KPT Papua Kena ‘Getah’ Konflik Advokat
Berita

KPT Papua Kena ‘Getah’ Konflik Advokat

Buntut dari penolakan Ketua PT Jayapura dalam mengambil sumpah advokat KAI.

Ali
Bacaan 2 Menit
Buntut kisruh pengabungan wadah tunnggal organsiasi advokat, KPT Papua kena getahnya. Foto: SGP
Buntut kisruh pengabungan wadah tunnggal organsiasi advokat, KPT Papua kena getahnya. Foto: SGP

Maju kena, mundur kena. Mungkin itu ungkapan yang tepat ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) Jayapura –dan mungkin Ketua PT di seluruh Indonesia- Madya Suharja. Seorang advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) Yuliyanto mengadukan KPT Jayapura itu ke Komnas HAM. Madya dinilai telah melanggar hak pengadu untuk menjadi advokat karena tidak mau mengambil sumpah advokat yang berasal dari KAI.

 

Gayung pun bersambut. Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Julles RA Ongge menyurati Madya seputar permasalahan ini. Dalam surat yang diperoleh hukumonline itu, Julles meminta klarifikasi mengapa KPT Papua tidak mengambil sumpah advokat dari KAI. Komnas HAM Papua menggunakan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai dasar klarifikasinya.

 

Salah satu yang digunakan adalah Pasal 38 ayat (1) yang berbunyi Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak

 

Yuliyanto mengadukan KPT Jayapura karena tidak mau melaksanakan putusan MK. “Kami sudah minta sumpah tiga kali. Ada sekitar 30 advokat KAI di Papua yang tidak diambil sumpahnya oleh KPT,” ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (16/9). Padahal, berdasarkan putusan MK pada Desember 2009 itu, Ketua PT diperintahkan mengambil sumpah advokat dari KAI maupun Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

 

Sekadar mengingatkan, Putusan MK itu memang memerintahkan Ketua PT di seluruh Indonesia untuk mengambil sumpah advokat dari dua organisasi yang berseteru. Yakni, dari KAI dan Peradi. Namun, masih dalam putusan itu, MK juga memberi deadline dua tahun kepada KAI dan Peradi untuk ‘berdamai’ dengan menciptakan wadah tunggal organisasi advokat itu

 

Sebelum deadline itu berakhir, pada 24 Juni 2010, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan dan Presiden KAI Indra Sahnun Lubis menandatangani nota kesepahaman di hadapan Ketua MA Harifin A Tumpa. Dalam piagam itu tertulis bahwa Peradi satu-satunya wadah tunnggal organsiasi advokat. Maka berdasarkan piagam ini, Ketua MA membuat surat edaran kepada Ketua PT di seluruh Indonesia untuk hanya mengambil sumpah advokat yang berasal dari Peradi.

 

Belakangan, Indra Sahnun menolak kesepakatan yang ditandatanganinya bersama dengan Sekjen KAI Abdul Rahim Hasibuan itu. Mereka kembali menolak mengakui Peradi sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Begitu juga dengan Yuliyanto. “Itu kan hanya nota biasa, dan sudah ditolak oleh Indra Sahnun. Putusan MK jelas lebih kuat,” ujarnya.

 

KPT Jayapura Madya Suharja mengaku hanya menuruti perintah Ketua MA –selaku atasannya- agar tidak mengambil sumpah advokat yang diajukan oleh KAI. “Ini bukan hanya berlaku di Papua, melainkan berlaku di seluruh Indonesia. Kalau nanti saya ambil sumpah, saya dipanggil Ketua MA,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Madya memang berusaha untuk mengakomodir semua pihak. Ia mengaku pernah menyarankan kepada advokat KAI di Papua untuk menggunakan Otonomi Khusus Papua dan berdiskusi Gubernur Papua membicarakan masalah ini. “Mungkin Gubernur Papua bisa menggelar dialog dengan Ketua MA,” tukasnya lagi.

 

“Kasihan juga. Saya sendiri punya keluarga dari KAI yang tak bisa disumpah. Tapi Ketua MA sudah instruksikan begitu mau bagaimana lagi,” ujar Madya lagi.

 

Madya pesimis bila masalah ini akan kembali dibahas dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MA di Jakarta yang dihadiri oleh seluruh Ketua PT di Indonesia. Ia menuturkan persoalan ini sudah berulangkali dibahas. Malah, ia menganggap ini sudah menjadi kebijakan permanen yang dikeluarkan oleh MA.

 

Namun, di akhir wawancara, Madya membuka asa baru kepada para advokat dari KAI. “Barangkali, Pak Ketua MA (Harifin Tumpa,-red) kan mau pensiun, siapa tahu ada kebijakan lain,” pungkasnya.

Tags: