Drama Cicak vs Buaya Warnai Perjalanan Polri di Tahun Kerbau
Edisi Akhir Tahun 2009:

Drama Cicak vs Buaya Warnai Perjalanan Polri di Tahun Kerbau

Dalam setahun, Polri (sempat) menahan tiga pimpinan KPK sekaligus. Polri dituding melakukan rekayasa.

Nov
Bacaan 2 Menit
Drama Cicak vs Buaya Warnai Perjalanan Polri di Tahun Kerbau
Hukumonline

“Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan pencapaian Polri di tahun 2009 ini. Entah itu prestasi atau bukan, yang pasti dalam rentang waktu beberapa bulan, tiga pimpinan KPK dipolisikan. Antasari Azhar dituduh menjadi otak pelaku pembunuhan berencana (Pasal 340 jo Pasal 55 KUHP) Dirut PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Sementara Chandra M Hamzah, dan Bibit Samad Rianto dituding menyalahgunakan wewenang (Pasal 23 UU Korupsi jo Pasal 421 KUHP) dan melakukan pemerasan (Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 UU Korupsi) terhadap bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo.

Walau sama-sama menjalani proses hukum, perjalanan kasus Antasari tidak terlalu bergejolak seperti dalam kasus Chandra-Bibit. Mulai dari munculnya istilah Cicak-Buaya dari Kabareskrim (ketika itu) Susno Duaji, penetapan Chandra-Bibit sebagai tersangka, kemudian penahanan “konyol” –dengan alasan sering membentuk opini di luar, sampai dikabulkannya penangguhan penahanan karena alasan keutuhan NKRI. Semuanya, penuh dengan dinamika, yang akhirnya menyita perhatian dan simpati publik. Karena begitu besarnya dinamika yang terjadi di masyarakat, “mendesak” Presiden untuk turun tangan dalam penyeleseaian kasus Chandra dan Bibit ini.

Berawal dari ditahannya mantan Ketua KPK Antasari Azhar atas dugaan pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Kemudian merembet pada tudingan penyalahgunaan wewenang (Pasal 23 UU Korupsi jo Pasal 421 KUHP), serta pemerasan (Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 UU Korupsi) yang dilakukan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Melalui testimoninya, Antasari sempat membuat kontrovesi dan panas telinga para pimpinan KPK panas. Pasalnya, dalam testimoni yang merupakan hasil pertemuan Antasari dengan bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo di Singapura ini, disebut-sebut ada pejabat KPK yang menerima uang dari Anggoro. Namun, Antasari tidak menyebutkan secara gamblang siapa pejabat KPK yang menerima uang dari Anggoro.

Sampai akhirnya terkuak dalam Laporan Kepolisian Antasari bahwa yang diduga menerima uang itu adalah Chandra dan Bibit. Tapi, karena penyerahannya tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui perantara, Polisi tidak dapat menemukan bukti penyerahan uang itu kepada Chandra dan Bibit. Yang ditemukan penyidik Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri hanyalah bukti tanda terima uang sebanyak Rp5,1 miliar oleh Ary Muladi. Meski demikian, penyidik tetap bersikeras mencari benang merah aliran uang itu. Baik, dengan tetap memakai keterangan Ary dalam Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) tanggal 15 Juni 2009 yang sudah dicabut, maupun dengan menghubung-hubungkan dugaan pemerasan tersebut dengan pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro.

Tengok saja, dalam dua kali rapat di Komisi III DPR. Meski mengaku penyidik tidak memilki bukti aliran uang itu berlabuh ke dalam kocek Chandra-Bibit, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) tetap kekeuh bukti penyidik miliki cukup kuat untuk menyeret Chandra-Bibit ke meja hijau. Bahkan, dengan panjang lebarnya, BHD menguraikan motif dan modus pemerasan yang dilakukan Chandra-Bibit. Sampai-sampai nama MS Kaban pun ikut dikait-kaitkan dalam penjelasan itu.

MS Kaban, dinilai BHD memiliki kedekatan emosional dengan Chandra. Sehingga, agar dugaan korupsi terhadap MS Kaban tidak dapat diproses KPK, Anggoro sengaja dicekal. Karena pencekalan itu hanya ditandatangani satu pimpinan KPK di bidang penindakan saja, BHD menganggapnya sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Yang mana, berlanjut pada dugaan pemerasan terhadap Anggoro.

Tak terungkap
Begitu banyaknya yang diungkapkan BHD, tapi tidak serta merta dapat diterima Komisi III DPR. Pimpinan rapat, Benny K Harman, ketika itu malah sempat mengingatkan, jangan-jangan nama kedua pimpinan KPK ini hanya dicatut. Selain karena penyidik tidak memiliki bukti penyerahan uang itu, juga karena Anggoro tidak pernah berhubungan langsung dengan Chandra-Bibit.

Tapi, BHD dengan yakinnya menyatakan, “Adanya aliran dana ke J (diduga Jasin) Rp1 miliar, lalu ke BS (Bibit) Rp1,5 Miliar, Mr.X di Pasar Festival Rp250 juta, pada CH (Chandra) Rp1 Miliar dan pada penyidik yang diketahui tempat duduknya Rp400 juta. Ini dana yang mengalir”. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya karcis parkir, rekaman CCTV, dan hubungan telepon antara Ary dengan pejabat-pejabat KPK itu. “Ada Call Data Record-nya (CDR) dan (bukti) saat mobil-mobilnya ada di Bellagio dan Pasar Festival. Tanggalnya jelas, kapan masuk di Bellagio-nya sebanyak 3 kali (Juli-Agustus). Pasar Festival, (Maret-Mei) ada 5 kali. Kemudian, hubungan telepon jelas, ada yang 229 kali, 94 kali, 27 kali, 313 kali, 88 kali, dan 16 kali”.

Sayang, bukti-bukti ini tidak jadi terungkap karena kasus Chandra-Bibit tidak jadi dibawa ke pengadilan. Terkuaknya percakapan Anggodo dengan sejumlah pejabat Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, membuat masyarakat dan sejumlah kalangan menduga ada rekayasa di balik penanganan kasus Chandra-Bibit. Dan hal ini memicu masyarakat dan para pendukung Chandra-Bibit untuk mendesak Presiden membentuk tim verifikasi. Dan hasil rekomendasi tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution itu menunjukan bahwa tidak cukup bukti untuk melanjutkan kasus Chandra-Bibit.

Menanggapi hasil rekomendasi ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berpendapat sebaiknya kasus Chandra-Bibit ini tidak dibawa ke pengadilan, karena mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Kemudian, terkait dengan bergentayangannya makelar kasus atau mafia perkara di tiga institusi penegak hukum, Polri, Kejaksaan, dan KPK, Presiden menginstruksikan agar dilakukan penertiban.

Walau Presiden sudah memberikan arahan untuk tidak membawa kasus Chandra-Bibit ini ke pengadilan, Polri tetap bersikeras melengkapi petunjuk penuntut umum. Namun, tak lama setelah berkas Chandra-Bibit dinyatakan P21 (lengkap secara formil dan materil), penuntut umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).

Dan setelah itu, Polri melakukan mutasi dan promosi terhadap sejumlah Perwira Tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen). Yang salah satunya adalah Kabareskrim Susno Duaji. Jenderal bintang tiga ini dimutasikan menjadi Pati Mabes Polri, atau lebih dikenal dengan istilah Pati non-job. Jabatan Kabareskrim diisi oleh Kepala Koordinator Staf Ahli Kapolri, Ito Sumardi.  

Tags: