Sebuah Sketsa tentang Polus dan Gamos dari Sebuah Kota
Resensi

Sebuah Sketsa tentang Polus dan Gamos dari Sebuah Kota

Permohonan poligami sangat sedikit tercatat di pengadilan. Banyak yang memilih di bawah tangan. Mengapa?

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Dari perspektif hukum Islam, penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya Islam menganut asas monogami terkecuali dalam keadaan darurat (hal. 28). Keadaan darurat itu bisa terkait alasan kesehatan, misalnya. Kalaupun pengecualian itu dapat dibenarkan untuk dilakukan, mereka yang hendak berpoligami harus memenuhi syarat. Salah satu syarat yang sulit dijalankan adalah adil. Al-Qur’an surat Annisa ayat 129 secara tegas menyinggung syarat keadilan itu, dan jika tidak mampu adil tak usah berpoligami. Menurut penulis, untuk menghindari diri jatuh pada sikap tidak adil atau malah melakukan kezaliman terhadap isteri, maka satu isteri saja sudah cukup (hal. 32-33). “Sikap adil terhadap isteri merupakan syarat utama kehalalan poligami” (hal. 33).

 

Dari perspektif perundang-undangan nasional, poligami juga bukan perkara mudah dilakukan. Ada syarat ketat yang harus dipenuhi termasuk izin dari isteri pertama. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai mediator di Pengadilan Agama, ada juga isteri dan anggota keluarga yang memberi lampu hijau kepada pemohon melakukan poligami antara lain karena poligami dianggap lebih baik, terbuka, dan terhormat dibandingkan melakukan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

 

Penulis telah mencoba mengangkat pendapat warga kota Medan terhadap poligami dengan menyebar kuesioner dan mewawancarai sejumlah narasumber. Sayangnya, hanya 60 orang yang dijadikan responden untuk warga Medan yang jumlahnya jutaan dan berlatar belakang beragam. Hasilnya, jumlah perempuan yang tidak setuju poligami lebih banyak dibanding laki-laki; lebih banyak responden yang menyebut poligami itu kurang baik dibanding jumlah yang menyatakan baik. 

 

Berdasarkan temuan lapangan dan wawancara pula, penulis memberikan jawaban atas pertanyaan awal mengapa jumlah permohonan poligami ke Pengadilan Agama sangat sedikit, padahal banyak responden membenarkan poligami dilakukan dalam praktek. Ternyata, pilihan menikah di bawah tangan berkorelasi dengan syarat ketat yang ditentukan dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (hal. 98).

 

Lepas dari pandangan pro dan kontra, upaya penulis membukukan hasil penelitian ini patut dihargai. Ini adalah salah satu referensi yang secara spesifik membahas poligami dengan segala dinamikanya. Jika Anda bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut perkawinan di bawah tangan dengan segala aspek hukumnya, sebaiknya Anda membaca buku lain yang lebih mendalam. Pengamatan penulis di kota Medan menunjukkan poligami di bawah tangan yang tak sesuai peraturan perundang-undangan tidak sehat dan cenderung merugikan isteri. Para pemangku kepentingan perlu memberikan pemahaman yang baik tentang akibat-akibat hukumnya.

 

Bisa jadi, gambaran lain bisa diketahui dari penelitian-penelitian di daerah lain. Jika Anda ingin mengetahui hasil penelitian penulis, membaca buku ini adalah pintu masuknya.

 

Selamat membaca…

Tags:

Berita Terkait