Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport
Berita

Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport

Ahli hukum sangat berperan mengawasi uji legalitas setiap perizinan kegiatan operasi PTFI untuk mengetahui apakah operasi PTFI berlangsung sesuai regulasi yang berlaku.

M. Januar RIzki
Bacaan 2 Menit

 

Bahkan menurut Danrivanto, PTFI berhak mengajukan sengketa ke abitrase internasional apabila pemerintah menolak perpanjangan KK. “Beberapa rencana kerja PTFI yang telah disetujui pemerintah diasumsikan sebagai kegiatan operasional hingga 2041,” kata Danrivanto.

 

Dengan demikian, Danrivanto mengimbau agar masing-masing pihak perlu menyepakati opsi penyelesaian sengketa terhadap tindak lanjut atau terjadinya ketidaksepakatan dari HoA tersebut. Sebab, menurut Danrivanto, pemerintah seringkali kesulitan menghadapi permasalahan hukum dengan PTFI.

 

Mengawasi legalitas

Pandangan kritis juga diutarakan mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Simon Felix Sembiring. Simon menyatakan ahli hukum sangat berperan dalam mengawasi keberlangsungan kegiatan pertambangan PTFI. Bahkan, Simon mengimbau perlu ada uji legalitas setiap perizinan kegiatan operasi PTFI. Menurutnya, uji legalitas perizinan ini perlu untuk mengetahui apakah operasi PTFI berlangsung sesuai regulasi yang berlaku.

 

“Ahli hukum sangat berperan di sini. Mari uji setiap perizinan Freeport apakah sudah sesuai atau belum?” kata Simon. Baca Juga: Pembelian 51 Persen Saham Freeport Dinilai Langkah Paling Rasional

 

Salah satu persoalan yang menurut Simon janggal adalah perpanjangan KK PTFI pada 1991. Menurutnya, berdasarkan KK yang ditandatangani pertama kali pada 1967, seharusnya KK PTFI baru berakhir pada 2001. Hal tersebut menurut Simon berdampak panjang karena memberi legalitas PTFI beroperasi hingga 2021.

 

Sementara itu, program Director Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya mengatakan nilai divestasi yang disepakati sebesar US$ 3,85 miliar terlalu tinggi. Menurutnya, penilaian divestasi tersebut harus mempertimbangkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan terdapatnya kerugian negara akibat kegiatan tambang PTFI sebesar Rp 185 triliun.

 

“Harusnya temuan BPK tersebut masuk ke dalam liability(pertanggungjawaban). Sehingga, nilai divestasinya tidak sampai segitu,” kata Berly yang juga merupakan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Tags:

Berita Terkait