Pustakawan Hukum: Biar ‘Kering’, Yang Penting Kaya Ilmu
Berita

Pustakawan Hukum: Biar ‘Kering’, Yang Penting Kaya Ilmu

Seorang pustakawan hukum sebaiknya memiliki latar belakang keilmuan hukum. Sayang, profesi pustakawan masih sering dianggap tempat ‘buangan’ dan kering.

Mys/Ali/CR-9
Bacaan 2 Menit
Pustakawan Hukum biar kering yang penting kaya Ilmu. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Pustakawan Hukum biar kering yang penting kaya Ilmu. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Lebih dari dua tahun gedung baru di Jalan Diponegoro 74 Jakarta Pusat itu diresmikan dan ditempati LBH Jakarta (dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI). Namun pendataan ulang dan klasifikasi ribuan buku-buku hukum koleksi yayasan ini belum rampung. Padahal, banyak koleksi perpustakaan di lantai dua adalah buku-buku klasik hukum yang kini jarang ditemukan di pasaran. Sebagian mulai lapuk di makan usia. Yanti, petugas perpustakaan itu, tetap bertekad merampungkan pendataan dan klasifikasi.

 

Kekayaan literatur di perpustakaan LBH Jakarta mungkin tak akan bisa dinilai dengan uang. Selain beragam dan  klasik, koleksi perpustakaan di lantai dua gedung Diponegoro 74 ini teramat sayang untuk dibiarkan terlantar. Tetapi, dana menjadi persoalannya. Sampai sekarang, penjilidan dan klasifikasi terus dilakukan. Selanjutnya, LBH berniat melakukan digitalisasi. “Tetapi masih terbentur dana,” kata Nurkholis Hidayat, Direktur LBH Jakarta.

 

Meski tak secara khusus disebut, perpustakaan LBH Jakarta bisa dinamai sebagai perpustakaan hukum karena koleksinya mayoritas buku-buku dan referensi hukum. Perpustakaan sejenis bisa ditemukan pada kantor-kantor yang mengurusi bidang hukum, kantor pengacara, atau perpustakaan di fakultas hukum. Salah satu yang khusus menyebut dirinya sebagai perpustakaan hukum adalah Dan Lev Law Library yang berlokasi di gedung Puri Imperium Kuningan. Perpustakaan jenis ini, oleh Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, disebut sebagai perpustakaan khusus.

 

Kantor-kantor yang berurusan dengan hukum sudah selayaknya memiliki perpustakaan khusus, dan pustakawan hukum yang handal. Kerja aparatur pengadilan, misalnya, bisa ditopang oleh pustakawan hukumnya. Jika hakim membutuhkan referensi terbaru yang relevan dengan kasus yang tengah ia tangani, sang hakim bisa meminta bantuan pustakawan. Kerja-kerja hakim konstitusi selama ini banyak terbantu oleh tenaga pusat penelitian dan pengkajian yang terus bekerja baik di perpustakaan Mahkamah Konstitusi maupun melakukan penelusuran di tempat lain.

 

Petinggi Mahkamah Agung bukan tidak menyadari pentingnya peran perpustakaan dan pustakawan. Juni 2009 lalu, Mahkamah Agung pernah mengumpulkan para pengelola perpustakaan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi se-Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Selama dua hari para pengelola dilatih dan dididik bagaimana memberdayakan perpustakaan di lingkungan peradilan.

 

Blasius Sudarsono, pustakawan utama PDII-LPII, termasuk ahli yang diundang memberikan ceramah dalam sosialisasi pembedayaan perpustakaan pengadilan itu. Sudarsono mengatakan sudah saatnya kita menyiapkan tenaga law librarian. Walaupun sekolah perpustakaan sudah ada di Indonesia sejak 1953, dan kini sekitar 15 perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan ilmu perpustakaan, pustakawan hukum masih sangat minim. “Sebetulnya, untuk law librarian itu harus disiapkan,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Ia menunjuk di luar negeri yang mengenai pendidikan khusus perpustakaan hukum, dan pada akhirnya melahirkan pustakawan hukum. Ada gelar Magister Law Library (M.Law.Lib). Mantan Kepala Perpustakaan Universitas Indonesia, Sri Mamudji, adalah salah seorang pustakawan yang meraih gelar itu dari University of Washington, Seattle, Amerika Serikat.

 

Sayang, perpustakaan hukum di Indonesia belum dikelola secara maksimal. Profesi pustakawan pun masih dianggap kelas dua, bahkan dianggap sebagai tempat buangan. Pegawai atau karyawan yang berkinerja buruk akan ditempatkan di perpustakaan. “Di Indonesia, pekerjaan ini (seolah--red) banyak dikerjakan orang-orang ‘buangan’,” kata Blasius Sudarsono.

 

Menjadi pustakawan hukum hampir sama saja. Stigma bahwa bekerja di perpustakaan hanya sekadar melayani pengunjung tak bisa dihindari. Pustakawan dipandang sebagai pekerjaan yang ak mendatangkan banyak uang. “Memang, anggapan orang, ini pekerjaan kering,” ujar Sri Mamudji.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu bahkan punya cerita menarik saat ia bertugas di perpustakaan fakultas, kemudian perpustakaan universitas. Sejumlah kolega mempertanyakan keputusan Bu Cici –begitu ia biasa disapa—menerima tugas sebagai pustakawan. Namun, ia sudah memutuskan dan kadung cinta pada pekerjaan itu. “Sebenarnya, kalau sudah di dalam, sangat menyenangkan,” ujarnya.

 

Keuntungan pertama, tentu saja, akses lebih cepat pada referensi dan buku-buku terbaru. Jika kebetulan Anda seorang yang rajin membaca, posisi sebagai pustakawan akan mendatangkan keuntungan. Setiap ada buku baru, Anda secara tidak langsung membacanya untuk kepentingan klasifikasi. Minimal, garis besar buku baru Anda ketahui. Dengan kata lain, meskipun miskin penghasilan, seorang pustakawan bisa kaya ilmu.

 

Bekerja sebagai pustakawan juga mengantarkan Sri Mamudji ke berbagai daerah dan negara. Selain untuk mengikuti kursus atau pendidikan, ia juga melacak referensi dan terbitan terbaru. Tugas itu membuat Bu Cici melakukan travelling, sehingga cakrawalanya juga bertambah. Seorang pustakawan pada hakikatnya menjalankan fungsi yang mulia, berkaitan dengan pendidikan, pelayanan informasi, penelitian, dokumentasi, dan rekreasi.

 

Bagi perguruan tinggi, perpustakaan adalah ‘jantung’. Perguruan tinggi mustahil berkembang dan melaksanakan tridarma dengan baik tanpa ditunjang perpustakaan yang memadai. Sayang, pengembangan perpustakaan dan tenaga pustakawan nyaris terseok-seok. “Hanya sebatas lipservice saja,” kata Sri Mamudji.

 

 

Kompetensi dan tunjangan

Pustakawan, menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

 

Di Indonesia, pustakawan lebih dipandang sebagai jabatan fungsional. Berbeda dari negara-negara maju yang sudah menganggap pustakawan sebagai profesi.

 

Untuk bisa menjadi pustakawan hukum seseorang seyogianya memenuhi kualifikasi standar nasional perpustakaan. Pengelola perpustakaan di kampus fakultas hukum, misalnya, akan lebih udah jika pengelola dan petugas teknisnya berlatar belakang ilmu perpustakaan dan hukum. Blasius Sudarsono berpendapat, pendidikan pustakawan hukum bisa dibuat strata dua alias pascasarjana. Mereka yang lulus ilmu perpustakaan diberi kesempatan menempuh spesialisasi bidang hukum. Atau sebaliknya, sarjana hukum menempuh pendidikan lanjutan perpustakaan.

 

Pendidikan khusus penting bagi pustakawan hukum dimaksudkan untuk memenuhi standar pengelolaan perpustakaan. Maklum, di sejumlah tempat, pengelolaan perpustakaan masih asal-asalan. Ini berkaitan dengan profesi pustakawan sebagai sandaran hidup. Pustakawan hukum di instansi pemerintah, dinilai Sri Mamudji, tak terlalu menjanjikan karena berkaitan pula dengan kenaikan pangkat. Tunjangan jabatan tertinggi untuk pustakawan ahli ‘hanya’ Rp700 ribu.

 

 

Di lingkungan instansi Pemerintah, pustakawan adalah jabatan fungsional. Sehingga tunjangannya disesuaikan dengan jabatan fungsional tersebut. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2007, tunjangan jabatan fungsional adalah berkisar antara Rp240 ribu (pustakawan pelaksana) hingga Rp700 ribu (ahli pustakawan utama).  

 

 

Tabel

 

Tunjangan Jabatan Fungsional Pustakawan

 

Berdasarkan Perpres No. 47 Tahun 2007

 

 

 

Jabatan fungsional

 

Jabatan

 

Besaran tunjangan (Rp)

 

Pustakawan

Ahli pustakawan utama

700.000

 

Pustakawan madya

500.000

 

Pustakawan muda

375.000

 

Pustakawan pertama

275.000

 

Pustakawan terampil

Pustakawan penyelia

350.000

 

Pustakawan pelaksana lanjt.

265.000

 

Pustakawan pelaksana

240.000

 

 

 

Wadah

Pada 27 Mei 2009, sejumlah pustakawan dari lembaga yang bergerak di bidang hukum, pada umumnya lembaga swadaya masyarakat, mengadakan diskusi bersama. Selain membahas implementasi Undang-Undang Perpustakaan, diskusi di Dan Lev Law Library menjadi arena untuk menyamakan persepsi para pustakawan. “Dalam pertemuan itu kami sering berbagi informasi, termasuk koleksi,” kata Farli Elnumeri, pustakawan Dan Lev Law Library.

 

Diskusi semacam itu bukan satu-satunya ajang prtemuan para pustakawan hukum. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sudah lama memperkenalkan Sistim Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (SJDIH). Melalui SJDIH ini para pustakawan hukum sering berkomunikasi dan berbagi informasi.  Minimal sekali setahun. “Ini forum semua pustakawan hukum, perguruan tinggi, kantor pengacara, Pemda, dan biro-biro hukum Pemerintah,” jelas Sri Mamudji.

 

Blasius Sudarsono berpendapat, para pustakawan hukum perlu membuat organisasi. Dalam organisasi ini bisa dibahas banyak hal. Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 pun tak melarang, bahkan sebenarnya mendorong pembentukan organisasi profesi pustakawan. Organisasi profesi itu berfungsi untuk memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan. Sebagai organisasi profesi, kode etik mutlak perlu. Ikatan Pustakawan Indonesia misalnya, kata Blasius, sudah memiliki kode etik meskipun kuat dugaan hanya mengadopsi kode etik pustakawan Amerika Serikat.

 

Karena itu, kalau para pustakawan hukum mau membentuk wadah, kode etik dan jumlah anggota penting dipikirkan. Siapa tahu, nasib ‘kering’ pustakawan bisa diperjuangkan menjadi ‘basah’. “Kalau mereka berhimpun, banyak yang bisa mereka bicarakan,” kata Blasius.

 

Tentu saja, penopang hidup bukan satu-satunya yang perlu dipahami pustakawan. Perkembangan digitalisasi perpustakaan merupakan keniscayaan. Informasi dan dokumentasi hukum harus semakin mudah diakses.

 

Dan para pustakawan punya kesempatan berbagi pada konperensi “Perpustakaan Digital: Isu-Isu Teknis, Strategis, dan Masa Depan” yang akan diselenggarakan di Bandung, awal November mendatang. Sebagai salah satu lembaga yang mengelola data dan informasi hukum secara digital, hukumonline berkesempatan berbagi pengalaman dalam ajang tersebut.

Tags: