Permenkumham Paralalegal, antara Kuantitas dan Kualitas?
Kolom

Permenkumham Paralalegal, antara Kuantitas dan Kualitas?

​​​​​​​Pemerintah seharusnya menyempurnakan atau merevisi beberapa ketentuan di dalam Permenkumham Paralegal.

Bacaan 2 Menit
Permenkumham Paralalegal, antara Kuantitas dan Kualitas?
Hukumonline

Pendahuluan

Tanggal 17 Januari 2018 pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum (“Permenkumham Paralegal”) yang efektif berlaku saat diundangkan yakni tanggal 26 Januari 2018. Permenkumham Paralegal ini merupakan salah satu aturan implementasi dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

 

Bila melihat poin “menimbang” Permenkumham Paralegal, sebetulnya mengandung tujuan yang baik yakni untuk meningkatkan jangkauan pemberian Bantuan Hukum, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  1. bahwa pemberian Bantuan hukum saat ini belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia karena adanya keterbatasan pelaksana Bantuan Hukum sehingga diperlukan peran Paralegal untuk meningkatkan jangkauan Pemberian Bantuan Hukum;
  2. bahwa untuk memenuhi kualifikasi paralegal dan pemberdayaan Paralegal dalam pemberian Bantuan Hukum perlu diatur.

 

Secara prinsip, saya sepakat bahwa akses bantuan hukum harus bisa menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, namun secara materil, ada beberapa ketentuan di dalam Permenkumham Paralegal ini yang saya rasa cukup mengganjal dan perlu diberikan masukan agar mungkin bisa disempurnakan. Pada intinya, jangan sampai kuantitas melunturkan kualitas.

 

Sebab perlu diingat, bantuan hukum bukan sekadar memberikan bantuan hukum secara formalitas (yang penting ada penasihat hukumnya/paralegal). Namun lebih dari itu, ada hak serta nasib orang lain yang kita perjuangkan di dalam memberikan bantuan hukum, sehingga keadilan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat miskin, buta hukum dan teraniaya.

 

Beberapa catatan penting mulai dari istilah paralegal itu sendiri. Syarat paralegal, pelatihan dan sertifikasi paralegal, kode etik paralegal, dan pendampingan paralegal layaknya advokat, akan diuraikan lebih detail dalam tulisan ini.

 

1. Pengertian paralegal dalam Permenkumham Paralegal melampaui sifat (nature) paralegal itu sendiri

Di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, tidak dijelaskan pengertian paralegal. Sehingga sampai saat ini masih terjadi ketidakseragaman terkait pengertian paralegal. Bila mengacu kepada definisi paralegal yang ada misalnya, dalam hukumpedia mendefinisikan paralegal sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan hukum, namun ia tidak mempunyai kualifikasi sebagai praktisi hukum. Bahkan, dalam beberapa literatur disebutkan bahwa paralegal bukanlah sarjana hukum. Tugas paralegal umumnya adalah membantu advokat, di antaranya untuk pekerjaan administratif dan pengarsipan dokumen.[1]

 

Menurut Erna Ratnaningsih, Paralegal adalah setiap orang yang sudah terlatih dan mempunyai pengetahuan dan ketrampilan di bidang hukum  yang membantu penyelesaian masalah hukum yang dihadapi oleh orang lain atau komunitasnya. Dalam menjalankan perannya biasanya seorang paralegal disupervisi oleh advokat yang bekerja di LBH. Paralegal menjadi jembatan yang menghubungkan antara advokat dan komunitas masyarakat miskin diwilayah yang sulit dijangkau oleh advokat.[2] 

 

Menurut LBH Jakarta, istilah Paralegal ditujukan kepada seseorang yang bukan advokat namun memiliki pengetahuan di bidang hukum, baik hukum materiil maupun hukum acara dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan.

 

Paralegal ini bisa bekerja sendiri di dalam komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum. Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau perkara, maka paralegal sering juga disebut dengan asisten hukum. Dalam praktik sehari-hari, peran paralegal sangat penting untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat.[3]

 

Diakses dari wikipedia, Paralegal adalah gambaran pekerjaan yang membantu pengacara dalam pekerjaannya dan istilah ini dipakai di beberapa negara. Paralegal itu sendiri bukanlah pengacara bukan juga petugas pengadilan, oleh pemerintah sendiri paralegal tidak diizinkan untuk berpraktik hukum.[4]

 

Di Amerika Serikat, paralegal bekerja melekat pada pengacara. Ia melakukan pekerjaan sesuai instruksi pengacara. Apapun yang ia lakukan maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pengacara. Adapun yang dapat paralegal lakukan seperti menganalisa dan meringkas keterangan, mempersiapkan pertanyaan untuk wawancara, melakukan riset dan menganalisa kasus, mendrafting dokumen seperti gugatan, pledoi, dan sebagainya.[5]

 

Menurut Black’s Law Dictionary[6], Paralegal is a person who has been trained, and holds authority to provide a specified number of legal services. A paralegal is not a lawyer, but is usually on their way to becoming one.Terjemahan bebasnya, paralegal adalah orang yang telah dilatih dan punya kewenangan untuk memberikan jasa/bantuan hukum tertentu. Paralegal bukan pengacara, tapi biasanya sedang menuju untuk menjadi pengacara.

 

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dipahami sifat paralegal adalah subsidaritas (assistant) dari pengacara/advokat. Esensi dari tugas paralegal adalah membantu kerja-kerja advokat, seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan administratif dan pengarsipan dokumen, dan sebagai penghubung antara masyarakat (komunitas) dengan advokat. Dengan kata lain yang lebih banyak pada rana non-litigasi, kalaupun harus melaksanakan pendampingan litigasi maka harus didampingi advokat sebab untuk berlitigasi haruslah mendapat izin berpraktik lebih dahulu.

 

Bila merujuk pada Permenkumham Paralegal, secara implisit pengertian paralegal bisa dilihat dalam Pasal 2 yang menyatakan: “Paralegal yang diatur dalam Peraturan Menteri ini merupakan paralegal yang melaksanakan pemberian bantuan hukum dan terdaftar pada Pemberi bantuan hukum.” Pengertian dalam Pasal 2 Permen Paralegal ini bila ditafsirkan secara sistematis dengan merujuk pada Pasal 12 Permen Paralegal, maka paralegal adalah orang yang melaksanakan pendampingan hukum baik litigasi[7] maupun non-litigasi (layaknya advokat).

 

Tentu adanya pengertian paralegal sebagaimana dimaksud dalam Permen paralegal telah menggeser makna atau sifat (nature) tentang paralegal itu sendiri. Sebab Permenkumham Paralegal telah memberikan hak bagi paralegal untuk menjalankan tugas-tugasnya (litigasi) layaknya seorang advokat.

 

Padahal sebagaimana kita tahu, seorang sarjana hukum saja yang sudah mengikuti pendidikan profesi advokat dan melaksanakan magang selama 2 (dua) tahun belum diizinkan untuk berlitigasi di sidang pengadilan sebelum ia dilantik dan disumpah oleh pengadilan Tinggi. Namun Permenkumham Paralegal ini sekali lagi telah memberikan hak yang begitu besar kepada paralegal layaknya advokat.

 

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa pengertian paralegal dalam peratura menteri ini jelas telah melampauai sifat (nature) paralegal itu sendiri dan telah memposisikan kedudukan paralegal sama layaknya advokat.

 

2. Kewenangan paralegal yang besar layaknya advokat, tidak diimbangi dengan syarat yang mumpuni layaknya advokat

Syarat untuk dapat direktrut menjadi paralegal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Permenkumham Paralegal adalah:

  1. warga negara indonesia;
  2. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
  3. memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat; dan atau
  4. memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan Hukum

 

Dari syarat-syarat di atas, bisa dipahami untuk dapat menjadi paralegal, tidak harus sarjana hukum, usia minimal cukup 18 tahun, memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat, dan syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan Hukum.

 

Syarat menjadi paralegal di atas, hemat saya tidak akan menjadi masalah apabila Permenkumham Paralegal tidak memberikan hak yang begitu besar kepada paralegal dalam memberikan bantuan hukum secara litigasi (layaknya advokat). Sebab hal ini berkaitan dengan ketrampilan (skill) atau kualitas pelayanan bantuan hukum litigasi yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat pencari keadilan.

 

Merujuk pada Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Advokat sebagai suatu profesi[8] yang punya kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma[9], tidak bisa sembarangan dalam memberikan bantuan hukum, melainkan harus memenuhi syarat atau kualifikasi tertentu. Hal ini dilakukan agar pelayanan bantuan hukum cuma-cuma (secara litigasi khususnya) kepada masyarakat miskin dapat diberikan secara maksimal dan tidak sekadar formalitas belaka.

 

Pasal 3 UU Advokat menyatakan untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

 

Tabel Syarat Paralegal dan Advokat

Pemberian Bantuan Hukum yang dapat dilakukan Paralegal dan Advokat

Syarat menjadi Paralegal

Syarat menjadi Advokat

Advokat dan Paralegal sama-sama dapat memberikan bantuan hukum baik litigasi dan non-litigasi.

  1. warga negara Indonesia;
  2. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
  3. memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat; dan atau
  4. memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan Hukum
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bedanya syarat yang ditentukan oleh Permenkumham Paralegal dan Undang-Undang Advokat. Namun pemberian Bantuan Hukum oleh Paralegal (khususnya litigasi) sama dengan Advokat. Hal ini tentu suatu kemunduran dalam hal pemberian bantuan hukum. Pemerintah seolah menyepelehkan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin, yang penting ada bantuan hukum tanpa perlu mempertimbangkan standar/syarat atau kualitas mumpuni dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.

 

3. Pelatihan dan sertifikasi paralegal tanpa standarisasi sehingga terkesan asal-asalan

Di dalam Permenkumham Paralegal diatur soal pelatihan[10] serta sertifikasi bagi Paralegal[11]. Adapun Pelatihan paralegal yang dimaksud diselenggarakan oleh:

  1. Pemberi Bantuan Hukum (OBH);
  2. Perguruan tinggi;
  3. Lembaga swadaya masyarakat yang memberikan Bantuan Hukum; dan/atau
  4. Lembaga pemerintah yang menjalankan fungsinya di bidang hukum.

 

Prosedur menyelenggarakan pelatihan paralegal adalah dengan mengajukan permohonan pelatihan paralegal kepada kepala BPHN dengan melampirkan proposal pelatihan paralegal. Kemudian BPHN akan memeriksan permohonan tersebut lalu mengeluarkan keputusannya paling lama 14 (empat belas hari). (lihat Pasal 8 Permenkumham Paralegal). Setelah pelatihan dilaksanakan kepada paralegal, kemudian paralegal mendapatkan sertifikat dari penyelenggara pelatihan. (Pasal 10 Permenkumham Paralegal).

 

Terkait pelatihan serta sertifikasi paralegal, terlihat jelas tidak ada standarisasi dan jaminan mutu peningkatkan kualitas paralegal yang diberikan pelatihan. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Tidak ada standar yang jelas dan sama, sebab masing-masing penyelenggara dapat membuat materi pelatihannya sendiri. Berbeda dengan Pendidikan Khusus Provesi Advokat yang punya standarisasi (kurikulum) dari Organisasi Advokat.
  2. Tidak ada mekanisme pelaporan kepada BPHN terkait penyelenggaraan Pelatihan Paralegal. Berbeda dengan Organisasi Advokat yang mewajibkan penyelenggara untuk membuat laporan awal dan akhir penyelenggaraan Pendidikan Advokat.[12] Tidak adanya pelaporan akhir pelatihan Paralegal tentu rentan terjadi penyimpangan (manipulasi). Penyelenggara bisa saja tidak pernah melaksanakan pelatihan paralegal dan BPHN tidak akan tahu soal itu sebab tidak diatur kewajiban/keharusan bagi penyelenggara pelatihan paralegal untuk melaporkan hasil pelaksanaan pelatihannya kepada BPHN.
  3. Sertifikasi paralegal bisa diperoleh tanpa harus melalui tes/ujian kompetensi. Berbeda dengan Pendidikan Advokat, calon advokat yang telah mengikuti pendidikan profesi advokat, harus magang terlebih dahulu selama 2 (dua) tahun berturut-turut, sebagai syarat untuk mengikuti ujian profesi advokat guna menilai apakah benar ilmu yang didapat selama pendidikan/pelatihan dan magang advokat benar-benar dipahami. Dan tentu ada standar kelulusannya. Bagi yang tidak memenuhi standar akan dinyatakan tidak lulus dan harus mencoba lagi di ujian advokat yang akan datang.

 

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pelatihan dan sertifikasi paralegal tidak memiliki standarisasi yang jelas, bahkan sangat bisa dimanipulasi, dan terkesan asal-asalan, sehingga kita semua patut bertanya dengan kualitas pelatihan seperti itu (sangat jauh dari standard Pendidikan Profesi Advokat) apakah paralegal qualified memberikan bantuan hukum (litigasi) kepada masyarakat layaknya advokat?

 

4. Diserahkannya pembuatan kode etik paralegal kepada masing-masing Pemberi Bantuan Hukum (PBH) akan membuat tidak adanya standar kode etik yang sama

Pasal 15 Permenkumham Paralegal mewajibkan organisasi bantuan hukum untuk membuat Kode Etik Pelayanan Paralegal[13]. Masalah yang akan muncul dengan diserahkannya pembuatan kode etik paralegal pada masing-masing pemberi bantuan hukum adalah tidak adanya standar kode etik yang sama. Sehingga besar kemungkinan standar etika antara paralegal yang satu dengan yang lain berbeda.

 

Bisa jadi perbuatan paralegal menurut kode etik paralegal pada PBH (A) merupakan pelanggaran kode etik namun belum tentu merupakan pelanggaran etika bagi PBH (B) atau yang lainnya. Bila tidak ada standar yang jelas terkait kode etik bagi paralegal ini maka pada akhirnya masyarakat pencari keadilan yang akan dirugikan, sebab standar kode etik antara satu pemberi bantuan hukum dengan yang lain berbeda-beda.

 

Apalagi bila mengaju pada UU Bantuan Hukum maka adanya standar kode etik yang jelas merupakan hak dari masyarakat miskin pencari keadilan (Penerima Bantuan Hukum) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UU Bantuan Hukum sebagai berikut,“Penerima bantuan hukum berhak: b. Mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan standar bantuan hukum dan/atau Kode etik advokat.

 

Sehingga dapat dipahami bahwa diserahkannya pembuatan kode etik paralegal kepada masing-masing pemberi bantuan hukum (PBH) akan membuat tidak adanya standar kode etik yang sama, dan pada akhirnya hak masyarakat akan dirugikan.

 

Penutup

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa diberikannya hak pendampingan secara litigasi kepada paralegal layaknya advokat dianggap tidak tepat. Sebab dari segi sifat (nature) Paralegal lebih merupakan sebagai pihak yang membantu advokat dan lingkup kerjanya lebih kepada kerja-kerja non-litigasi. Di sisi lain hak yang begitu besar tidak diimbangi dengan syarat paralegal yang mumpuni,  pelatihan, sertifikiasi, serta kode etik yang tidak punya standarisasi sehingga potensi besar melanggar dan merugikan hak-hak masyarakat miskin pencari keadilan.

 

Pemerintah seharusnya menyempurnakan atau merevisi beberapa ketentuan di dalam Permenkumham Paralegal yakni berkaitan dengan syarat paralegal yang tentu harus diperketat dengan kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang matang, kemudian pelatihan dan sertifikasi yang memiliki pelaporan yang jelas serta uji kompetensi guna memastikan paralegal benar-benar mumpuni, serta harus ada standar kode etik yang sama di setiap PBH. Hal harus dilakukan agar paralegal yang dihasilkan betul-betul qualified dan “tidak asal jadi”.

 

Karena hal yang paling penting perlu diingat adalah jangan sampai ambisi pemerintah untuk jangkauan bantuan hukum sebanyak atau seluas-luasnya (kuantitas) mengabaikan kualitas pemberian bantuan hukumnya. Sebab, bantuan hukum bukan sekadar memberikan bantuan hukum secara formalitas (yang penting ada penasihat hukumnya/paralegal). Namun lebih dari itu, ada hak serta nasib orang lain yang kita perjuangkan di dalam memberikan bantuan hukum, sehingga keadilan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat miskin, buta hukum dan teraniaya.

 

*)Boris Tampubolon, S.H. adalah advokat dan Kepala Divisi Non- Litigasi LBH Mawar Saron

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

 

[1] Hukumonline.com diakses tanggal 1 Maret 2018.

[2] binus.ac.id diakses tanggal 1 Maret 2018.

[3] trunity.net diakses tanggal 1 Maret 2018

[4] wikipedia diakses tanggal 1 Maret 2018

[5] wikipedia diakses tanggal 1 Maret 2018

[6] thelawdictionary diakses tanggal 1 Maret 2018

[7] Pasal 12 Permenkumham Paralegal

[8] Pasal 1 ayat 1 UU Advokat

[9] Pasal 1 ayat 2 UU Advokat

[10] Pasal 6 ayat (1) Permenkumham Paralegal

[11] Pasal 10 ayat (1) Permenumham Paralegal

[12] Pasal 5 ayat 1 huruf f Jo Pasal 9 ayat (1) Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 3 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat

[13] Pasal 15 Permenkumham Paralegal

Tags:

Berita Terkait