DPD Berharap UU MD3 Selaras dengan Putusan MK
Berita

DPD Berharap UU MD3 Selaras dengan Putusan MK

Pengabaian DPR dan presiden yang tidak melibatkan DPD dalam pembahasan UU MD3 dipandang pelecehan terhadap putusan MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPD Berharap UU MD3 Selaras dengan Putusan MK
Hukumonline
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berharap MK dapat mengubah UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menyangkut kewenangan legislasi DPD yang selaras dengan putusan MK bernomor 92/PUU-X/2012 yang memberi ruang DPD terlibat dalam setiap proses pembahasan RUU terkait daerah. Sebab, saat DPR menyusun UU MD3 sama sekali tidak merujuk putusan MK itu.

Harapan itu disampaikan Ketua DPD Irman Gusman saat menyampaikan closing statement dalam sidang lanjutan pengujian UU MD3 yang dimohonkan DPD di ruang sidang MK, Selasa (4/11). Dalam persidangan ini, DPD juga menghadirkan dua ahli yakni Dosen FH UII Yogyakarta Ni’matul Huda dan Dosen FH UI Dian Puji N Simatupang.

Irman menilai UU MD3 tetap saja memuat pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, dan mengikis kewenangan konstitusional DPD seperti ditegaskan dalam putusan MK itu. Bahkan, dalam proses pembahasan DPD tidak dilibatkan sama sekali, padahal substansi UU No. 17 Tahun 2014 itu juga mengatur DPRD yang merupakan organ pelaksana otonomi daerah.

“Jika DPR tidak mematuhi dan melaksanakan putusan MK itu, merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan contempt of court. Ini bentuk pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Irman di hadapan majelis MK yang diketuai Hamdan Zoelva.

Irman yakin setiap undang-undang yang pembahasannya tidak mengikutsertakan DPD seperti dijamin Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 merupakan produk inkonstitusional. “Melalui Mahkamah ini, kami membentangkan harapan sekaligus mengajak semua pihak berpikir jernih, hati terbuka mencari solusi agar keberadaan DPD tidak sekadar pelengkap dalam sistem ketatanegaraan, tetapi berperan signifikan menghubungkan daerah-daerah NKRI,” harapnya.

Cacat formil
Ni’matul dalam keterangannya mengamini pandangan DPD. Dia menilai proses pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 cacat formil (prosedural). Sebab, materi yang sudah dibatalkan MK melalui putusan bernomor 92/PUU-X/2012 kembali dimuat dalam UU MD3 itu.

“Pengabaian DPR dan presiden yang tidak melibatkan DPD dalam pembahasan UU MD3 dapat dipandang pelecehan terhadap putusan MK. Dengan demikian, pembentukan UU MD3 itu telah cacat prosedural yang mengabaikan putusan MK dan melanggar konstitusi,” ujar Ni’matul.

Dian berpendapat adanya hak dan wewenang DPD mengajukan dan membahas semua RUU berkaitan dengan otonomi daerah dan materi muatan lainnya bentuk partisipasi dan pemerataan kewenangan yang seimbang. Hal ini ditujukan agar otonomi daerah dalam politik hukum nasional tidak menjadi bias kepentingan.

Menurut dia, keterlibatan DPD dalam proses legislasi justru menyelesaikan masalah secara tuntas berkaitan dengan otonomi daerah dan kepentingan daerah lainnya. Jika hanya DPR yang berperan tanpa DPD, persoalan otonomi daerah dalam proses legislasi seperti masalah yang disapu dalam selimut. Artinya, masalah hanya selesai pada elit politik, tidak pada praktis di daerah.

“UU MD3 yang mengatur kewenangan DPD sebagian besar dirumuskan dengan salah kira atas maksud keberadaan DPD. Padahal, DPD dibentuk untuk mendorong peran serta daerah dalam penyelenggaraan negara, bukan sekadar aksesoris dalam sistem keterwakilan Indonesia,” ujar Dian.

Sekadar mengingatkan, DPD mengajukan uji formil dan materil terhadap 21 pasal dalam  UU MD3 lantaran memperkuat posisi DPR, tetapi justru memperlemah posisi DPD.  Utamanya, UU MD3 dinilai telah memasung kewenangan DPD dalam ikut membahas RUU sebagaimana disebutkan dalam putusan MK No. 92/PUU-X/2012 itu.
Tags:

Berita Terkait