RUU Tipikor Suburkan Korupsi
Utama

RUU Tipikor Suburkan Korupsi

Menguatkan upaya pemangkasan kewenangan KPK.

Latifah Kusuma W
Bacaan 2 Menit
RUU Tipikor juga ingin melemahkan KPK, Foto: Ilustrasi (Sgp)
RUU Tipikor juga ingin melemahkan KPK, Foto: Ilustrasi (Sgp)

Baru, tapi meninju. Mungkin seperti itulah pendapat Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang masuk Program Legislasi DPR 2011.

 

Menurut ICW, ada sekira sembilan poin dalam RUU yang berpotensi makin menyuburkan korupsi di Indonesia. Karena, sejumlah pasal mengurangi lamanya sanksi hukuman, serta menghapus hukuman minimal. “Bahkan menghilangkan ancaman hukuman mati,” tukas Febri Diansyah, peneliti hukum ICW, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (27/3).

 

Febri yakin, dengan pengaturan sanksi yang makin ringan, ketika diundangkan nanti, peraturan ini tak dapat menjadi payung hukum bagi upaya menyelesaikan kasus korupsi. Pasalnya, kala UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor menerapkan ancaman hukuman mati, penanganan korupsi di Indonesia juga masih memprihatinkan. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia yaitu menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.

 

ICW menyesalkan tidak dicantumkannya secara jelas mengenai wewenang penuntutan oleh KPK. Pasal 32 RUU ini disebutkan dengan jelas mengenai wewenang KPK hanya sampai tahap penyidikan. “Ketidakjelasan pengaturan wewenang KPK dalam RUU ini makin melemahkan fungsi KPK dalam menjerat para koruptor,” terang peneliti ICW lain Donal Fariz.

 

Disorot pula pasal-pasal lain yang disinyalir makin menyuburkan korupsi di Indonesia. Seperti tidak ditemukannya pasal pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi. “Hanya membuat aparat sulit menjerat para koruptor dan perusahaan yang terlibat. Sesuai dengan asas legalitas, tak dapat dijerat suatu perbuatan yang tidak ada pengaturannya,” ujar Donal.

 

Perbandingan UU 31/1999 jo UU 20/2001dengan RUU Tipikor:

No

Permasalahan

UU 31/1999 jo UU 20/2001

RUU Tipikor

1

Pengurangan sanksi untuk hakim yang menerima suap

Minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun

Minimal 1 tahun dan maksimal 7 tahun ditambah 1/3 atau 9 tahun

2

Ancaman hukuman mati

Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999

Dihapuskan

3

Ancaman Hukuman minimal untuk penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan. 

Diatur

Dihapuskan

4

Korupsi dengan yang merugikan negara kurang dari Rp 25 juta

Pasal 2 UU 31/1999 tidak mengenal batasan jumlah minimal korupsi,

Pasal 52 mengatur bahwa pelakunya bisa lepas dari penuntutan hukum. Dengan syarat uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah

5

Kewenangan PENUNTUTAN KPK

 

Pasal 32 tidak disebutkan secara jelas

6

Ketentuan tentang Pidana Tambahan

Pasal 18

Tidak diatur

Sumber: ICW diolah

 

ICW menilik pula Pasal 52 RUU Tipikor,  disebutkan korupsi dengan nilainya tidak melebihi Rp25 juta, dibebaskan dari penuntutan hukum. Syaratnya, pelaku mengembalikan uangnya dan mengakui kesalahannya. 

 

Febri menyebutkan hal ini celah baru bagi para koruptor dan merupakan langkah kompromistis dalam korupsi serta menyalahi tujuan pemidanaan. Tindakan korupsi merupakan kejahatan dimana seharusnya pelakunya dikenai pemidanaan untuk menghukum perbuatannya sekaligus menimbulkan efek jera. Pemberian sanksi yang hanya berupa pengembalian aset tanpa disertai dengan pemidanaan pada pelakunya tentu akan membuka celah baru dalam korupsi.

 

Melalui pesan singkatnya, Wakil Ketua KPK M Jasin menyatakan wajar jika ICW menolak RUU Tipikor. Sejatinya, RUU harus lebih sempurna ketimbang yang digunakan sekarang ini. “Hendaknya menyerap pasal-pasal wajib (mandatory) yang ada di UNCAC,” sebutnya.

 

Selanjutnya, ujar Jasin, setelah diserap, UU Tipikor baru nanti menjabarkan pengaturan yang diperluas. Semisal hal-hal yang belum sepenuhnya diatur dalam undang-undang Indonesia.

 

Dicontohkan Jasin seperti penjeratan pidana aktif bagi pejabat asing/pejabat organisasi asing yang melakukan transaksi suap, seperti Pasal 16 UNCAC. Kemudian, pembuktian terbalik kepemilikan aset yang tidak bisa dijelaskan darimana sumbernya, seperti Pasal 5 UNCAC. Lalu, korupsi yang dilakukan oleh sesama sektor swasta, dan kerja sama luar negeri dalam penyitaan aset. “Harus tertuang dalam draf RUU Tipikor,” tandasnya.

 

Tags: