Mantan Terpidana Uji UU Pilkada
Berita

Mantan Terpidana Uji UU Pilkada

Majelis meminta agar materi permohonan perlu dielaborasi lebih jauh terutama yang mengarah pada pelanggaran hak asasi pemohon.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Terhalang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dua mantan terpidana yakni Jumanto dan Fathor Rasyid mempersoalkan Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Beleid ini melarang seseorang mencalonkan diri sebagai kepala daerah apabila pernah dipidana dengan ancaman di atas lima tahun berdasarkan putusan pengadilan.

“Ketentuan itu diskriminatif yang merugikan hak konstitusional para pemohon, seolah pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas,” ujar kuasa hukum pemohon, Yusril Ihza Mahendra dalam persidangan perdana yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang MK, Kamis (09/4).

Kedua pasal tersebut intinya menyebutkan Warga Negara Indonesia dapat menjadi calon kepala daerah jika memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Yusril menegaskan aturan ini bersifat sewenang-wenang seolah-olah pembentuk undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu. Sebab seseorang yang pernah terjerat pasal pidana menjadi tidak berhak mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ketentuan ini jelas-jelas menghambat seseorang untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan proses demokrasi.

Terlebih pascareformasi, peraturan perundang-undangan telah memberikan mandat penuh kepada rakyat untuk memilih pemimpin langsung kepala daerahnya. “Pasal itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan kedudukan yang sama dalam hukum bagi setiap warga negaranya,” ujarnya.

Padahal, lanjut pakar hukum tata negara itu, MK pernah memutus aturan serupa berdasarkan putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003. Putusan tersebut menyebutkan pembatasan hak pilih diperbolehkan bila hak pilih dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bersifat individual dan tidak kolektif. Selain itu, putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 telah memberi batasan syarat yang tercantum dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU ini.

“Tetapi, putusan MK tersebut malah tidak dijadikan bahan rujukan oleh pembentuk undang-undang, malah dimasukkan kembali dalam UU Pilkada,” keluhnya.

Yusril mempertanyakan sejauh mana pasal tersebut sejalan dengan filosofi lembaga pemasyarakatan. Sebab, filosofi pemasyarakatan bertujuan mendidik mereka yang dihukum penjara dapat menjadi orang baik ketika kembali ke masyarakat. Menurutnya, pasal ini justru tidak mengakui apa yang susah payah dilakukan lembaga pemasyarakatan dalam mendidik warga binaan pemasyarakatan.

“Dengan alasan ini, pemohon meminta MK agar menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945,” harapnya.

Anggota Majelis Panel Aswanto meminta agar materi permohonan perlu dielaborasi lebih jauh terutama yang mengarah pada pelanggaran hak asasi pemohon yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Sebab dalam teori hukum pidana tidak boleh suatu tindak pidana dijatuhi dua hukuman yakni hukuman penjara dan hukuman tidak boleh menjadi kepala daerah. “Ini perlu dielaborasi lagi agar tidak double track,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait