masa jabatan hakim konstitusi dihapuskan. Periodisasi masa jabatan lima tahunan sebaiknya ditiadakan, ujar Ketua Badan Pengurus Harian KRHN, Firmansyah Arifin.

Tags: