PK Kedua Dapat Menunda Deadline Pengajuan Grasi
Eksekusi Amrozi Cs

PK Kedua Dapat Menunda Deadline Pengajuan Grasi

Jaksa Agung menetapkan terpidana harus menentukan sikap selama 30 hari bila salinan putusan diterima. Namun, Jampidum menilai bila PK kedua diterima MA, maka deadline eksekusi ditunda.

Ali
Bacaan 2 Menit
PK Kedua Dapat Menunda <i>Deadline</i> Pengajuan Grasi
Hukumonline

 

Sikap Kejaksaan pun jelas, Korps Adyaksa ini menolak adanya PK atas PK. Meski begitu, lanjut Ritonga, PK kedua bisa menunda deadline 30 hari yang diberikan jaksa agung. Kalau PK itu ternyata diterima oleh pengadilan, jelasnya. Kalau seperti itu kemungkinannya, Ritonga menyarankan agar PK kedua itu harus diselesaikan terlebih dahulu.

 

Kemungkinan PK atas PK (PK kedua) memang menjadi perdebatan tersendiri di antara para pakar. Pengajar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda menyarankan sebaiknya memang PK bisa dilakukan sepanjang novum ditemukan. Kalau PK ditutup, hak pencari keadilan mau dikemanakan. Kalau misalnya dia memang menemukan fakta baru yang pernah terlewat dan belum pernah diungkap pada PK sebelumnya, hilang hak mendapat kebenaran materiil, ujarnya pada satu kesempatan.

 

Pengajar Hukum Acara Universitas Indonesia Yoni A Setyono berpendapat PK atas PK justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Kalau tidak dibatasi seperti itu, perkara nggak selesai-selesai, nanti tidak ada kepastian hukum, ujarnya.  Seharusnya, kata Setyono, PK atas PK itu tak dapat dibenarkan.

 

Eksekusi terpidana mati kasus Bom Bali I Amrozi Cs tampaknya tinggal menghitung hari. Salinan putusan Mahkamah Agung yang menolak pengakuan Peninjauan Kembali (PK) terpidana sudah ada di tangan Kejaksaan. Jaksa sedang mempersiapkan langkah menyerahkan salinan putusan itu. Direncanakan tanggal 2 Januari (2008,-red) akan diserahkan, ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Abdul Hakim Ritonga di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (28/12). Salinan putusan tersebut akan diserahkan kepada terpidana di Cilacap dan keluarganya di Lamongan. Untuk mempersingkat waktu, dua-duanya kita kirimkan, tambahnya.

 

Penyerahan salinan putusan kedua tempat itu memang sejalan dengan ketentuan Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pasal 6 UU itu menyatakan yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarga dengan atau tanpa persetujuan terpidana. Jadi supaya sekaligus, ujar Ritonga. Uniknya, dalam berbagai kesempatan, pihak terpidana dan keluarganya mengisayaratkan tidak akan mengajukan grasi. Kuasa Hukum Terpidana dari Tim Pembela Muslim pun menolak berkomentar mengenai grasi, malah mereka mengalihkan dengan rencana mengajukan PK kedua.

 

Sikap plin-plan itu memaksa Jaksa Agung Hendarman Supandji mengeluarkan ijtihad. Ia memberi deadline kepastian sikap terpidana mengajukan grasi atau tidak. Jangka waktu yang diberikan oleh Hendarman adalah 30 hari setelah salinan diterima oleh terpidana atau keluarganya. Bila jangka waktu itu tidak ada sikap, maka eksekusi mati akan segera dilakukan. Setelah disampaikan tanggal dua Januari, argo 30 hari yang dijanjikan itu, mulai dihitung, jelas Ritonga.

 

Ritonga menjelaskan pada tanggal dua Januari, jaksa akan meminta terpidana dan keluarga untuk menyatakan sikapnya. Isi pernyataan itu, dalam 30 hari harus menentukan sikap, ujarnya. Namun, Ritonga mengaku belum mempunyai strategi bila terpidana atau keluarganya menolak menandatangani surat pernyataan tersebut. Apabila tak mau menandatangani, nantilah kita bicarakan, ujarnya.

 

Kemungkinan surat pernyataan itu diacuhkan sangat besar. Terpidana, melalui kuasa hukumnya, acapkali menolak berbicara mengenai grasi. Bahkan, Achmad Michdan, salah satu kuasa hukumnya, berancang-ancang bakal mengajukan PK lagi. Dasarnya, majelis hakim salah menerapkan norma hukum. Sebab dalam putusannya, MK sudah menyatakan pemberlakuan secara surut dalam UU Terorisme bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Berarti kalau tetap diberlakukan, MA melanggar HAM, ujarnya, beberapa waktu lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: