Kemenkumham Beri Penghargaan Penemu Asal Papua
Berita

Kemenkumham Beri Penghargaan Penemu Asal Papua

Karena tolak tawaran universitas di Inggris untuk membeli putus temuannya.

Inu
Bacaan 2 Menit
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Ahmad M Ramly (kiri). Foto: SGP
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Ahmad M Ramly (kiri). Foto: SGP

Apa jadinya jika kekayaan dan keragaman alam Papua diolah masyarakat setempat? Hasilnya adalah daya sembuh. Padahal, obat itu berasal dari benalu, parasit namun perpaduan itu memberi harapan bagi penderita sakit ganas seperti kanker untuk terbebas dari penderitaan.

 

Perpaduan itu dengan jeli diserap oleh Maria D Sawias van der Mollen. Wanita paruh baya yang berprofesi dokter itu kini diakui negara sebagai penemu ramuan tradisional asal tanah kelahirannnya, Papua. Dia diakui sebagai penemu obat kanker yang berasal dari benalu.

 

Pengakuan itu disampaikan sendiri oleh Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin di kantor Kemenhukham, Senin (31/10). Penghargaan disampaikan kala peringatan Hari Jadi Kemenhukham yang dirayakan setiap 30 Oktober.

 

Bukan sembarang penghargaan ini diberikan pada Maria. Wanita ini dinilai sebagai penemu pertama obat kanker dari bahan baku benalu. Tapi bukan itu saja. Dia dinyatakan juga sebagai inventor ‘penemu’ obat kanker yang juga seorang nasionalis. Karena, sebagai penemu obat kanker, tawaran menjual temuan dari sebuah lembaga pendidikan di Inggris ditolaknya.

 

“Tentu saya tolak,” ungkap Maria pada wartawan seusai menerima penghargaan. Padahal, tawaran yang disodorkan Oxford University terbilang cukup fantastis, dua juta poundsterling.

 

Maria mengaku bukan tak tergiur dengan nilai uang yang besar itu. Apabila tawaran diterima, pihak penawar sebelumnya mengajukan syarat yang menurutnya tidak menguntungkan. “Tak hanya buat saya tapi buat masyarakat dan keragaman hayati Papua.”

 

Pasalnya, Oxford University mensyaratkan, nilai uang yang ditawarkan itu sekaligus untuk melepas hak Maria atas temuannya. Artinya, dia dilarang untuk memanfaatkan temuannya. Menurutnya, jika hak paten dimiliki asing, maka bumi Papua akan menjadi sarang eksploitasi peneliti asing. “Bukan tak mungkin juga, potensi lain dari keragaman Papua akan hilang dikuasai orang asing,” sebutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: