Menggugat Dasar Pemeriksaan Saksi Melalui Teleconference
Utama

Menggugat Dasar Pemeriksaan Saksi Melalui Teleconference

KUHAP belum mengatur teleconference. Tetapi sudah sering dipraktikkan di pengadilan. Bagaimana sikap Mahkamah Agung selama ini?

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Persidangan Abu Bakar Baasyir diwarnai pro kontra kesaksian<br> teleconference. Foto: Sgp
Persidangan Abu Bakar Baasyir diwarnai pro kontra kesaksian<br> teleconference. Foto: Sgp

Jarak antara Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok dengan Jalan Ampera Jakarta Selatan terbilang dekat. Tetapi ketimbang menghadirkan empat orang saksi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera, jaksa lebih memilih memanfaatkan teknologi teleconference. Keempat saksi tetap berada di Mako Brimob. Keterangan mereka disampaikan lewat layar monitor. Jaksa, hakim, pengacara dalam sidang kasus terorisme itu tinggal mengajukan pertanyaan sambil melihat ke arah layar datar 19 inci yang tersedia di ruang sidang.

 

Sejatinya, pemeriksaan saksi melalui teleconference atau videoconference sudah galib dilakukan pengadilan Indonesia. Sejak pengadilan menyalakan lampu hijau kepada mantan Presiden BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference pada 2002 silam, praktik sejenis kian sering dipakai. Mahkamah Konstitusi malah memanfaatkan jaringan teleconference dengan puluhan perguruan tinggi. Praktik ini, meski tak diatur KUHAP, kian lazim dilakukan. Terakhir, ya, dipakai dalam sidang perkara terorisme atas nama terdakwa Abu Bakar Ba’asyir.

 

Penggunaan teleconference memicu persoalan hukum. Ba’asyir dan tim pengacaranya menganggap keputusan majelis membiarkan pemeriksaan saksi lewat teleconference melanggar aturan KUHAP. Payung hukum acara peradilan ini tegas menyatakan keterangan saksi didengar di dalam ruang sidang. “Dalam KUHAP, saksi harus hadir di persidangan, karena pemeriksaan saksi itu dilakukan di hadapan majelis hakim. Itu yang punya pembuktian yang kuat,” kata Hasril Hertanto, dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Gara-gara penggunaan teleconference itu, Ba’asyir selalu walk-out dari ruang sidang. Sepanjang dua kali persidangan pekan ini, ia tetap tidak terima keterangan saksi didengar dari layar kaca. Bahkan pengacara Ba’asyir langsung mengadukan majelis ke Komisi Yudisial. Majelis hakim dipimpin Herry Swantoro diduga melanggar kode etik. Kalau ditelusuri lebih jauh, sikap Ba’asyir dan pengacaranya dilandasi keputusan majelis hakim membiarkan saksi-saksi memberikan keterangan lewat teleconference. Masalahnya, kata pengacara Ba’asyir, Ahmad Michdan, keempat orang saksi - Abdul Haris, Luthfi Haidaroh alias Ubaid, Hendro Sulthoni, dan Sholehuddin alias Sholeh, bisa dihadirkan ke pengadilan.

 

Dalam kasus mantan Presiden BJ Habibie, faktor jarak antara Indonesia dan Jerman, menjadi dasar bagi majelis memperbolehkan teleconference. Demikian pula dalam sidang-sidang di Mahkamah Konstitusi selama ini. Akan lebih efisien meminta keterangan saksi melalui teleconference ketimbang mendatangkan ke ruang sidang. Namun dalam kasus sidang Ba’asyir, faktor jarak tidak bisa diterima Michdan. Jarak Rutan Mako Brimob Kepala Dua Depok dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tak terlalu jauh.

 

Faktor keamanan adalah alasan lain tak menghadirkan saksi ke persidangan. Bisa jadi karena keselamatan saksi terancam jika dihadirkan ke pengadilan. Aksi kekerasan terhadap saksi atau terdakwa dari pengunjung sidang sudah sering terjadi. Tetapi alasan ini juga tak diterima Michdan. Sebab, pengamanan sidang Ba’asyir terbilang ketat. Polisi mengakui sistem pengamanan sampai lima lapis. Setiap pengunjung diperiksa ketat. Jumlah pendukung Ba’asyir yang bisa masuk ruang sidang pun terbatas.

 

Ketua majelis hakim Herry Swantoro tak terlalu mempersoalkan sikap Ba’asyir. “Sidang akan memeriksa saksi dari JPU. Hak Saudara untuk tetap mengikuti atau meninggalkan persidangan, walaupun menurut Undang-Undang, kewajiban Anda mengikuti persidangan,” jelasnya dalam sidang Kamis kemarin (17/3).

 

Ba’asyir memilih keluar, dan baru kembali setelah pemeriksaan saksi-saksi melalui teleconference selesai. “Ustad akan tetap pada prinsip. Selama pemeriksaan saksi lewat teleconference, kita tidak akan ikut,” tandas Michdan.

 

Tak sekadar keterangan

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonenesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, juga mempertanyakan faktor keamanan yang dijadikan alasan untuk mengelar teleconference dalam sidang Ba’asyir. Jika saksi-saksi dan tempat sidang berada dalam satu kota atau sangat dekat, pembuktian melalui teleconference menjadi tidak relevan. Apalagi kalau saksi-saksi ikut serta melakukan tindak pidana dengan terdakwa. Polisi bisa melakukan pengawalan saksi dengan ketat. “Alasan keamanan menurut saya kurang begitu relevan dalam konteks ini,” ujarnya.

 

Namun esensi kehadiran saksi di ruang sidang bukan semata keterangan yang akan diberikan. Menurut Mudzakir, jika saksi hadir, majelis, jaksa, dan pengacara bisa melihat mimik wajah, sikap, bola mata. Sehingga dari pemeriksaan face to face itu, hakim bisa ‘membaca’ apakah saksi terkesan berbohong atau tidak. “Dari sikapnya akan ketahuan,” tandas dosen hukum pidana itu.

 

Pasal 185 KUHAP menegaskan “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Pasal 160 menyebutkan “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya”.

 

Selain faktor keamanan dan jarak, faktor kesehatan saksi bisa menjadi alasan penggunaan teleconference. Penundaan sidang karena saksi sakit dikhawatirkan akan mengganggu proses persidangan. Dalam konteks ini, majelis hakim dapat mendengar keterangan saksi tanpa harus hadir di ruang persidangan. Bahkan dalam praktik acapkali keterangan saksi hanya dibacakan karena jaksa tidak bisa menghadirkan saksi.

 

Dalam kasus pemerkosaan, saksi korban punya alasan yang kuat untuk tidak dipertemukan dengan terdakwa. Biasanya karena alasan psikologis. Alasan terakhir ini pula yang ditengarai menjadi dasar saksi-saksi dimintai keterangan lewat saluran teleconference.

 

Perdebatan lama

Debat tentang keabsahan penggunaan teleconference bukan kali ini saja terjadi. Menyusul pemberian keterangan oleh Habibie, sebuah dialog hukum yang serius diselenggarakan Ikatan Advokat Indonesia pada 16 Juli 2003. Dalam dialog itu muncul perdebatan tentang boleh tidaknya teleconference digunakan. Ada yang berpendapat keterangan yang disampaikan lewat teleconference tidak sah karena belum diatur dalam hukum positif Indonesia. Kalaupun pada akhirnya dianggap galib, itu berarti sebuah penemuan hukum.

 

Mahkamah Agung juga sempat menyinggung masalah ini dalam sebuah perkara. Majelis hakim agung yang menangani perkara perempuan Australia, Schapelle Leigh Corby di tingkat Peninjauan Kembali menguatkan hukuman 20 tahun. Tetapi dalam pertimbangan, majelis hakim agung sempat menyinggung penggunaan teleconference. Hakim menyatakan pemeriksaan saksi melalui teleconference bukan merupakan keharusan menurut hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

 

Dalam memori PK kasus ini, penasehat hukum Corby, Erwin Siregar memang mendalilkan penggunaan teleconference itu merupakan instrumen untuk mencari kebenaran materil. Faktanya, teleconference sudah beberapa kali dipraktikkan di Indonesia. Contohnya adalah kesaksian mantan Presiden BJ Habibie.

 

Namun, argumen itu ditolak. Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi,  menjelaskan berdasarkan yurisprudensi, pemeriksaan saksi melalui teleconference telah dipraktikkan dalam beberapa perkara. Memang ada perbedaan mendasar antara sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law yang dianut oleh Indonesia. Dalam pandangan majelis PK, dalam sistem hukum Civil Law, yurisprudensi bersifat persuasif. Sehingga tak ada kewajiban bagi hakim di Indonesia menggunakan teleconference tersebut. Apalagi, teleconference belum termasuk alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.

 

Ditambahkan Nurhadi kekuatan pembuktian dari teleconference tersebut sangat bergantung dari penilaian hakim. Dalam perkara Corby, teleconference dinilai tak sesuai dengan azas peradilan yang harus bersifat cepat, sederhana dan biaya murah.

 

Jadi, dalam perkara Ba’asyir, kekuatan pembuktian keterangan saksi-saksi lewat teleconference juga sangat tergantung pada majelis hakim.

Tags: