Pimpinan MPR Diminta Turun Tangan Atasi Dualisme DPR
Utama

Pimpinan MPR Diminta Turun Tangan Atasi Dualisme DPR

Harus melepaskan ego dan keluar dari peran dan fungsi normatif, tetapi menjadi mediator mencari jalan keluar atas konflik yang ada.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dua kubu di DPR, yakni fraksi partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) masih bersitegang. Konflik yang terjadi tak saja menjadi sorotan di dalam negeri, boleh jadi menjadi perhatian dunia internasional. Untuk itu, diperlukan peran pimpinan MPR untuk turun tangan mengatasi dualisme DPR.

Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) di MPR, Ahmad Basarah, mengatakan pimpinan MPR mesti keluar dari pemikiran normatif. Selain itu, MPR tidak saja melaksanakan tugas normatif seperti melakukan sosialiasi empat pilar, tetapi hadir pada setiap konflik terjadi di masyarakat.

Ia berpandangan, MPR di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan seyogianya dapat melakukan rapat konsultasi dengan presiden dan sejumlah lembaga negara. Soalnya, kewenangan MPR itu diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Tata Tertib (Tatib) MPR. Menurutnya, langkah itu dinilai tepat untuk kembali meluruskan praktik demokrasi yang sudah menyimpang.

“Seyogianya pimpinan MPR melakukan inisiatif mengundang presiden, DPR dan  pimpinan lembaga untuk duduk bersama dan kembali ke pangkal Pancasila, sila keempat,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, Senin (3/11).

Ia berpendapat, pimpinan MPR dapat menempatkan dirinya sebagai negawaran, tidak lagi menggunakan simbol kelompok maupun partai. MPR sejatinya lebih mengedepankan bangsa dan negara. MPR tidak saja menjalankan fungsi kelembagaannya, tetapi menjadi penjaga gawang demokrasi Pancasila.

“Hal-hal seperti inilah bangsa membutuhkan perajut dan perekat bangsa. Bagaimana kemudian Pak Zulkifli keluar dari peran normatif lembaga, tetapi mencari jalan keluar atas tensi politik yang tinggi. Saya berharap MPR dapat mengayomi lembaga lain dan diperlukan tokoh pimpinan yang mampu mencari jalan keluar di kamar DPR. Kita rindu figur pak Taufik Kiemas yang mampu menjadi tokoh penegah,” ujar mantan anggota Komisi III DPR periode 2009-2014 itu.

Ketua Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Jawa Timur, Bayu Dwi Anggoro, mengamini pandangan Basarah. Menurutnya, insiden dualisme di DPR tak ada titik temu dengan perspektif hukum. Dualisme DPR berbeda halnya dengan sengketa antar lembaga yang mekanisme penyelesaiannya diatur perundangan.

Ia menilai MPR sebagai lembaga tertinggi yang dapat menjadi mediasi terhadap konflik DPR. “MPR sesuai kewenangan lembaga yang mengubah UUD. Ketika ada yang menyimpang UUD, maka MPR yang mengingatkan DPR. Praktik yang terjadi itu menyimpangi DPR. Jadi ruang MPR memiliki legal standing untuk menengahi,” katanya.

Ia mengimbau agar pimpinan MPR terjun langsung melakukan rapat konsultasi mengundang DPR, DPD agar kembali pada dasar negara, yakni Pancasila. Menurutnya, MPR memiliki produk hukum melalui keputusan MPR. Ia berpendapat keputusan DPR dapat menjadi solusi atas permasalahan yang tak kunjung usai antara KIH dengan KMP.

MPR sejatinya tak hanya melakukan fungsi penjaga konstitusi, tetapi lebih menjaga bangsa dan negara disaat adanya konflik. “MPR ini lembaga yang menjaga bangsa dan negara memiliki kewenangan yang tinggi. Pimpinan MPR harus aktif dalam mencari jalan atas deadlock di DPR. MPR punya kewajiban moril, jadi bukan presidenn mengeluarkan Perppu UU MD3, tetapi pimpinan MPR harus turun tangan,” ujarnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Andar Nubowo, menambahkan pimpinan MPR mesti melepaskan ego dan baju partai. Sebagai negarawan, pimpinan MPR mesti hadir dalam konflik yang berkaitan dengan bangsa dan negara.

“Kita membutuhkan sikap kenegarawanan pimpinan MPR atas konflik yang ada. Jadi MPR punya peran kultural dan keluar dari peran dan fungsi normatifnya,” pungkas Andar yang juga Dirut Eksekutif Indo Strategi Research and Consulting itu.
Tags:

Berita Terkait