Selamat Datang Kembali Mafia Peradilan
Pasca Putusan MK (1)

Selamat Datang Kembali Mafia Peradilan

Putusan MK yang telah menghapus pasal-pasal pengawasan hakim akan menyuburkan tirani judisial.

M-1/Rzk/M-4
Bacaan 2 Menit
Selamat Datang Kembali Mafia Peradilan
Hukumonline

 

Anggota DPR RI Prof. Mahfud MD menyesalkan putusan MK tersebut karena dinilai telah mengambil porsi legislatif yang seharusnya melakukan legislatif review apabila tidak ada kepastian hukum. Tidak ada kepastian hukum karena ketentuan pengawasan hakim ada dalam 3 aturan. Kenapa KY yang dibatalkan. Yang boleh diputus oleh MK yang bertentangan dengan UUD, bukan bertentangan dengan UU. Kalau bertentangan dengan UU itu menjadi legislative review, jelasnya.

 

Dengan putusan MK tersebut, politisi dari fraksi Kebangkitan Bangsa tersebut melihat MK telah menjadi tirani yudisial karena sering membuat putusan yang ultra petita (keputusan yang lebih dari yang diminta) yang disertai n penjelasan seakan-akan memaksa padahal ketentuan mengenai MK justru tidak dimohonkan pengujian oleh para pemohon. Tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi, itu hanya penafsiran MK saja, cetusnya.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajan dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Rifqi Assegaf menilai putusan tersebut tidak ada masalah meskipun dalam permohonan tidak secara khusus di mintakan pengujian mengenai hakim MK karena menurut Rifqi pasal yang direview sudah termasuk mengenai MK.

 

Pertimbangan hakim konstitusi yang mencari pembenaran tidak diawasinya MK dengan melihat sistematika UUD 1945 yang menempatkan MK di Pasal 24 C, sementara MA di atur di pasal 24 A dan KY diatur di Pasal 24 A ayat (3), menurut Deny tidak berdasar. Itu masalah teknis saja katanya.

 

Dengan putusannya tersebut, Deny menilai hakim MK tidak konsisten mengingat sebelumnya mereka melalui pidato ilmiah dan makalah-makalahnya, bahkan dalam cetak biru MK mengakui bahwa hakim MK diawasi oleh KY.

 

Sementara itu Rifqi menilai tidak masalah apabila ada perubahan pemikiran dari para hakim konstitusi selama mereka mampu memberikan argumentasi yang kuat sebab iinkonsistensi tidak selamanya berarti salah secara hukum. Walau inkonsisten tidak berarti salah, tapi orang memang akan mempertanyakan. Itulah pentingnya argumentasi dan pertimbangan hukum. Kalau bagus, maka publik bisa menerima.

 

Namun demikian, Rifqi menyayangkan MK yang membahas mengenai larangan pengaturan code of conduct hakim oleh KY karena hal tersebut tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.

 

Cheks and balances

Menurut Bambang, mekanisme cheks and balances yang dijadikan dasar pertimbangan di mana KY dianggap sebagai supporting system sehingga tidak bisa melakukan pengawasan terhadap MK, akan menimbulkan kekacauan dalam sistem cheks and balances dalam sistem ketatanegaraan kita.

 

Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya dikontrol oleh dua lembaga. Dalam menjalankan kewenangan eksekutifnya dikontrol oleh DPR, sedangkan dalam menajlankan kekuasaan legislatifnya dalam membuat peraturan perundang-undangan di bawah UU, dikontrol oleh MA. Sementara DPR kewenangan membuat UU dikontrol oleh MK. Sekarang siapa yang punya fungsi kontrol terhadap MA dan MK?mengingat sistem negara? ucap Bambang.

 

Rifqi menyayangkan MK gagal memberikan argumentasi yang baik mengenai tidak adanya check and balances oleh KY. Menurutnya, hal itu akan berpotensi negatif karena pembuat UU KY ke depan akan bingung sehingga berpotensi memperteli kewenangan KY dengan alasan KY tidak bisa melakukan check and balances.

 

Bambang juga mengatakan bahwa hakim MK tidak bisa serta merta dibebaskan dari pengawasan hanya karena kedudukannya sebagai penafsir tunggal konstitusi dan penyelesai sengeketa kewenangan lembaga negara. Yang diawasi oleh KY kan bukan teknik yudisialnya, tetapi etika, tandasnya. Bambang juga menuturkan bahwa ruh dari KY sebenarnya pada pengawasan dan kewenangannya didapat secara atribusi dari DPR.

 

Seharusnya bukan MK yang dapat menyatakan dirinya bebas dari pengawasan karena hal itu menjadi bagian dari legislative review. Bagaimana mungkin hakim yang punya kepentingan sebagai pihak dan yang tidak dipersoalkan dalam permohonan secara langung, dia malah menjelajah pada persolan yang berkaitan dengan kepentingannya. Kami sayang dan bangga dengan MK, tapi kami harus bicara jujur ketika ada penyimpangan dan ada potensi tirani judicial agar kita bisa antisipasi, ujar Bambang

 

Dengan putusan MK tersebut, advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai kini kewenangan KY sebagai lembaga baru yang bisa berperan dalam pengawasan peradilan di tengah mafia peradilan menjadi kerdil dan tidak berdaya.

 

Baik Buyung, Deny, Bambang, Prof. Mahfud maupun Rifqi sepakat bahwa putusan tersebut mengandung konflik kepentingan yang seharusnya MK  secara bijak tidak menerimanya dan menyerahkannya kepada mekanisme legislatif review.

 

Belum hilang ingatan masyarakat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehngga menjadikan para koruptor tidak bisa dijerat atas dasar melawan hukum secara materiil, Rabu (23/8) MK kembali memutus perkara yang kontoversial atas permohonan judicial revew Undang-Undang  Komisi Yudisial (UUKY) dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UUKK).

 

Terhadap permohonan judicial revew yang diajukan oleh 31 Hakim Agung tersebut, MK memutuskan menghapus semua ketentuan UUKY berkaitan dengan pengawasan hakim. Mahkamah berpendapat UUKY yang mengatur fungsi pengawasan terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

Mencermati putusan tersebut, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada Deny Indrayana menilai kini ketidakpastian hukum menjadi celah baru untuk membatalkan suatu Undang-Undang. Ini semacam pintu baru yang menohok, ukurannya sangat relatif, ujarnya.

 

Praktisi hukum Bambang Widjojanto menilai ada logika yang tidak pas dalam putusan MK tersebut karena dalam pertimbangannya menjelaskan ada problem dalam pengawasan mengingat ada disharmoni antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain dalam hal pengawasan, bukan tidak boleh ada pengawasan. Tapi kesimpulannya loncat, dengan menyatakan pengawasan yang bermasalah itu bertentangan dengan konstitusi. Pasal konstitusi mana yang dilanggar? tanyanya heran.

 

Menurut Deny dan Bambang, sebenarnya tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma dalam perkara yang dimohonkan, tetapi lebih kepada penerapan hukum yang seharusnya bukan menjadi kewenangan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: