Menakar Besar Kecilnya Fee Advokat
Resensi

Menakar Besar Kecilnya Fee Advokat

Buku ini menyajikan landasan yuridis honorarium advokat dan beragam bias di lapangan. Ternyata, klien tidak selalu bisa mengakses penggunaan biaya yang telah diserahkan kepada advokat. Penerima dana acapkali enggan membuatkan kuitansi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Menakar Besar Kecilnya <i>Fee</i> Advokat
Hukumonline

Jika sudah memastikan menggunakan jasa advokat untuk menangani perkara Anda, ada satu hal yang mesti dikalkulasi dengan jelas: honorarium advokat! Jika tidak Anda pastikan sejak awal, bukan mustahil terjadi cekcok di kemudian hari. Anda dibilang pelit sama pengacara, atau sebaliknya Anda mencurigai si advokat karena terus menerus diminta menggelontorkan duit untuk keperluan ini itu.

 

Berapa sih idealnya tarif advokat yang Anda pilih? Jawabannya tentu sulit. Meskipun sebagian besar honorarium advokat diperjanjikan secara tertulis dengan klien, para advokat cenderung menutup informasi berapa fee yang mereka dapatkan. Kalaupun ada yang terungkap ke permukaan, umumya lantaran terjadi kasus hukum, seperti yang terjadi pada kasus aliran dana Bank Indonesia.

 

Sulitnya mendapatkan informasi tentang besaran fee tadi memicu rasa ingin tahu Binoto Nadapdap. Maka, ketika kuliah magister hukumnya di Universitas Indonesia hampir rampung, Binoto memilih untuk meneliti tema penetapan honorarium advokat dari sudut pandang konsumen. Hasil penelitian itu menjadi tesis yang dia pertahankan di depan penguji, dan kini tesis itu dibukukan dengan judul ‘Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat'.

 

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sedikit menyinggung honorarium. Honorarium atau jasa hukum ditetapkan sebagai hak advokat. Soal besarannya berapa, tergantung kesepakatan klien dan pengacara. Asalkan, penetapan besaran fee tadi dilakukan secara wajar. Begitu syarat yang disebut pasal 21 UU Advokat. Rumusan honorarium advokat dalam UU No. 18 Tahun 2003 ini bisa dikatakan lebih sederhana dibandingkan rumusan yang pernah diusulkan Peradin Jawa Tengah pada Juni 1973 (hal. 62), bahkan bisa dikatakan sebagai langkah mundur karena rumusan yang lebih komprehensif tidak diakomodir (hal. 63).

 

Ketidakjelasan penetapan besarnya honorarium advokat memang bisa berimbas pada pengeluaran-pengeluaran yang tidak jelas. Rumusan yang terlalu sederhana menyulitkan orang menggunakan parameter apa saja yang dipakai untuk menghitung jasa seorang advokat. Sebagai perbandingan, Malaysia membuat Komisi Tarif Advokat, yang langsung dipimpin Ketua Mahkamah Agung. Komisi ini menentukan honorarium seorang advokat berdasarkan banyak pertimbangan, antara lain posisi klien yang dibela dalam perkara, lokasi dan situasi terjadinya transaksi, jumlah nilai perkara, kemampuan dan tingkat tanggung jawab advokat, serta jumlah dan manfaat dokumen yang disiapkan advokat.

 

Sebelum UU No. 18 Tahun 2003 terbit, aturan honorarium advokat bisa ditelusuri ke zaman Belanda. Dulu, ada Tarief van Justitie-Kosten en Salariesen in Burgerlijke Zaken voor de Europeeschee Regtbanken in Indonesia, Staatblad 1951 No. 27. Sebelumnya, ada juga Staatblad 1927 No. 598 tentang Peraturan Bantuan dan Perwakilan Para Pihak dalam Perkara Perdata di Pengadilan Negeri. Berdasarkan aturan ini, advokat baru bisa menghitung biayanya setelah perkara selesai, dan untuk itu ia memohon kepada Ketua Pengadilan (hal. 56).

 

Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat

 

Penulis: Binoto Nadapdap

Kata Pengantar: Prof. Hikmahanto Juwana

Penerbit: Jala Permata, Jakarta

Edisi: 2008

Halaman: 231 + xiii

 

Penelusuran yang dilakukan Binoto mengungkapkan fakta bahwa sebenarnya sebagian pembuat undang-undang berharap ada rumusan yang lebih komprehensif mengatur honorarium advokat. Fraksi Daulat Ummat kala itu mengingatkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Seorang advokat lebih mengutamakan besarnya bayaran dari sebuah perkara yang dibela. Sehingga muncul kesan, advokat lebih memilih mencari profit ketimbang membantu masyarakat pencari keadilan. Kalau yang datang menemui adalah orang miskin, advokat acapkali mencari-cari alasan untuk menghindar. Malah berusaha meyakinkan klien miskin bahwa perkaranya akan kalah di pengadilan (hal. 59).

 

Mungkin sindiran Fraksi Daulat Ummah itu pula yang kini banyak ditonton masyarakat. Kalau ada seseorang pembesar diadili apalagi yang secara kasat mata berduit –katakanlah karena perkara korupsi—advokat berlomba-lomba membela. Dari sisi klien pun demikian. Klien yang ingin bebas dari tuduhan korupsi, akan berusaha mendapatkan sebanyak mungkin advokat ternama.

 

Dalam praktek, besar kecilnya honorarium advokat tergantung pada banyak hal. Maklum output yang dihasilkan advokat berbeda-beda. Meskipun output tersebut tidak bisa distandarisasi, dalam menentukan besarnya honorarium, seorang advokat perlu dan harus menjelaskan kepada klien hal-hal yang mempengaruhi besaran honorarium tadi (hal. 107). Bagaimanapun, honorarium advokat haruslah wajar. Yang dimaksud wajar, menurut penjelasan pasal 21 ayat (2) UU Advokat adalah memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan klien.

 

Penulis buku ini coba mengutip delapan faktor penentu besaran honorarium berdasarkan kode etik American Bar Association. Kedelapan faktor itu meliputi waktu dan tenaga yang dibutuhkan, kesamaan perkara, tarif umum di lokasi tertentu, jumlah pengeluaran dan hasil yang akan diperoleh, keterbatasan waktu klien, sifat alamiah dan lamanya hubungan profesional, pengalaman dan reputasi advokat, serta sifat honorarium apakah tetap atau tidak.

 

Untuk menentukan besaran itu dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode: penentuan secara kontijensi, dan berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan. Sekarang, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).

 

Dalam simpulan penulis, salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium. Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin. Sayangnya, banyak klien yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi semacam itu.

 

Buku karya Binoto Nadapdap ini patut mendapat apresiasi di tengah minimnya literatur tentang honorarium advokat. Setidaknya, apa yang dilakukan penulis bisa membuka cakrawala advokat dan klien tentang hak dan kewajiban masing-masing. Apalagi buku ini dihasilkan dari sebuah kajian ilmiah. Data dalam buku ini bisa dipertanggungjawabkan, puji Prof. Hikmahanto dalam kata pengantarnya.

 

Anda tertarik untuk baca?

 

Tags: