Pemerintah Godok PP Pajak Barang Mewah
Berita

Pemerintah Godok PP Pajak Barang Mewah

Beberapa produk dihapuskan sebagai kategori barang mewah.

FNH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Godok PP Pajak Barang Mewah
Hukumonline

Kementerian Keuangan mengeluarkan empat peraturan untuk menindaklanjuti paket kebijakan untuk menstabilkan ekonomi kembali. Salah satu PMK yang sudah dikeluarkan adalah tentang penghapusan pajak barang mewah (PPnBM) terhadap barang-barang tertentu yang sudah tidak tergolong barang mewah.

PMK tersebut menghapus beberapa barang, yang sebelumnya tergolong mewah, menjadi tidak mewah. Antara lain peralatan rumah tangga, pesawat penerima siaran televisi, lemari pendingin, mesin pengatur suhu udara, pemanas air dan mesin cuci serta proyektor dan produksi saniter.

Penghapusan beberapa produk yang tergolong barang mewah tersebut dikarenakan pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan pajak barang mewah menjadi 120-150 persen. Aturan pengenaan pajak barang mewah ini akan dituang di dalam Peraturan Pemerintah (PP), sebagai PP terakhir yang mengatur masalah sejenis. "Kami sudah konsultasi dengan DPR dan sekarang sedang disusun," kata Chatib Basri di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8).

Tetapi, Chatib belum bisa memastikan kapan PP tersebut akan rampung. Pasalnya, sebelum didiskusikan kembali bersama DPR, pemerintah terlebih dahulu harus melakukan kerjasama denga Sekretaris Negara (Sesneg). Sejauh ini, lanjutnya, pemerintah berusaha menyelesaikan aturan tersebut dengancepat mengingat kondisi perekonomian yang  memburuk.

Sebelumnya, dunia usaha berharap agar pemerintah dapat memberikan potongan pajak atau discount kepada perusahaan. PMK terkait PPh 25 dan PPh 29 hanya berupa keringanan pajak saja dan diberikan waktu untuk menyicil.

Menanggapi hal tersebut, Chatib Basri mengatakan masukan dari dunia usaha tersebut tidak mungkin dapat dilakukan dalam jangka dekat. Pasalnya, sistem perpajakan di Indonesia tidak memungkinkan pemerintah memberikan discount kepada WP pribadi maupun badan. "Diskon itu tidak dikenal dalam UU KUP," jelas Chatib.

Seandainya pemerintah berkeinginan memberikan diskon pajak kepada dunia usaha, maka pemerintah harus membuat payung hukum terlebih dahulu. Hal tersebut dinilai tidak memungkinkan karena pembahasan UU membutuhkan waktu yang cukup lama. Lagipula, pemerintah harus mengambil kebijakan yang realistis dan berdampak langsung pada pelaku usaha.

"Jadi kalau kita mau lakukan itu, harus bikin dulu UU-nya. Nah, kan enggak bisa dunia usaha disuruh nunggu. Kita bikin UU dengan DPR butuh setahun. Jadi dengan kondisi seperti ini UU enggak perlu dibuat. Kita harus realistis," imbuhnya.

Disamping tuntutan dunia usaha yang meminta adanya diskon pajak, Chatib meyakini kebijakan keringanan pajak tersebut tidak akan mengganggu cashflow perusahaan. Ditambah lagi pemerintah memberikan kelonggaran untuk melakukan penundaan pembayaran jika dibutuhkan. "Jadi kalau dari segi company, tertolong," pungkasnya.

Tags: