Buntut Dari Perdebatan BPK-MA yang Belum Terjawab
Audit Biaya Perkara

Buntut Dari Perdebatan BPK-MA yang Belum Terjawab

Inilah kali pertama BPK melaporkan lembaga auditee ke kepolisian sebab dianggap menghalangi-halangi proses audit. Sementara MA masih ogah diaudit lantaran masih menunggu hasil kerja Tim Gabungan BPK-MA.

NNC/Ycb
Bacaan 2 Menit
Buntut Dari Perdebatan BPK-MA yang Belum Terjawab
Hukumonline

 

Djoko mengatakan, sampai saat ini tim yang dibentuk antara MA dan BPK sejak Mei 2006 yang bertugas membahas pengelolaan biaya perkara masih bekerja. MA kini juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Raperma) yang dibahas bersama BPK. Salah satu aturan yang tercantum dalam Raperma itu adalah besaran PNBP yang akan disetorkan ke kas negara. "Kita sebenarnya tidak keberatan menyetor ke kas negara. Hanya, harus jelas dulu apa payung hukumnya untuk melakukan itu, bebernya.

 

Menarik dalam perseteruan kedua lembaga ini adalah perdebatan mengenai biaya panjar perkara yang dimaksud BPK tersebut. BPK haqul yaqin, biaya perkara merupakan PNBP, sementara MA berpendapat biaya panjar perkara tak masuk pada rezim PNBP sebab ia milik pihak ketiga, yakni si orang yang berperkara.

 

Apa itu biaya perkara?

Menurut Djoko Sarwoko, selama ini MA masih mengacu pada aturan dalam HIR( Het Herziene Indonesisch Reglemen). Itu adalah hukum acara yang dipakai lembaga pengadilan sejak era kolonial hingga kini. Pasal 121 dan juga 182-183 mengatur soal biaya perkara itu, ujarnya.

 

Biaya perkara yang dibebankan pada pihak ketiga hanya dikenal pada perkara privat. Untuk perkara publik seperti pidana, biaya dibebankan pada negara lewat APBN. Disebut dana dari pihak ketiga lantaran uang yang diterima pengadilan tersebut bukan berasal dari APBN, melainkan dari pihak-pihak yang berperkara maupun pihak lain yang memanfaatkan jasa layanan hukum yang diberikan pengadilan bersangkutan.

 

Istilah biaya perkara berbeda dengan Panjar Biaya Perkara (PBP). Biaya perkara adalah keseluruhan total penggunaan dana untuk proses persidangan, terdiri dari dua komponen utama, yaitu biaya kepaniteraan dan biaya proses.  Biaya kepaniteraan ditentukan fixed berdasar penetapan pemerintah untuk pelayanan yang diberikan pengadilan atas pendaftaran suatu perkara. Selain itu ada pula biaya atas penetapan putusan yang disebut redaksi/leges. Tentang leges ini diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 1999.

 

Sedangkan biaya proses adalah biaya yang terkait penyelesaian suatu perkara di pengadilan, antara lain pemanggilan/pemberitahuan saksi, tergugat, dan penggugat, pemrosesan berkas-berkas materi, dan pengiriman berkas. Besar biaya proses perkara ini tidak sama untuk tiap perkara. Kewenangan untuk menetapkan perkiraan biaya proses berada di tangan Ketua Pengadilan.

 

Menurut Djoko, ini wajar, sebab pengeluaran dana untuk membiayai pemanggilan dan pemberkasan tidak bisa dipukul rata antara satu tempat dengan tempat lainnya. Kondisi geografis yang berbeda akan berakibat pada perbedaan biaya transportasi untuk mengirim berkas dan surat pemanggilan ke para pihak dan saksi. Misalnya biaya kurir di pelosok Kalimantan Barat dana berbeda dengan biaya kurir di daerah perkotaan, ujarnya.

 

Uang panjar adalah uang muka yang dibayar pihak berperkara sejak pendaftaran. Nantinya uang muka ini digunakan untuk menalangi biaya perkara. Jika lebih dari total biaya yang dikeluarkan dalam biaya perkara dikembalikan, jika kurang nanti ditambahkan ketika menghitung total biaya perkara waktu putusan, jelas Djoko. Persoalannya, selama ini banyak sisa uang PBP ini yang tidak baliki ke kantong si pembayar. Biasanya diikhlaskan. nah, uang yang masuk ke pengadilan semacam inilah yang ingin diaudit pengelolaannya oleh BPK.

 

Selain biaya perkara, ada lagi dana pihak ketiga yang dipegang pengadilan. Antara lain, uang titipan/konsinyasi, Biaya Eksekusi, biaya sita, Somasi, Biaya banding, Kasasi dan PK dan biaya lain seperti biaya reproduksi salinan putusan, biaya pembuatan Surat Keterangan Bebas Perkara Pengadilan (SBPP).

 

Yang penting bisa diaudit

Menurut Anwar, selama ini MA membuat peraturan sendiri dalam bentuk SK KMA tentang pengelolaan biaya perkara. Keputusan Ketua MA itu, lanjut Anwar, tak pernah mengacu UU PNBP dan biaya perkara tersebut digunakan oleh MA tanpa izin Departemen Keuangan selaku bendahara negara.

 

Anwar menilai masih mengacunya MA pada peraturan lawas zaman Belanda, HIR dan Rechtsreglement Buiten Gewesten (RBG) mestinya tidak dijadikan dalih utama. Sebab, aturan tersebut mestinya telah melebur oleh keberadaan UU Keuangan Negara. Padahal, kalau ada aturan baru, aturan lama tidak berlaku lagi, ujarnya dengan nada tinggi.

 

Anwar menilai institusi penegak hukum lainnya justru lebih kooperatif. Misalnya Kejaksaan Agung (Kejagung-red) yang hendak merapikan uang pengganti tindak pidana korupsi. Kejagung meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Polri juga menindaklanjuti rekomendasi audit BPK. Kalau MA masih bandel, keluhnya.

 

Dalam Buku I Administrasi Perbendaharaan Edisi 2007 yang diterbitkan oleh MA akhir Agustus kemarin, telah disebutkan Jenis-jenis PNBP dari pengadilan, di antaranya Pendapatan uang meja (leges) dan upah Panitera Badan Peradilan (hal-11). Secara langsung, sebenarnya ini merupakan bentuk pengakuan MA bahwa salah satu komponen dalam biaya perkara masuk kategori PNBP.

 

Sementara jauh hari sebelumnya, pada buku Cetak Biru Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan yang diterbitkan MA pada 2003, isu audit biaya perkara ini ternyata sudah dibahas cukup komprehensif. Praktek selama ini, dana pihak ketiga yang dikelola pengadilan hanya diawasi/diaudit secara internal oleh lembaga pengadilan sendiri. Untuk PN secara melekat kewenangan Ketua Pengadilan untuk mengawasi melaporkan kas pengadilan per tiga bulan, sementara dari Badan Pengawasan juga ada bagian khusus yang memeriksa pengelolaan keuangan tiap-tiap pengadilan, jelas Djoko.

 

Sementara  dari pihak di luar seperti BPK, audit hanya bisa dilakukan pada sebagian kecil dari dana pihak ketiga, seperti sebagian komponen yang wajib disetorkan ke negara (biaya leges dan materai). Dalam buku Cetak Biru MA yang sama sebenarnya telah direkomendasikan agar MA dan BPK membuat MoU yang intinya menyatakan BPK dapat memeriksa dana pihak ketiga yang dikelola pengadilan. Urgensinya, agar setiap dana yang diterima pengadilan pengadilan, naik dari pemerintah maupun dari masyarakat harus selalu dapat dipertanggungjawabkan.

 

Khusus untuk biaya perkara, direkomendasikan agar ada ketentuan yang menyatakan bahwa BPK hanya boleh mengaudit seteleh perkara kelar, dan pihak berperkara yang memiliki sisa uang panjar (PBP) tidak mengambilnya dalam waktu tertentu. Namun begitu, rekomendasi ketentuan ini mesti diimbangi dengan pemberian hak pada pengadilan untuk mengelola sendiri dana dari pihak ketiga ini tanpa perlu disetor ke negara. Begitulah bunyi rencana pembaruan MA hampir setengah dasawarsa silam.

 

Tak ada habisnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyalak atas polah lembaga negara  yang dianggap tak tertib menggalang keuangan negara. Sejak tahun lalu BPK sudah mengobok-obok Mahkamah Agung (MA), terutama soal uang panjar perkara. Puncaknya, BPK melaporkan Ketua MA Bagir Manan ke Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada 13 September silam. MA mencegah pemeriksaan atas biaya perkara tahun 2005-2006, ujar Ketua BPK Anwar Nasution, dalam jumpa pers, Rabu (19/9).

 

Langkah BPK melaporkan MA ini berpijak pada UU 15/2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan  dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Menurut Pasal 24 ayat (2), perbuatan yang mencegah pemeriksaan diancam sanksi pidana, ujar Anwar. Ancaman sanks bagi pelakunya, penjara paling lama 1 tahun 6 bulan dan atau denda tertinggi setengah miliar rupiah.

 

BPK juga berpegang pada UU 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). PNBP merupakan penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah. Biaya perkara adalah biaya yang terkait dengan pelayanan di bidang hukum yang diselenggarakan oleh MA, tutur Anwar. Ia juga menegaskan, pemungutan uang perkara yang dilakukan MA pada pihak berperkara berdasarkan kewenangan yang melekat pada lembaga itu adalah atas nama negara, sehingga harus dianggap PNBP.

 

Selain itu, BPK menengok UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 UU 17/2003 menyatakan, ruang lingkup keuangan negara termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum, sambungnya.

 

Menanggapi adanya laporan ini, Ketua MA Bagir Manan menolak memberi komentar. Saya lagi puasa, ujarnya ketika ditanya wartawan di Gedung MA, Rabu (19/9). Juru Bicara MA Djoko Sarwoko juga enggan berkomentar terlalu dini. Dia mengatakan, saat ini MA masih mencari informasi seputar laporan BPK ke Mabes Polri. "Kita tidak mau emosional, ini kan belum jelas. Kita belum tahu siapa yang dilaporkan, siapa yang melapor dan apa yang dilaporkan. Kami secara institusional tidak bisa melakukan sikap hanya berdasar pemberitaan di media massa," ujarnya.

Tags: