Transfer Pricing, Masalah Lawas yang Belum Terselesaikan
Berita

Transfer Pricing, Masalah Lawas yang Belum Terselesaikan

Persoalan transfer pricing timbul lantaran adanya negara-negara yang masih menerapkan kebijakan tax haven. Setidaknya dibutuhkan lima sampai enam ribu auditor pajak yang kompeten agar risiko capital flight dapat dihindari.

Yoz
Bacaan 2 Menit
<i>Transfer Pricing</i>, Masalah Lawas yang Belum Terselesaikan
Hukumonline

 

Namun data Departemen Keuangan ini sedikit berbeda dengan versi terkini Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan National Bureau of Economic Research yang telah mengeluarkan Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia sebagai tax haven lantaran telah menyatakan kesediaannya untuk bersikap kooperatif.

 

Sebelumnya, OECD juga mengumumkan daftar 38 negara-negara yang dinilai memiliki komitmen untuk memenuhi standar perpajakan, namun belum mengimplementasikan secara substansial aturan tersebut. Negara-negara itu antara lain: Belgia, Chili, Dutch Antilles, Gibraltar, Liechtenstein, Luxembourg, Monaco, Singapura, Swiss dan negara-negara kepulauan Karibia termasuk Bahama, Bermuda dan Cayman Islands. Sementara 40 negara disebut OECD telah secara substansial mengimplementasikan standard perpajakan internasional antara lain: Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat.  

 

Tax haven sering diartikan sebagai negara atau otoritas yang tidak memiliki aturan perpajakan jelas dan tidak bersedia melakukan pertukaran informasi cukup tentang aturan perpajakan dengan negara lain. Masalah ini sempat dibahas dalam pertemuan G-20 di London, Inggris, kemarin. Dalam pertemuan itu disepakati, Menteri Keuangan dan pimpinan negara perlu membenahi persoalan 'lawas' ini. Sebab, tax haven diyakini sebagai salah satu penyebab krisis ekonomi global yang selama ini terjadi.

 

Banyak perusahaan dan lembaga keuangan, termasuk perbankan dunia yang memanfaatkan rezim ini melalui praktik transfer pricing, kemudian menciptakan akumulasi risiko yang terlalu besar.

 

Akibat dari tax haven, kata Sri Mulyani, negara harus campur tangan untuk mengatasi imbas kerugian dengan menggunakan anggaran negara yang berasal dari setoran pajak. Untuk mengatasi masalah ini setidaknya dibutuhkan lima sampai enam ribu auditor pajak. Jumlah itu berarti dua atau tiga kali lipat dari auditor pajak yang kompeten yang ada saat ini. Saat ini, dari seluruh auditor pajak hanya separuh atau sekitar 2.000 pemeriksa yang memiliki kompetensi, integritas dan ahli di bidangnya, kata Sri Mulyani.

 

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, tax haven biasanya dimanfaatkan oleh perusahaan yang memiliki wajib pajak  besar. Akan tetapi, sejauh ini belum dapat dipastikan berapa jumlah penyelewengan pajak yang dilakukan para pengusaha karena akses informasi yang masih tertutup. "Sesuai komitmen G-20, saat ini sedang dirumuskan sanksi bagi negara-negara yang menyembunyikan informasi dan yang menerapkan tax haven, ujarnya.

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ikhsan Modjo mengatakan, praktik cuci uang oleh pengusaha di Indonesia, lazim dilakukan di negara penganut tax haven. Hal ini disinyalir menyebabkan terjadinya capital flight (kembalinya arus modal ke luar negeri).

 

Sedangkan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein memastikan ada sejumlah tindak kriminal dalam bentuk transfer pricing ke sejumlah negara. Namun, dia tidak bisa memastikan berapa jumlah modal yang dilarikan. Sepertinya tidak berbeda jauh dengan penelitian dari sejumlah lembaga internasional, antara lain Merrill Lynch, katanya. Yang jelas ada proceeds of crime ke negara tax haven seperti Singapura dan lain-lain, tambah Yunus.

Meski pendapatan negara sebagian besar diperoleh dari pajak, Pemerintah rupanya masih 'kelimpungan' mengatasi persoalan transfer pricing yang dilakukan berbagai perusahaan guna menghindari pungutan pajak. Masalah klasik ini tidak lebih dikarenakan masih adanya negara-negara yang tidak memiliki komitmen untuk memenuhi standar perpajakan internasional. Hal itu terjadi hampir di seluruh Negara yang sedang berkembang.

 

Sekedar informasi, transfer pricing menurut terminologi umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antar beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Tujuan utama dari transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Masalahnya transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi.

 

Menteri Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela Rapat Kerja Pemerintah (RKP) di Gedung Bappenas, Rabu (22/4) lalu, mengatakan negara-negara berkembang saat ini sangat dirugikan dengan adanya kecenderungan pelarian pajak dari pihak swasta. Apalagi, Negara ini dikelilingi oleh banyak negara yang menerapkan kebijakan tax haven (tempat bebas pajak), seperti Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Malaysia, Makau, Hong Kong, Guernsey dan Caymand Island, kata Sri Mulyani.

Tags: