Eksekusi Paksa untuk Kasus Susu Berbakteri
Utama

Eksekusi Paksa untuk Kasus Susu Berbakteri

Beban biaya perkara seharusnya ditanggung secara renteng oleh ketiga tergugat.

Latifah Kusumawardhani
Bacaan 2 Menit
Menteri Kesehatan (kiri), salah satu pihak terkait yang belum<br> melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. Foto: Sgp
Menteri Kesehatan (kiri), salah satu pihak terkait yang belum<br> melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. Foto: Sgp

Kisruh pelaksanaan putusan Mahkamah Agung terkait merek susu berbakteri Enterobacter sakazakii terus berlanjut. Bukan hanya lantaran adanya derden verzet, tetapi juga karena sulitnya menjalankan putusan. Hingga kini Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) enggan melaksanakan putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Sehubungan dengan itu, Senin (9/5), David Tobing resmi memasukkan permohonan sita eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Langkah itu ditempuh si penggugat lantaran para tergugat mengabaikan aanmaning pengadilan. Ketidakpatuhan IPB, Kementerian Kesehatan, dan BPOM melaksanakan putusan Mahkamah Agung telah dikecam banyak kalangan. “Kami minta pengadilan melakukan sita eksekusi,” kata David.

 

Dalam permohonannya, David meminta dua hal. Pertama, eksekusi terhadap hasil penelitian dan sampel pada penelitian yang diketuai Sri Estuningsih. Ringkasan hasil penelitian itu pernah dipublikasikan melalui website IPB pada 17 Februari 2008. Sri Estuningsih melakukan penelitian dan menemukan susu formula yang terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii. David meminta pengadilan menyita hasil penelitian itu. 

 

Kedua, David meminta sita eksekusi terhadap satu buah meja kerja Rektor  IPB sebagai jaminan pelaksanaan pembayaran biaya perkara. Harga kursi rektor dinilai bisa dipakai untuk membayar biaya perkara.

 

David menilai permohonan eksekusi paksa  cukup beralasan karena sampai saat ini para termohon eksekusi tidak melaksanakan isi putusan tersebut. Teguran untuk melaksanakan putusan MA (aanmaning) juga telah dilaksanakan pada 26 April 2011, pada waktu itu para termohon eksekusi diberi waktu delapan hari untuk melaksanakan putusan.  

 

Namun, hingga kini putusan MA tanggal 26 April 2010 No 2975K/Pdt/2009 jo putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 6 April 2009 Jakarta No 83/Pdt/2009/PT.DKI jo putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 20 Agustus 2008 No 87/Pdt.G/2008/PN.JKT.PST masih belum dilaksanakan oleh para tergugat.

 

Penasihat Hukum IPB Edward Arfa mengecam langkah David. Permohonan sita eksekusi terhadap meja Rektor IPB, misalnya, dinilai aneh. Sebab, beban biaya perkara tidak bisa dilimpahkan hanya kepada IPB. Sesuai amar putusan, beban biaya perkara seharusnya ditanggung ketiga tergugat.

 

"Putusan kasus susu formula berbakteri sifatnya tanggung renteng. Tidak bisa dibebankan pada Rektor IPB saja," ujarnya saat dihubungi Senin. Maka, seharusnya pembebanan biaya perkara juga dibebankan pada Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

 

IPB, tegas Edward, menolak upaya sita eksekusi perkara susu formula berbakteri. Ia berpendapat putusan perkara tersebut tidak bisa dieksekusi. "Ini bukan perkara tanah atau rumah yang bisa dieksekusi. Putusan perkara ini (kasus susu formula berbakteri) hanya meminta para tergugat mempublikasikan nama susu formula berbakteri. Dalam putusan ini tidak bisa dilakukan upaya paksa," katanya.

 

Menurut Edward, sesuai dengan hukum acara perdata, jika putusan tidak bisa dieksekusi, maka penggugat dapat mengajukan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR. Dengan kata lain, David Tobing bisa mengajukan gugatan ganti rugi.

 

Seperti diketahui sebelumnya, IPB melalui Penasihat hukumnya menyatakan pihaknya tidak bisa melaksanakan putusan pengadilan (mempublikasikan hasil penelitian) karena hal tersebut melanggar kode etik. Penelitian IPB untuk kepentingan studi, bukan untuk konsumsi publik. Jika institusi pendidikan itu diharuskan mempublikasikan, berarti mencederai kode etik dan dicemooh dunia, karena melanggar kode etik penelitian yang berlaku secara universal.

 

Kementerian Kesehatan dan BPOM juga menyiapkan langkah hukum peninjauan kembali. Kedua institusi negara ini memberikan kuasa kepada jaksa pengacara negara pada Kejaksaan Agung.

 

Tags: