Tak Mudah Memasukan 'Provisi' Ke Revisi UU MK
Berita

Tak Mudah Memasukan 'Provisi' Ke Revisi UU MK

KRHN meminta agar MK diberi kewenangan mengeluarkan putusan provisi dalam perkara pengujian UU. KRHN berkaca pada Putusan MK terkait permohonan uji materi yang diajukan oleh delapan parpol non parlemen beberapa waktu lalu.

Ali
Bacaan 2 Menit
Tak Mudah Memasukan 'Provisi' Ke Revisi UU MK
Hukumonline

 

Sayangnya, kewajiban penghentian sementara ini hanya ditujukan kepada MA. Namun, Firman kembali menelisik. Kalau MA wajib menghentikan sementara, kenapa yang lain tidak? tanyanya penuh selidik.

 

Yang berpikiran agar MK diperkenankan meminta penghentian sementara seluruh proses yang terkait pengujian UU bukan hanya Firman saja. Dalam sebuah acara seminar Hukum Administrasi Negara di Universitas Indonesia, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana juga melontarkan wacana serupa.

 

Dalam praktek, Tim Pembela Muslim (TPM) bahkan nekat meminta putusan provisi meski UU MK belum mengakomodirnya. TPM yang bertindak sebagai kuasa hukum terpidana Bom Bali -Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron- meminta agar eksekusi terpidana tersebut ditunda terlebih dahulu sampai keluar Putusan MK terkait pengujian UU Tata Cara Tembak Mati yang sedang diajukannya. 

 

Harus diatur jelas

Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengaku setuju saja bila wacana ini diakomodir dalam revisi UU MK. Namun, ia memberi beberapa catatan agar pengaturan ini tak akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Menurut saya (provisi,-red) untuk pengujian UU baik saja. Tapi harus diatur dengan jelas, tuturnya kepada hukumonline, (3/9).

 

Harjono meminta agar jangan hanya melihat Putusan MK terhadap delapan parpol non parlemen itu saja. Karena, bila provisi dimasukan ke dalam Revisi UU MK maka akan berlaku secara umum. Ia menilai provisi semacam ini belum tentu berlaku efektif apalagi bila menyangkut lembaga peradilan yang lain. KPU kan bukan lembaga peradilan, tegasnya.

 

Harjono mencontohkan bila ada seorang terdakwa yang diadili dan diancam dengan Pasal yang ada dalam KUHP. Lalu, Pasal tersebut diuji ke MK. Apakah perkaranya harus dihentikan dulu? tanyanya. Seandainya, memang perkara pidananya dihentikan dahulu, ia meragukan efektifitasnya. Lalu enforcement-nya bagaimana, karena di Indonesia itu banyak sekali pengadilan, tambahnya. Ia mengatakan kemungkinan untuk penerapannya memang agak susah.

Ketua Partai Buruh Mochtar Pakpahan geram. Permohonan uji materi UU Pemilu Legislatif yang diajukannya bersama pengurus tujuh partai politik (parpol) non parlemen lainnya memang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyatakan ketentuan Pasal 316 yang memberi peluang sejumlah parpol kecil yang tak memenuhi electoral threshold bisa lolos otomatis sebagai peserta Pemilu 2009 asalkan mempunyai satu kursi di DPR, bertentangan dengan UUD 1945.

 

Sayangnya, putusan yang seharusnya menguntungkan Mochtar dkk ini seakan kehilangan taji. Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan Peserta Pemilu 2009, sehari sebelum putusan itu keluar. Sembilan parpol kecil yang seharusnya tak bisa otomatis menjadi peserta Pemilu 2009 sudah terlanjur ditetapkan KPU. Dengan alasan putusan berlaku prospektif ke depan, sembilan parpol tersebut akhirnya melenggang menjadi peserta Pemilu 2009.         

 

Mochtar memang sudah tak geram lagi. Akhirnya, KPU menetapkan empat parpol tambahan menjadi peserta Pemilu 2009, termasuk parpol yang dipimpin Mochtar. Meski Mochtar sudah cooling down, tapi beberapa pengamat mengambil pelajaran berharga dari kasus ini. Yaitu, perlu adanya semacam putusan provisi yang berbunyi menghentikan sementara proses yang terkait pengujian UU, sampai keluarnya putusan MK. Misalnya, MK diberi kewenangan untuk meminta agar KPU tak menetapkan peserta Pemilu sebelum putusan MK keluar.

 

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menganggap pentingnya kewenangan ini. Ketua KRHN Firmansyah Arifin bahkan mengusulkan agar kewenangan ini dimasukan ke dalam revisi UU MK yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MK seharusnya dimungkinkan meminta  pihak yang akan terkena dampak terhadap putusan yang akan dikeluarkan agar menghentikan sementara kebijakannya, jelas Firman, sapaan akrabnya, pekan lalu. 

 

Firman mengatakan provisi bukanlah hal baru dalam perkara pengujian UU di MK. Ia menunjuk Pasal 55 UU MK. Ketentuan tersebut menyatakan Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.    

Tags: