Presiden Diminta Pilih Hakim MK yang Negarawan Sejati
Berita

Presiden Diminta Pilih Hakim MK yang Negarawan Sejati

Harus profesional, independen, paham prinsip negara hukum (rule of law), dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM selain memiliki rekam jejak yang baik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Namun, (saat wawancara) beliau tidak dapat memberikan argumentasi secara jelas (kuat) atas masuknya pasal-pasal tersebut,” ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Arif Maulana.

 

Kemudian, Pro. Ni’matul Huda ialah akademisi hukum tata negara di Yogyakarta yang pernah terlibat di tim ahli DPD saat penyusunan RUU Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia tercatat pernah mengikuti seleksi calon hakim konstitusi pada 2013 dan 2014.

 

Saat pencalonan dirinya sebagai calon hakim konstitusi pada 2013, Ni’matul mengundurkan diri. Alasannya, Ni’matul tidak mendapatkan izin dari Universitas Islam Indonesia (UII), tempatnya mengajar. Selain itu, Ni’matul masih terikat jabatan sebagai direktur pascasarjana di kampus tersebut. Sedangkan pada tahun 2014, Ni’matul dikalahkan dengan terpilihnya Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi.

 

“Saat proses tahap wawancara, sangat disayangkan berlangsung sangat normatif dan kurang mendalam membahas isu-isu dalam perspektif HAM, sehingga sulit mengetahui pandangannya,” kata dia.

 

Sedangkan, Susi Dwi Harijanti merupakan dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Susi kini menjabat direktur dari Komunitas Indonesia untuk Hak Asasi Manusia (PAHAM). Pada tahun 2014, Susi pernah dicalonkan menjadi hakim kontitusi, tetapi Susi menolak pencalonan tersebut.

 

“Pada tahap wawancara pemilihan calon hakim MK, beliau tampil dengan percaya diri dan dianggap calon Hakim MK yang paling memahami isu-isu HAM,” tuturnya.

 

Karena itu, LBH Jakarta meminta agar Presiden tidak memilih calon hakim MK tidak  memiliki kecenderungan mendukung nilai-nilai HAM. Misalnya, tidak memilih calon yang mendukung dan memasukan pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP. Seperti perluasan pasal zina, memasukan delik tindak pidana korupsi, mendukung diberlakukannya hukuman mati, delik penghinaan presiden dalam RKUHP.

Tags:

Berita Terkait