La Ode Ida Dituding Lakukan Contempt of Court
Utama

La Ode Ida Dituding Lakukan Contempt of Court

Luhut Pangaribuan, yang menulis buku tentang contempt of court, menjelaskan seseorang baru bisa dikatakan melakukan contempt of court bila melanggar tata tertib persidangan dan dilakukan dalam persidangan.

Ali
Bacaan 2 Menit
La Ode Ida Dituding Lakukan <i>Contempt of Court</i>
Hukumonline

 

Jimly mengklasifikasi pernyataan La Ode ini sebagai bentuk contempt of court atau menghina pengadilan. Bahkan, Jimly mengaku sudah siap untuk mengusir La Ode bila hadir dalam sidang pembacaan putusan itu. Kita (para hakim konstitusi,-red) sudah sepakat. Kalau Saudara La Ode datang, kita akan usir, ujarnya. Untungnya, La Ode tak menunjukan batang hidungnya saat pembacaan putusan yang akhirnya mengabulkan sebagian permohonan DPD itu.

 

La Ode juga bereaksi. Dalam siaran persnya, ia mengatakan bila semua hakim konstitusi sepakat akan mengusirnya dari sidang, sungguh aneh. Ia pun menilai para hakim konstitusi tersebut tidak memahami contempt of court. Seseorang baru dikatakan melakukan contempt of court apabila melakukan perbuatan tak wajar dalam persidangan, sedangkan yang saya lakukan adalah memberikan pernyataan yang argumentatif, tulisnya. 

 

Luhut MP Pangaribuan pun senada dengan La Ode. Penulis buku Advokat dan Contempt of Court ini mengatakan seseorang bisa dinyatakan melakukan contempt of court bila melanggar tata tertib persidangan. Dan tindakan itu dilakukan di dalam persidangan. Yang disebut contempt of court itu, hanya aplikatif dalam sidang, tuturnya kepada hukumonline, Rabu (2/7). Di MK, sebelum persidangan, tata tertib persidangan biasanya lebih dulu dibacakan sebelum sidang dimulai.

 

Kalau dalam sidang menunjukan tingkah laku yang tak sesuai dengan seharusnya maka hakim bisa mengeluarkan orang itu. Bisa juga diproses pidana, jelas Luhut.

 

Sedangkan Mantan Staf Ahli MK Refly Harun mengatakan kejadian mirip seperti ini bukan pertama kali di MK. Sebelumnya, sempat ada pengunjung yang 'ngamuk' di persidangan. Terkait istilah contempt of court, Refly sepakat dengan La Ode dan Luhut. Pernyataan atau tindakan yang dianggap sebagai penghinaan harus dilakukan di dalam persidangan. Sangat aneh bila ini (contempt of court) diterapkan di luar sidang. Orang dilarang masuk pada persidangan terbuka untuk umum, kritiknya.

 

Lagipula, Refly menilai pernyataan La Ode itu hanya gertak sambal. Ancaman La Ode terkait akan membubarkan MK tak perlu ditanggapi serius. Untuk membubarkan MK, lanjutnya, harus dilakukan amandemen UUD 1945. Untuk mengusulkan perubahan saja sangat susah, ujarnya sambil mengingatkan rencana DPD yang ingin memperbaiki kewenangannya dengan mengusulkan amandemen kelima. Rencana DPD ini memang selalu kandas di tengah jalan.

 

Refly juga meminta Jimly memahami perbedaan antara pejabat di lingkup legislatif dengan yudikatif. Menurutnya karakter pejabat legislatif memang lebih sering banyak bicara dibanding pejabat yudikatif. Pekerjaan parlemen itu kan bicara, tuturnya.

 

Namun, Jimly kadung emosi. Pada acara pisah sambut hakim konstitusi Soedarsono dan Muhammad Alim, Selasa (01/7) malam, masalah La Ode Ida itu juga sempat diteriakkan saat Jimly hendak memberikan kata sambutan. Ada La Ode Ida nih, teriak seorang hakim konstitusi, diiringi tawa hadirin.


Jimly mengaku bisa memahami bila masyarakat biasa mengeluarkan pernyataan keras seperti itu. Mereka memang dijamin untuk berpendapat, ujarnya. Tapi untuk pejabat negara seperti La Ode itu berbeda. Pejabat negara terikat tindakannya, katanya.

 

Wajah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie merah memendam amarah. Delapan hakim konstitusi yang lain juga memasang muka dingin. Mereka menunggu jawaban Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginanjar Kartasasmita terkait pernyataan Wakil Ketua DPD La Ode Ida seputar judicial review UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Kepada wartawan, La Ode Ida mengatakan bila permohonan DPD ditolak berarti MK telah kehilangan independensinya. Lebih seram lagi, La Ode mengancam akan meninjau kembali keberadaan MK. Pernyataan ini diucapkan sebelum putusan dibacakan.

 

Jimly yang sedianya akan membacakan putusan itu pun terpaksa harus menunda beberapa menit. Ia meminta klarifikasi ke Ginanjar. Ini pernyataan institusi atau pribadi? tanyanya di MK, Selasa (1/7). Ginanjar merasa tak enak. Kata maaf pun terlontar dari mulutnya. Tak ada pernyataan itu di lembaga. Itu pernyataan yang tak proporsional, tegasnya. 

 

Jimly kadung emosi. Ia mengatakan sepanjang lima tahu keberadaan MK tak pernah ada pernyataan seperti itu. Ini serius, ujarnya. Menurutnya, pernyataan ini bisa mempengaruhi independensi peradilan. Padahal, independensi peradilan merupakan roh dari kekuasaan kehakiman. Seakan-akan kalau tak dikabulkan, berarti MK tak netral dan akan dibubarkan, kata Jimly mencoba menafsirkan maksud pernyataan La Ode.

 

Guru Besar HTN dari UI ini mengutip Pasal 4 ayat (3) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan tersebut menyebutkan 'Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945'.

 

Lebih jauh lagi, lanjut Jimly, tindakan La Ode ini bisa dipidanakan. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana, demikian bunyi Pasal 4 ayat (4) UU tersebut.

Tags: