Usulan Amandemen UUD 1945 Diujung Tanduk
Utama

Usulan Amandemen UUD 1945 Diujung Tanduk

Hasil survei LSI menyimpulkan, ada jurang yang cukup lebar antara aspirasi masyarakat dengan realitas politik yang terjadi di parlemen.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Usulan Amandemen UUD 1945 Diujung Tanduk
Hukumonline

 

Selain soal momentum, Pakar HTN dari Universitas Gajah Mada ini menenggarai ketidakantusiasan DPR terjadi karena amandemen UUD 1945 akan mengakibatkan wewenang DPD menjadi super kuat. Kondisi ini dikhawatirkan akan justru melemahkan power DPR yang notabene penjelmaan dari parpol. Alasan lain, gagasan amandemen UUD 1945 juga dikhawatirkan akan menjadi bola liar yang mengancam kepentingan para penguasa. 

 

Khusus buat Presiden, SU mungkin dikhawatirkan akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu melakukan pemakzulan (impeachment), tandasnya. Terkait hal ini, Deny memastikan sulit terwujud karena ketentuan Konstitusi memberikan syarat-syarat yang sangat ketat untuk terjadinya impeachment.

 

Anis Baswedan, Peneliti Utama LSI, mengemukakan analisa yang berbeda. Doktor ilmu politik Northern Illinois University ini berpendapat lemahnya dukungan parpol disebabkan oleh ketiadaan insentif yang ditawarkan oleh gagasan amandemen UUD 1945. Senada dengan Deny, alih-alih memberikan insentif, amandemen UUD 1945 justru menebarkan ancaman bagi parpol. Mereka memiliki posisi tawar yang kuat karena secara normatif, amandemen mustahil terwujud tanpa mereka, sambungnya.   

 

Kondisi ini, menurut Anis, harus disiasati dengan memberikan insentif agar dukungan parpol dapat direngkuh. Dia mengusulkan insentifnya dengan membuka pintu keanggotaan DPD untuk parpol. Artinya, ketentuan Pasal 22E ayat (4) harus diubah tidak lagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Namun begitu, Anis menyadari gagasan ini berpotensi menjadi DPD bersama-sama dengan DPR akan dikuasai oleh parpol.

 

Usulan ini tidak bisa berdiri sendiri, harus dibarengi dengan pembenahan dan demokratisasi internal partai agar calon terbaik yang muncul dalam pemilihan nantinya, kata Anis.

 

Dukungan Publik

Sementara itu, Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani menyatakan, realitas politik yang terjadi di gedung parlemen tidak sejalan dengan aspirasi publik. Berdasarkan Temuan Survei LSI Juli 2007, 73 persen publik mendukung dilakukannya amandemen UUD 1945 yang berkaitan dengan penguatan wewenang DPD. Publik, lanjut Saiful, menginginkan DPD memiliki wewenang yang setara dengan ‘kolega' mereka, DPR, khususnya yang berkaitan dengan fungsi legislasi.

 

Publik menghendaki agar dalam UUD kita dinyatakan bahwa DPD seperti halnya DPR memiliki wewenang untuk membuat dan memutuskan UU yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tegasnya lagi.

 

Dukungan Publik terhadap Penguatan DPD

Fungsi

Prosentase Dukungan

Menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap pemerintah

88,9%

Turut memutuskan UU yang berkaitan dengan kepentingan daerah

87,1%

Membahas RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah

91,7%

      Sumber: Temuan Survei LSI, Juli 2007

 

Saiful memaparkan ada dua alasan utama kenapa dukungan publik begitu kuat terhadap DPD. Pertama, publik memandang kinerja demokrasi secara umum tidak memuaskan. Kedua, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol sudah sangat rendah. Ini dibuktikan oleh temuan survei LSI, sebesar 51,8 persen publik tidak yakin bahwa parpol telah bekerja sebagaimana diharapkan rakyat. Akibatnya, 76,9 persen publik lebih mengapresiasi mekanisme pemilihan anggota DPD yang didasarkan pada perseorangan, bukan parpol.

 

Informasi opini publik ini harus direspon secara positif untuk membuat desain institusional kita semakin dekat dengan aspirasi publik. Politisi, DPR, parpol, dan pemerintah harus mengambil gagasan yang populer ini bila mereka ingin membangun hubungan yang dekat dengan rakyat, pungkasnya. 

 

Mengomentari Temuan Survei LSI, Deny mengatakan hal ini semakin menegaskan bahwa wacana amandemen UUD 1945 ternyata bukan wacana elitis semata. Publik ternyata memberikan dukungan yang signifikan demi terciptanya mekanisme check and balances di parlemen. Amandemen secara prosedural berat karena tersandera oleh kepentingan parpol, tetapi terbukti memiliki legitimasi yang kuat, ujar Deny yang juga merekomendasikan perlunya demokratisasi internal partai.

Perjuangan DPD agar kewenangannya lebih bertaji melalui amandemen UUD 1945 tinggal menghitung hari. Nanti, pada 7 Agustus merupakan tenggat waktu yang ditetapkan berdasarkan Pasal 78 C Tata Tertib (Tatib) MPR. Tatib itu menyatakan, Sidang Umum (SU) MPR akan diselenggarakan selambat-lambatnya 90 hari setelah usul amandemen diajukan. Usul amandemen itu sendiri diajukan pada 9 Mei 2007. Sayangnya, semakin dekat hari yang menentukan tersebut, pendulum dukungan amandemen semakin menjauh.

 

Satu demi satu anggota DPR yang semula mendukung, mengambil langkah balik kanan mengikuti suara fraksi masing-masing. Beberapa fraksi besar seperti FPPP, FPG, FPDIP dan terakhir FPAN telah menegaskan sikap mereka menolak dilakukannya amandemen. Praktis, hanya FPKB yang sedari awal menunjukkan konsistensi dukungannya.  

 

Keputusan DPP PPP menolak amandemen karena pengubahan Pasal 22 D akan memberikan implikasi perubahan yang bisa merembet ke pasal-pasal lain sebagai bentuk penyesuaian terjadinya perubahan, jelas Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Saifudin. Pasal-pasal lain yang dimaksud antara lain Pasal 20, Pasal 3, dan Pasal 2 UUD 45.

 

Kondisi terakhir yang ada dapat diartikan sebagai lampu kuning buat perjuangan DPD karena syarat jumlah minimal anggota MPR untuk mengusulkan SU sulit terpenuhi. Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, dengan 678 jumlah anggota MPR maka setidaknya dibutuhkan dukungan dari 226 anggota.

 

Kendala paling berat buat amandemen adalah masalah momentum semata, kata Deny Indrayana, menganalisa tanda-tanda kegagalan upaya DPD menggagas amandemen UUD 1945.

Halaman Selanjutnya:
Tags: