Pembelian 51 Persen Saham Freeport Dinilai Langkah Paling Rasional
Berita

Pembelian 51 Persen Saham Freeport Dinilai Langkah Paling Rasional

Pemerintah dianggap tidak memiliki opsi lain selain pengambilalihan 51 persen saham Freeport.

M. Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tambang Freeport Foto: ADY
Ilustrasi tambang Freeport Foto: ADY

Kesepakatan atau Head of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum, Freeport McMoRan, dan Rio Tinto dalam jual beli saham PT Freeport Indonesia (Freeport) sebesar 51 persen memunculkan banyak perdebatan dan pertanyaan bagi publik. Mulai dari persoalan status hukum HoA, pembelian saham yang dinilai lebih baik saat kontrak Freeport habis pada 2021, ataupun tingginya dana yang harus dikeluarkan sebesar US$ 3,85 miliar untuk membeli saham perusahaan tambang tersebut.

 

Di tengah polemik tersebut, pengamat energi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi menyatakan langkah yang ditempuh pemerintah cara paling realistis untuk menguasai Freeport. Dia menjelaskan pemerintah justru akan kesulitan melakukan nasionalisasi perusahaan tambang tersebut. Pasalnya, di era globalisasi saat ini langkah nasionalisasi akan dikucilkan negara-negara lain. Bahkan berpotensi menjadi sengketa di pengadilan arbitrase internasional.

 

“Era globalisasi saat ini, nasionalisasi bukan lagi metode yang tepat untuk mengambil alih pertambangan Freeport. Langkah itu akan membuat Indonesia dikucilkan dan diadukan ke arbitrase internasional, sehingga Indonesia kena sanksi ekonomi. Nantinya, Indonesia juga mendapat tekanan dari Amerika Serikat,” kata Fahmi saat dijumpai dalam acara Forum Merdeka Barat 9 di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin (23/7/2018).

 

Fahmi menegaskan ada anggapan pengambilalihan Freeport oleh pemerintah seharusnya menunggu kontrak karya (KK) berakhir pada 2021 juga dinilai tidak tepat. Pasalnya, biaya investasi Freeport tersebut akan jauh lebih besar karena terdapat klausul dalam kontrak itu bahwa pemerintah harus membeli aset-aset Freeport yang diperkirakan berdasarkan nilai bukunya sebesar US$ 6,4 miliar.

 

Dengan demikian, Fahmi menyimpulkan langkah pemerintah membeli saham participating Freeport tersebut merupakan langkah tepat. Menurutnya, dengan pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali dapat menentukan langkah operasional perusahaan.

 

“Ini jadi satu-satunya opsi yang paling rasional dan affordable. Pembelian 51 persen ini memang bukan 100 persen, tapi Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas yang bisa mengambil keputusan dalam rapat pemegang saham,” kata Fahmi. Baca Juga: Head of Agreement Freeport Tidak Mengikat Secara Hukum

 

Salah satu kebijakan yang paling mungkin diambil pemerintah, menurut Fahmi, adalah peningkatan kontribusi Freeport terhadap penerimaan negara. Dia menilai saat pemerintah menjadi pemegang saham minoritas sebesar 9,36 persen, tentunya sumbangsih perusahaan tambang tersebut sangat minim.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait