Pers berperan penting untuk menjaga jalannya sistem demokrasi. Oleh karena itu, selama ini kebebasan pers dijamin pelaksanaannya melalui UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan sekalipun kemerdekaan pers sudah jelas dijamin dalam UU, tapi faktanya banyak jurnalis yang dijerat berbagai delik pidana, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, berita bohong, dan lainnya.
Ironisnya, ancaman terhadap jurnalis berpotensi makin bertambah antara lain terdapat dalam beberapa pasal dalam RUU KUHP. Ade menyebut Pasal 263 RUU KUHP berpotensi memperburuk kualitas demokrasi karena berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan itu tidak fokus menjerat pidana pembuat informasi atau berita bohong, tapi juga menyasar orang yang menyebarluaskan. Padahal, pihak yang menyebar belum tentu punya niat jahat.
“Pengguna layanan digital di Indonesia sangat banyak, tapi tingkat literasinya kurang. Oleh karena itu masyarakat yang menggunakan layanan digital belum bisa menilai informasi dengan baik mana yang benar atau tidak,” kata Ade dalam konferensi pers bertema “Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP”, Minggu (20/11/2022).
Menurut Ade, Pasal 263 RUU KUHP terkait berita bohong mengancam kebebasan berekspresi masyarakat sipil dan berdampak juga terhadap pers. Pasal itu seharusnya mengatur ketat agar fokus menyasar pembuat informasi atau berita bohong. Ketentuan itu perlu ditambahkan unsur “menimbulkan keuntungan bagi pembuat informasi atau berita bohong.”
Baca Juga:
- Komisi Yudisial Kritisi Pasal Pidana Proses Persidangan dalam RKUHP
- Pemerintah Sampaikan Perubahan Pasal dalam RKUHP
- Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun
Ketentuan lain yang mengancam tugas jurnalis yakni Pasal 280 ayat (3) RUU KUHP dimana ada ancaman pidana bagi pihak yang tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan proses persidangan. Hal tersebut menurut Ade bertentangan dengan fungsi pers sebagai lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan termasuk proses persidangan/peradilan. Pers dalam hal ini mewakili kepentingan publik.
Pasal 280 ayat (3) RUU KUHP itu memunculkan kekhawatiran terhadap jalannya proses persidangan yang tertutup dan tidak transparan. Ade mengatakan komunitas pers dan Dewan Pers sepakat hal ini seharusnya masuk ranah etika, bukan pidana. Misalnya, MA dan Dewan Pers menjalin kerja sama tentang peliputan persidangan.