Merpati: Sewa Pesawat Tak Perlu Izin
Berita

Merpati: Sewa Pesawat Tak Perlu Izin

Untuk mengeluarkan uang sebesar AS$1 juta pun tidak memerlukan izin Meneg BUMN sebagai pemegang saham.

Nov
Bacaan 2 Menit
Wakil Jaksa Agung Darmono, Kejagung  belum tetapkan tersangka<br> perkara penyewaan pesawat Boeing oleh PT Merpati Nusantara Airlines<br> pada 2006. Foto: SGP
Wakil Jaksa Agung Darmono, Kejagung belum tetapkan tersangka<br> perkara penyewaan pesawat Boeing oleh PT Merpati Nusantara Airlines<br> pada 2006. Foto: SGP

Walau sudah meningkatkan status perkara penyewaan dua pesawat Boeing oleh PT Merpati Nusantara Airlines pada 2006 silam ke tahap penyidikan, hingga kini Kejaksaan Agung belum menetapkan satupun tersangka.

 

Wakil Jaksa Agung Darmono sempat menyatakan pihaknya sedang mengumpulkan alat bukti untuk mencari siapa tersangkanya. “Tentunya, tersangka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tindak pidana itu,” katanya.

 

Ketika ditanya apakah pihak yang dimaksud adalah Direksi Merpati periode 2005-2010, Darmono menjawab, “Belum. Belum. Ini baru dari lid ke dik. Dengan mengumpulkan alat bukti, saksi dan sebagainya dalam rangka membuat perkara itu terang dan menentukan siapa tersangkanya. Jadi belum bisa ditentukan.

 

Senada dengan Darmono, Direktur Penyidikan Jampidsus Jasman Panjaitan pun mengatakan belum ada penetapan tersangka. Namun begitu, Kejagung memang menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 yang dilakukan Merpati.

 

Pertama, penyewaan dilakukan tanpa izin dari Menteri Negara (Meneg) BUMN. Kedua, Merpati juga tidak menggunakan jasa asuransi atau meminta jaminan ketika akan membayarkan uang sebesar AS$1 juta kepada perusahaan broker di Amerika Serikat, Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG).

 

Kemudian, yang menjadi sangat janggal adalah mengapa pula uang itu dibayarkan ke rekening Biro Hukum TALG (atas nama Hume & Associate). Bukannya ke Biro Pemasaran. Lalu, apakah penyewaan itu masuk ke dalam Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan (RKAP) dan apakah RKAP ini disetujui oleh Dewan Komisaris.

 

Namun, ketika dikonfirmasi, mantan Direktur Utama (Dirut) Merpati Hotasi Nababan enggan memberikan penjelasan. “Saya belum dapat informasi. Nanti saja ya,” ujarnya dalam sambungan telepon, Senin (25/7). Hotasi menjabat sebagai Dirut Merpati ketika penyewaan itu terjadi.

 

Sementara, Dirut Merpati Sardjono Johny mengatakan penyewaan pesawat tidak memerlukan izin dari Meneg BUMN. “Itu kan bukan bagian kegiatan manajemen yang harus mendapat persetujuan. Menyewa pesawat tidak perlu izin. Saya saja nyewa pesawat nggak izin sama Meneg BUMN,” tuturnya kepada hukumonline.

 

Jhony melanjutkan, memang ada kegiatan manajemen yang harus mendapat izin dari Meneg BUMN selaku pemegang saham. Seperti kegiatan mendivestasikan aset, pengajuan utang dalam batas tertentu, pengagunan, dan pemindahbukuan aset. Kegiatan-kegiatan ini harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

 

Bagaimana dengan pengeluaran uang sampai AS$1 juta? “Oh, AS$1 juta itu Rp10 miliar ya. Itu Nggak perlu (izin pemegang saham),” tutur Jhony. Dan, untuk Komisaris, kegiatan penyewaan pesawat hanya perlu dilaporkan saja. “Kan untuk Komisaris ada laporan berkala. Itu murni kegiatan korporasi, nggak harus ada izin atau apa”.

 

Meski demikian, Jhony mengaku dirinya tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Selain menghormati proses hukum, ia juga tetap menghormati mantan Direktur Merpati yang sekarang harus bertanggung jawab terhadap hal ini.

 

“Yang penting kalau menurut saya, harus diteliti dulu dengan baik dan benar. Kalaupun ada kerugian negara, apakah itu karena kesalahan prosedur, lalai, atau karena ada kegiatan memperkaya diri sendiri. Tapi kalau saya melihatnya sejauh ini, itu murni kegiatan korporasi. Kegiatan tersebut tidak memerlukan izin Kementerian,” terangnya.

 

Sebagaimana diketahui, kasus ini berawal pada tahun 2006. Ketika itu, Merpati menyewa dua buah pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dari perusahaan broker di Amerika Serikat yang bernama Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Dari setiap pesawat yang hendak disewa, Merpati telah mengirimkan security deposit ke TALG sebesar AS$500 ribu.

 

Sehingga, untuk dua pesawat Merpati merogoh kocek senilai AS$1 juta pada 18 Desember 2006. Namun, hingga kini dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 itu tidak kunjung ada wujudnya. Padahal seharusnya dua pesawat itu dikirimkan ke Indonesia pada tanggal 5 Januari 2007 dan 20 Maret 2007.

 

Memang, Merpati telah memenangkan gugatan perdata terhadap TALG yang melakukan wanprestasi. Namun, penyidik tetap melihat ada kerugian negara sekitar Rp10 miliar dan perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, setelah melakukan ekspos serta pengumpulan data dan keterangan, penyidik meningkatkan kasus penyewaan dua pesawat Boeing ini ke penyidikan.

Tags: