Pertanyaan Prof. Harun tentang Marbury vs Madison
Berita

Pertanyaan Prof. Harun tentang Marbury vs Madison

Inilah sedikit kenangan mahasiswanya tentang Prof. Harun Alrasid.

MYS/ASH
Bacaan 2 Menit
Pertanyaan Prof. Harun tentang Marbury <i>vs</i> Madison
Hukumonline
Pakar hukum tata negara Harun Alrasid telah meninggal dunia 12 Agustus lalu dalam usia 84 tahun. Murid-muridnya mengenang almarhum sebagai sosok yang jujur, lurus, sederhana, dan punya prinsip.

Semasa masih menjadi akademisi, Prof. Harun Alrasid dihormati dan disegani. Mahasiswa doktoral yang pernah diuji atau dibimbing almarhum seringkali kelabakan karena pertanyaan yang tak terduga. Hakim konstitusi Maria Farida Indrati masih ingat ketika menjelang promosi doktor di Universitas Indonesia. Maria dan Prof. Harun adalah kolega, sama-sama pengajar di program studi hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).

Sebelum ujian, Maria meminta agar Prof. Harun tak bertanya yang susah-susah. Namun saat ujian tetap saja ada pertanyaan pria kelahiran Pendopo, Sumatera Selatan itu, yang tak bisa dijawab Maria. “Jadi, Pak Harun tipe ilmuan yang tidak kenal kompromi. Disiplinnya tinggi,” kenang Maria.

Andi Muhammad Asrun, pengacara yang juga alumnus program doktor Universitas Indonesia, punya cerita tentang Prof. Harun yang akan dikenang. Harun Alrasid adalah salah seorang penguji sidang terbuka saat Asrun mempertahankan disertasi ‘Krisis Peradilan, Mahkamah Agung di Bawah Soeharto’ pada 2003 silam.

Sebelum mengajukan pertanyaan Prof. Harun menguraikan pengantar bahwa disertasi Asrun menyinggung tentang kasus Marbury vs Madison. Lewat kasus itu, Asrun memang ingin memperlihatkan contoh penunjukan hakim agung yang sarat dengan pertimbangan kepentingan politik presiden. Dalam konteks ini adalah penunjukan John Marshall sebagai hakim agung oleh Presiden Amerika Serikat, John Quincy Adams. Marshall, jelas Asrun dalam disertasinya, telah meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaan judicial review di Mahkamah Agung melalui kasus Marbury vs Madison.  

Prof. Harun hanya mengajukan pertanyaan: apa sih sebenarnya kasus Marbury vs Madison yang ditulis promovendus? Asrun tak bisa menjawab dengan sebenarnya. “Sampai tiga kali beliau bertanya, saya tidak bisa menjawab,” kenang Asrun.

Prof. Harun tak memberi penjelasan tentang Marbury vs Madison di depan ratusan pasang mata yang menghadiri ujian terbuka promosi doktor itu. Bagi Asrun, ini menunjukkan Prof. Harun sangat kuat memegang prinsip, tak kenal kompromi. Ia terus mendorong mahasiswanya untuk belajar dan terus belajar. Sikap tak kenal kompromi itu terlihat dari pandangan Prof. Harun hingga akhir hayat bahwa penjelasan UUD 1945 itu adalah barang ‘haram’. “Prinsip itu dipegangnya sampai mati. Dan akhirnya dalam amandemen UUD 1945, bagian penjelasan dihilangkan,” jelas Asrun.

Marbury vs Madison
Kasus Marbury vs Madison dipandang sebagai tonggak awal praktek constitutional review atau judicial review di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Presiden Quincy Adams kalah dalam pemilu melawan Thomas Jefferson. Menjelang masa peralihan jabatan presiden itu, Adams membuat keputusan-keputusan penting, termasuk mengangkat John Marshall sebagai hakim agung. Sebelumnya Marshall adalah Secretary of State.

William Marbury termasuk pejabat yang diangkat di masa-masa peralihan; ia diangkat sebagai hakim. Begitu masa peralihan terjadi, salinan surat pengangkatan Marbury belum sempat diserahterimakan. James Madison, Secretary of State, yang baru di bawah pemerintahan Jefferson menahan surat tersebut. Tindakan Madison menahan surat-surat pengangkatan pejabat itulah yang kemudian diperkarakan Marbury ke Mahkamah Agung. Untuk kepentingan hukum itu, Marbury dan kawan-kawan  memberikan kuasa kepada Charles Lee—mantan Jaksa Agung Federal.

Marbury meminta agar Mahkamah Agung memerintahkan pemerintah melaksanakan writ of mandamus, menyerahkan surat-surat pengangkatan yang sudah diteken presiden sebelumnya. Pemerintahan Jefferson menolak. Kongres yang dikuasai kaum Republik –pendukung Jefferson—mendukung pemerintah, bahkan mengesahkan Undang-Undang yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama satu tahun.

Mahkamah Agung akhirnya menyidangkan perkara ini. Putusan Mahkamah Agung yang ditulis John Marshall menyatakan pemerintahan Quincy Adams sudah memenuhi semua persyaratan yuridis sebelum mengangkat Marbury dan kawan-kawan. Mereka berhak atas surat pengangkatan menurut hukum.

Meskipun demikian, Mahkamah Agung menyatakan tidak punya wewenang memaksa pemerintah menyerahkan surat-surat yang diminta oleh pemohon. Permintaan pemohon agar pemerintah mengeluarkan writ of mandamus sebagaimana ditentukan UU Peradilan Amerika Serikat (Judiciary Act) 1789 tidak dapat dibenarkan karena UU Peradilan itu sendiri bertentangan dengan Artikel III Seksi 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Jadi, dalil yang dipakai Mahkamah Agung untuk mengadili dan memutus perkara Marbury vs Madison adalah konstitusi, bukan UU Peradilan 1989. Dari kasus ini kemudian berkembang pemikiran bahwa Mahkamah Agung adalah penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).

Di Indonesia wewenang itu kemudian diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dan Andi Muhammad Asrun pernah menjadi bagian dari Mahkamah Konstitusi di awal-awal kiprah lembaga ini sebagai penjaga konstitusi.
Tags:

Berita Terkait