Putusan MK Tak Boleh Lagi Membuat Perintah kepada DPR
Revisi UUMK:

Putusan MK Tak Boleh Lagi Membuat Perintah kepada DPR

Setidaknya ada 27 hal yang akan ditambahkan ke dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Mys/Ali
Bacaan 2 Menit
Putusan MK Tak Boleh Lagi Membuat Perintah kepada DPR
Hukumonline

 

Ayat (1) dimaksud menyebutkan bahwa putusan MK yang amar putusannya menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ayat (2) merumuskan hal yang sama untuk pengujian yang bersifat formil. Kalau pembentukan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka pembentukan itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Tidak terlalu tepat

Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Denny Indrayana berpendapat bahwa yang mengikat dari putusan MK adalah amarnya. Pertimbangan hakim untuk sampai pada amar tertentu tetap dibutuhkan. Kalau MK melihat ada yang perlu diharmonisasi atau dilakukan segera, maka hal itu harus diletakkan dalam konteks masukan. Karena itu, menurut Denny, rumusan larangan seperti tercantum pada ayat (2a) RUU MK tidak terlalu tepat. Bahkan, MK bisa membatalkan larangan itu kalau nanti diuji dan dianggap membatasi kewenangan konstitusional MK untuk melakukan judicial review, ujarnya kepada hukumonline.

 

Membatasi MK membuat perintah atau masukan dalam pertimbangan putusan, seperti tercantum dalam rumusan RUU MK versi DPR, bagi Denny, tidak akan efektif. Sebab, dalam menjalankan kewenangannya MK bukan merujuk pada UU, melainkan pada UUD 1945. MK tidak tunduk pada undang-undang, bahkan sebaliknya berwenang menguji. Pengujian pasal 50 UUMK menjadi preseden dan contoh perbandingan yang tepat dalam kasus ini.

 

Menurut Denny, kalau memang MK melihat ada yang harus disinkronkan dalam paket perundang-undangan kekuasaan kehakiman seperti UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi, UU Komisi Yudisial, dan UU Kekuasaan Kehakiman itu sendiri, maka tidak masalah kalau dalam putusannya MK menyuruh pembentuk undang-undang untuk melakukan sesuatu. Nggak masalah, ujarnya.

 

Patut dicatat bahwa draf RUU MK versi DPR memuat setidaknya 27 poin tambahan. Salah satunya adalah menyisipkan ayat (2a) di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi batas waktu paling lambat tiga tahun kepada pembuat undang-undang untuk menyelesaikan payung hukum Pengadilan Tipikor tampaknya membuat DPR dan Pemerintah gerah.

 

Faktanya, hingga saat ini RUU Pengadilan Tipikor dimaksud belum juga rampung. Perkembangan terakhir berlangsung Senin (09/6) sore, dimana Presiden SBY memimpin Rapat Kabinet Terbatas untuk membahas RUU tersebut. RUU ini bukan saja untuk melaksanakan amanat Mahkamah Konstitusi, tetapi juga diharapkan dapat membuat proses hukum pemberantasan korupsi lebih efektif dan efisien. Undang-Undang ini diharapkan dapat langsung digunakan begitu selesai dirancang, ujar Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, usia rapat.

 

Menurut Menteri, masih ada beberapa poin yang harus dibicarakan lebih lanjut. Tentu saja, Pemerintah akan membahasnya bersama DPR. Para pembentuk undang-undang harus bergerak cepat jangan sampai waktu tiga tahun yang diberikan MK terlewati. Kalau terlewati, maka demi hukum, pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mengikat. Waktu tiga tahun bagi pembuat undang-undang itu jelas tertera dalam putusan MK atas perkara No. 012, 016, dan 019/PUU-IV/2006. Itu berarti RUU-nya sudah harus rampung sebelum terbentuknya anggota DPR baru hasil pemilu 2009 nanti.

 

Meskipun terdapat dalam pertimbangan, waktu tiga tahun yang dibuat MK tampaknya dianggap DPR sebagai perintah yang tidak seharusnya dilakukan. Buktinya, dalam RUU Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi versi DPR muncul rumusan baru. Rumusan dimaksud adalah larangan bagi MK membuat perintah kepada pembentuk undang-undang.

 

Berdasarkan salinan RUU yang diperoleh hukumonline, larangan itu tertuang pada Pasal 57 ayat (2a). Ayat ini merupakan tambahan terhadap tiga ayat sebelumnya. Ayat tambahan ini merumuskan: putusan Mahkamah konstitusi tidak boleh memuat tiga hal. Selain muatan perintah seperti disinggung, putusan MK juga tidak boleh memuat amar selain yang dimaksud ayat (1) dan (2), serta rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Tags: