Mempersoalkan Wadah Tunggal adalah Langkah Mundur
Uji UU Advokat

Mempersoalkan Wadah Tunggal adalah Langkah Mundur

Pembentukan wadah tunggal ditujukan agar kesatuan organisasi advokat yang mandiri dan independen dapat tercapai.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian UU Advokat di MK mulai hadirkan saksi fakta.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
Sidang pengujian UU Advokat di MK mulai hadirkan saksi fakta.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Pembentukan wadah tunggal merupakan sesuatu yang dikehendaki bersama oleh beberapa organisasi serta para tokoh advokat pada saat proses pembentukan UU Advokat.

 

“Jadi aturan wadah tunggal organisasi advokat sesuatu yang sengaja dikehendaki saat menggodok UU Advokat,” kata M Lutfie Hakim saat dimintai keterangan sebagai saksi fakta dalam sidang lanjutan pengujian UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Gedung MK Jakarta, Selasa (5/4).     

 

Tak hanya Lutfie, ada sejumlah saksi fakta lain yang turut memberi keterangan, baik itu yang diajukan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maupun Kongres advokat Indonesia (KAI) selaku pihak terkait.

 

Peradi menghadirkan Achiel Suyanto, Tazman Gultom, Thomas Edison Tampubolon, Fauzie Yusuf Hasibuan, Lintong Oloan Siahaan, dan Tamsil Syoekur. Sedangkan dari KAI menghadirkan Musidah, Erwin dan Tommy Sihotang.  

 

Dalam persidangan, Lutfie menegaskan bahwa adalah suatu kealpaan jika dikatakan pembentukan wadah tunggal sesuatu yang tidak sengaja. “Kemana saja kita pada waktu itu, bahkan orang-orang membidani lahirnya UU Advokat ada di pihak pemohon, pihak terkait, ahli, hampir semua yang ada di sini mengharapkan adanya wadah tunggal,” kritik Lutfie.

 

Makanya, dia berpendapat tindakan mempersoalkan aturan wadah tunggal bisa dianggap sebagai langkah mundur. “Jika sekarang ada yang menuntut wadah tunggal hak setiap organisasi advokat adalah setback yang luar biasa, ini ironis. Sesuai amanat UU Advokat, lahirlah Peradi yang dibentuk oleh delapan organisasi advokat.”            

 

Pembentukan wadah tunggal, kata Lutfie, ditujukan agar kesatuan organisasi advokat yang mandiri dan independen dapat tercapai. “Wadah tunggal itu yang mengangkat, mengadili, dan memberi sanksi kepada advokat yang nakal,” kata advokat yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. 

 

Menurut Lutfie, kondisi ketika Peradi dibentuk memang tidak memungkinkan untuk digelarnya kongres. “Saat itu kerja organisasi sudah menunggu, sudah dua tahun tidak melakukan ujian advokat, sehingga banyak orang yang menanti untuk menjadi advokat. Kita tidak bisa sibuk mengurusi organisasi dengan mengabaikan mereka. Belum lagi verifikasi advokat saat itu memakan waktu berbulan-bulan,” ujar mantan Sekjen Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) periode 2003-2007 itu.       

       

Lutfie mengungkapkan kondisi sebelum lahirnya UU Advokat, ujian baik itu yang dilakukan pengadilan tinggi atau Departemen Kehakiman kerap diwarnai korupsi.

 

“Hampir semua provinsi ujian advokat itu hanya sebuah olok-olok, jika kita tidak membayar sejumlah uang tidak akan diluluskan, Alhamdulillah saya tidak seperti itu meski pernah ada yang menjanjikan,” ungkap Lutfie yang pernah menjabat Bendahara Peradi itu.  

 

Kondisi ini berbeda sekali dengan proses ujian advokat Peradi sesuai amanat UU Advokat. “Ujian advokat saat ini dilakukan secara profesional, transparan, dan kredibel dengan melibatkan pihak luar. Meski saya pengurus ada anak buah saya yang tidak lulus ujian advokat, istri atau adiknya pengurus Peradi juga pernah tidak lulus ketika ikut ujian advokat,” beber advokat yang juga tercatat sebagai Tim Pengacara Muslim.

 

Pengalaman advokat KAI

Sementara advokat dari KAI, Musidah mengeluhkan sikap Pengadilan Agama (PA) Nganjuk yang menolak dirinya beracara karena tidak bisa menunjukkan bukti sumpah dari pengadilan tinggi setempat.

 

“Memang saya hanya tunjukkan bukti sumpah oleh pemuka agama yang disaksikan Ketua PTA Banten karena PT tidak mau menyumpah sebelum wadah tunggal terbentuk,” kata Musidah.

 

Pasca putusan MK No 101/PUU-VII/2009 pun, PA Nganjuk tetap menolak Musidah beracara di persidangan lewat putusan selanya tertanggal 3 Agustus 2010. Akhirnya lewat pengurus DPD KAI Jawa Timur, Musidah mengajukan permohonan sumpah.

 

Namun, lewat suratnya tanggal 27 Oktober Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur menolak menyumpah karena berpedoman pada SEMA No 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010. Anehnya, tutur Musidah, PT Jawa Timur pada 5 November 2010 menyumpah anggota Peradi di Hotel JW Marriot Surabaya.

  

“Klien saya menangis dan bersimpuh di hadapan saya karena putusan PA Nganjuk itu yang tidak adil itu. Faktanya dia tidak mencari advokat lainnya. Bukan saya saja yang dipermalukan, tetapi semua advokat KAI beserta kliennya. Hal ini jelas tidak adil dan melanggar hak warga negara yang dilindungi UUD 1945,” dalihnya.             

 

Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh Abraham Amos (advokat KAI), Frans Hendra Winarta (Ketua Umum Peradin), dan Husen Pelu dkk (calon advokat KAI). Mereka menguji Pasal 28 ayat (1) terkait pembentukan wadah tunggal organisasi advokat, dan Pasal 30 ayat (2), 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat terkait kewajiban advokat menjadi anggota organisasi advokat dan aturan peralihan sebelum wadah tunggal terbentuk.

 

Status wadah tunggal yang selama ini disandang Peradi memang gencar dipersoalkan oleh KAI dan Peradin sehingga berujung pada konflik. Perseteruan antar organisasi advokat ini sebenarnya sempat mereda ketika pengurus Peradi dan KAI menandatangani nota kesepahaman damai di Mahkamah Agung (MA) Juni tahun lalu.

 

Namun, pasca terbitnya SEMA No 089 Tahun 2010 yang hanya mengakui Peradi sebagai wadah tunggal, konflik kembali meruncing yang ditandai dengan demonstrasi ratusan advokat KAI di MA. Terbitnya SEMA 089 itu mengakibatkan advokat atau calon advokat di luar Peradi merasa kesulitan beracara dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi.

 

Sementara, MA berdalih penetapan Peradi sebagai wadah tunggal merupakan kesepakatan antara pengurus KAI dan Peradi.

Tags: