Dikriminalisasi, Petani Judicial Review UU Perkebunan
Utama

Dikriminalisasi, Petani Judicial Review UU Perkebunan

Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dinilai bersifat sumir sehingga dapat merugikan kepentingan petani.

Ali/ASh
Bacaan 2 Menit
Petani menguji UU Perkebunan. Foto: Sgp
Petani menguji UU Perkebunan. Foto: Sgp

Kriminalisasi terhadap petani masih saja terus berlangsung. Sepanjang kurun waktu 2004-2010, sedikitnya tak kurang dari 26 kasus kriminalisasi terhadap petani terjadi. Hal ini yang menjadi salah satu alasan empat orang petani –Japin, Vitalis Andi, Sakri dan Ngatimin- mengajukan permohonan judicial review UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi (MK).  

 

Mereka menguji dua pasal yang sering digunakan untuk menjerat rekan-rekan mereka sesama petani secara pidana. Yakni, Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Pasal 21 menyebutkan Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. 

 

Sedangkan Pasal 47 memuat ketentuan ancaman hukuman pidana bila ketentuan Pasal 21 itu dilanggar. Ancaman hukumannya pun tak main-main, maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar. Para pemohon, melalui kuasa hukumnya, menilai dua pasal ini bersifat sumir sehingga dapat merugikan kepentingan petani.

 

“Rumusan yang sumir dari kedua pasal tersebut, sering digunakan untuk menjerat petani miskin hanya melakukan pelangaran yang sifatnya sepele, misalnya menginjak rumput perusahaan perkebunan. Untuk itu kami memohon kepada MK untuk membatalkan kedua pasal tersebut,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Wahyu Wagiman usai mendaftarkan permohonan di Gedung MK, Jumat (20/8).

 

Wahyu menjelaskan dua pasal itu melanggar asas lex certa yang sering digunakan dalam merumuskan sebuah norma pidana. Yakni, pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana. “Sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi,” jelasnya.

 

Menurut Wahyu, salah satu ketentuan konstitusi yang ditabrak oleh dua pasal tersebut adalah Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pasal itu berbunyi ‘Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi’.

Halaman Selanjutnya:
Tags: